Tirani Kuasa Tahta Dan Harta

  • Bagikan
Tirani Kuasa Tahta Dan Harta

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Dalam suatu negara bangsa yang merdeka serta berdaulat secara politik, diperlukan sebuah pengakuan kekuasaan dala usaha mengelola serta mengurus rakyat secara lebih baik, merdeka serta bertanggung jawab terhadap aktivitas ekonomi, politik, sosial-budaya, interaksi kemasyarakatan yang saling menghargai serta menghormati berlandaskan hak azasi manusia yang bermartabat.

Pada prinsipnya, negara yang merdeka serta berdaulat memiliki hubungan yang sangat simultan terhadap seluruh kehidupan bangsa yang berdaulat dan bermartabat, juga memiliki hubungan penting dengan negara serta rakyatnya. Sehingga kekuasaan sebagai salah satu kata penting dalam memahami aktivitas kenegaraan serta kebangsanan yang memerlukan pemikiran serta praktik politik dalam sebuah negara, ini mesti dilaksanakan merupakan kewenangan yang mesti dijunjung tinggi, ini mesti menjadi tanggung jawab pemimpin. Karena itu, menurut Max Weber (1946) menyatakan bahwa, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Makanya kekuasaan merupakan tanggung jawab yang dimiliki oleh pemimpin terhadap keinginan politiknya terhadap kemampuan integritasnya bagi pihak lainnya yang melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakannya. Makanya terhadap pemimpin juga sangat diperlukan pemahaman terhadap etika bernegara sebagai konsep yang betanggung jawab, juga kewajiban warga negara terhadap negara dan sesama warga negara.

Kemudian dalam kehidupan berpolitik pemimpin negara serta warga negara dalam suatu negara-bangsa bahwa, kepemimpinan negara mesti menggunakan segenap kekuasaannya dalam melaksanakan interaksi sosial dan kemanusiaan lebih baik serta antar kelompok dalam menciptakan kondusivitas kehidupan yang lebih baik, makmur serta sejahtera bagi kehidupan rakyat secara umum. Maka itu, interaksi sosial dan kehidupan kemanusiaan antara pemimpin dan rakyatnya menjadikan kondisi kehidupan serta perasaan yang memberikan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Sesungguhnya ini merupakan keinginan politik (political will) serta kehendak bersama dalam suatu perasaan kehidupan yang kondusif serta bertanggung jawab antar pemimpin dan rakyatnya tidak adanya diskriminasi dan rasa takut terhadap pemimpin. Karenanya,  dalam interaksi sosial dan kehidupan masyarakat luas, perasaan takut pada seseorang diasumsikan akan menimbulkan kepatuhan terhadap segala kemajuan dan tindakan orang yang ditakuti tersebut.  Disebabkan bahwa, rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat pada semua tempat dan ini biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat yang mempunyai pemerintahan otoriter. Sehingga pemimpin yang menghendaki pengakuan sebagai sebuah kehebatan kekuasaan yang ditunjukkan dengan menentukan serta sangat berkuasa dalam segala hal untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongannya, akan mempergunakan “abbused of power”, demi memenuhi nafsu serta hasratnya untuk tetap berkuasa dalam keserakahan tahta kekuasaan politiknya.

Dalam hal ini bahwa, jabatan serta kekuasaan menjadi segala-galanya, baik dilakukan dengan cara yang sangat kasar, halus, atau diantara halus dan kasar akan membungkam lawan ataupun kelompok yang selalu melakukan perlawanan, baik secara diplomasi, argumentasi, akademik, seni budaya, lisan dan tulisan, politik, kebebaban berpendapat, bebas berkreasi serta bersuara, juga berbagai praktik lainnya yang tidak sepaham dengan  pemimpin yang terlalu berkuasa secara otoriter. Karena itu, pemimpin otoriter menurut James M. Henslin (2006) yaitu, pemimpin otoriter menentukan secara sepihak kegiatan/kebijakan, pengikut ataupun rakyat tidak diikutkan merumuskan untuk mencapai tujuannya, pemimpin terpisah dalam proses kelompok negara terhadap interkasi. Sehingga semua keinginan hasrat serta kerakusan tetap berkuasa digunakan berbagai strategi politik yang diasumsikan bahwa, kekuasaan politik serta negara tetap dalam genggamannya sebagai suatu tirani kekuasaan dengan menciptakan legalitas melalui ciptaan keinginan serta kebijakannya.

Dalam kondisi kehidupan masyarakat yang belum sejahtera serta kondisi ketidakadilan kehidupan yang demikian luas, tingkat kemiskinan serta pengangguran yang tinggi, rata-rata pendidikan yang rendah, dan lain  sebagainya sebagai “proto-type” ketertinggalan dalam indikator kehidupan modern, termarginalkan konteks kehidupan nasional dan global. Hal ini juga dibantu oleh para oligarki ekonomi-politik, manusia penjilat, culas dan gila jabatan bersama pemimpin tersebut, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, juga berusaha menghidupkan kekuasaan keluarga/dinasti keturunan istri, anak, menantu serta keluarga dekat, sebagai simbol kekuasaan yang mesti dikuasai seluruhnya bersama mesti memiliki tahta kekuasaan strategis. Maka, gambaran kepemimpinan politik gaya Nicollo Maciavelli dengan menghalalkan segara cara tetap berkuasa serta kekuasaan politik negara mesti tetap berada dalam genggamannya.

Dalam pemikiran Maciavelist, kekuasan raja merupakan sumber keabsahan kebijakan-kebijakan kerajaan ataupun negara, maka tanpa kekuasaan kebijakan tidak mempunyai kebijakan untuk direalisasikan. Dalam praktik politik kekuasaan, ini merupakan legitimasi secara hukum, maka itu kekuasaan juga mesti ditinjau dari Undang-Undang Dasar serta aturan negara, kekuasaan juga mesti mendapatkan legistimasi dari konstitusi sebagai dasar hukum bagi negara yang memiliki dasar hukum, etika-moral yang mesti dijunjung tinggi secara beradab serta bermartabat, memuat kaidah-kaidah fudamental dalam sistem bernegara yang sah serta berdaulat. Sehingga praktik “autoritarianism politics” mesti dilawan serta dicegah dengan cara yang beradab serta menjunjung tinggi etika-moral dengan  cara-cara yang elegan, pintar, solid secara bersama-sama dan bertanggung jawab, agar pemimpin otoriter serta turunannya tiadk berkuasa secara sewenang-wenang dengan menghalalkan segala cara agar tetap berkuasa. Maka menurut Friedrich Engels (1895) bahwa, kekuasaan itu sesuatu yang berasal dari masyarakat  dan berkuasa di atas masyarakat.

Demikian juga dalam usaha menguasai kekuasaan politik dilakukan dengan  menguasai harta, memanfaatkan penguasaan sumber daya alam, menggunakan kaki-tangan serta orang-orang yang dapat dipercaya yang bermental penjilat, culas dan gila kekuasaan. Ini mudah dapat dikuasai dengan menetapkan kebijakan serta aturan berpihak kepada kekuasaan, bukan terhadap kepentingan rakyat, kekuasaan poltik semua diatur untuk kepentingan pemimpin dan para kroni kekuasaan yang mudah dikendalikan. Dengan demikian bahwa, gaya kepemimpinan otoriter nampak lebih efektif dalam situasi darurat, ini akan berlawan dengan gaya demokratis bekerja paling baik untuk semua situasi dan gaya laissez-faire biasanya tidak efektif karena bersifat pasif. Demikian juga, dengan menguasai harta dan kekayaan yang mendukung untuk penguasaan partai politik yang dinginkan serta anggota parlemen yang tidak memiliki integritas serta rakus harta, ini mudah diukandalikan serta dikuasai untuk kepentingan kekusaan politik. Maka secara lengkap agar kekuasaan tetap berada dalam genggaman kekuasaan. Sehingga paket lengkap kekuasaan otoriter, mendapatkan dukungan kekuasaan tahta dan harta, demi kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan sebagai suatu perangkat kendalikan oleh nafsu tirani kekuasan yang  semakin menggila.

Dalam praktik politik kekuasaan dibungkus Pemilihan Umum (Pemilu) dengan jargon atau terminologi demokrasi di negara ini, ternyata usaha untuk tetap berkuasa secara tirani kekuasaan dipraktikkan secara masif, di tengah kondisi kehidupan rakyat yang jauh dari sejahtera serta jurang pemisah kehidupan yang adil dan makmur hanya bersifat kamuflase. Sehingga pemimpin dan elite politik terus berkonspirasi menciptakan kondisi memanfaatkan diamnnya para kelompok kelas menengah tidak berdaya, tertekan, berhadapan dengan risiko diskriminasi kesewenang-wenangan, jauh sikap patriotik.

Dengan demikian, kondisi saat ini usaha dilakukan oleh pemimpin otoriter yang memiliki tirani kekuasaan berlebihan dengan menguasai harta, juga legalitas yang dipaksakan menjadikan simbol negara yang berdasarkan undang-undang dasar sebagai landasan utama, dikuasai serta diobok-obok oleh tirani kekuasaan bersama para kroninya, baik oligarki politik-ekonomi, para penjilat dan culas yang rakus kekuasaan serta jabatan hanya mementingkan dirinya sendiri serta kelompoknya, juga memanfaatkan perangkat hukum dan kekuasan negara.       

Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan