Elite Politik Merusak Dan Membunuh Demokrasi Politik

  • Bagikan
Elite Politik Merusak Dan Membunuh Demokrasi Politik
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Berlandaskan kajian sosiologi politik dan rujukan literatur sosiologi Perancis, Emile Durkheim teori kerukunan sosial, ini tetap mendominasi penciptaan kondisi harmonisasi serta keseimbangan kehidupan. Ini terus diupayakan ahli-ahli sosial untuk mengabsahkan sosiologi moralitas yang dibutuhkan untuk membentuk suatu tatanan masyarakat dalam konsep Negara-Bangsa-Modern dalam perspektif demokrasi dan kekuasaan politik dengan menghargai hak azasi manusia secara prinsipil serta bertanggung jawab.

Bahwasanya, landasan yang digunakan dengan paduan etika dan moralitas yang mendukung ide integrasi individu atau person dalam sebuah negara bangsa dengan mengakui serta menghargai hak individu dan masyarakat kehidupan yang azas. Bahkan dari revolusi Perancis seperti Montesqiuei, Rousseau maupun Voltaire, yang sama-sama memiliki rasa emosional intelektual dengan derajad yang berbeda-beda dan mencapai puncaknya pada Voltaire. Dengan konsep integrasi berfikir tersebut menjadi panduan dalam konsep berfikir masing-masing memiliki atah yang jelas bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dan ironisnya, Voltaire (juga Rousseau) karya-karyanya demikian sarkastis dan tajam, juga mengaku perlunya landasan etika-moral untuk membina masyarakat yang teratur sekalipun dengan tata pandangan dunia yang baru, yakni lebih rasionalistis dalam pemikiran kehidupan yang modern dalam berdemokrasi.

Lebih jauh melacak literatur filosofis, dalam pemikiran masyarakat Yunani yang dikenal Plato adalah, tokoh yang lebih dahulu yang berpendapat pentingnya agama dan etika-moral sebagai keyakinan untuk membina masyarakat yang teratur sesuai dengan adab yang mesti dimiliki, juga sangat berpegang teguh kepada aturan undang-undang serta sistem hukum. Yang jelas, baik masyarakat Yunani ataupun Romawi dan eropa barat hingga Amerika saat ini, agama dan etika-moraltelah mengalami evolusi —kendati kadang terlanjur melompat hingga ke atheisme menuju konsep yang disebut Deisme. Setelah Plato di level filsafat dan Durkheim di tingkat sosiologi maka di sektor politik yang monumental adalah Thomas Jefferson (l743-l826). Ini merupakan tokoh pemikir negara Amerika Serikat yang terkenal dengan pengaruh yang amat dalam pada kehidupan demokrasi politik era modern atau kontemporer, yaitu etika deistik sukses ditampilkan bahkan dipergelarkan. Maka selaku Deistik, menolak konsep formalitas dalam dokumen Deklarasi Kemerdekaan AS dengan ungkapan bahasa Inggris seperti “Laws of Nature” dan “Nature’s God”, istilah “devine providence”, “The Lord, the savior, the reedemer”. Namun demikian, jelas tetap menjunjung tinggi etika-moral dan menetapkan aturan hukum serta undang-undang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa-bernegara dan demokrasi politik pemerintahan.

Dengan merujuk Emile Durkheim menghendaki diselenggarakannya sistem pendidikan untuk pembinaan moral guna melalui konsep agama, bukan malah menghilangkan pendidikan agama dalam pembelajaran. Sehingga melekatkan pada anak-anak didik perasaan akan harkat manusia, atau dalam istilah populernya “Elle cree dans L’homme un etre nouveau”, artinya pendidikan menciptakan dalam diri manusia sesuatu yang baru (Taufik Abdullah l986). Makanya usaha yang demikian yang ambisius dan penuh semangat terhadap usaha membangun dan mempertahankan moralitas suatu bangsa sebagai ideologi, dengan moralitas individu atau etika, namun yang menarik dari betapapun utopisnya adalah, populernya faham yang sesungguhnya bercorak patriotik nasionalistis ini di berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia (pada masa orde baru). Demikian aktifnya usaha untuk menciptakan panduan etik warga negara dengan melancarkan penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa, meskipun tidak semua sepakat dan tunduk patuh. Hanya saja para elite politik berusaha semaksimal mungkin menetapkan etika-moral dalam kehidupan berpolitik berbangsa dan bernegara dengan komitmen menghargai hak azasi manusia, meskipun ada paksaan politik.

Dalam kehidupan demokrasi politik, maka etika-moral politik, ini termasuk dalam kelompok etika sosial yakni yang membahas norma-norma moral yang seharusnya menimbulkan sikap, perilaku, tindakan dan kebijakan antar manusia, karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa, yang merupakan makhluk sosial, ini juga diatur dalam aturan undang-undang, juga sama berlaku bagi elite pemimpin politik. Karena etika politik tidak hanya menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara dalam kehidupan masyarakatnya. Juga etika-moral bersifat reflektif yakni memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana masalah-masalah kehidupan dapat dihadapi, juga menawarkan tentang bagaimana cara memecahkannya secara komprehensif. Dengan demikian etika politik selanjutnya mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan sebagai warga negara terhadap negara, terhadap hukum yang berlaku dan lain sebagainya, sehingga tidak dikarenakan kepentingan politik individu, keluarga, anak sebagai dinasti politik melanggar etika-moral politik, bahkan melabrak, menghancurkan,merusak dan membunuh aturan hukum dan demokrasi politik substansial.
Bagi orang (siapapun) yang bersikap seperti kaum optimis masa pencerahan terhadap demokrasi politik substansial dengan tetap menghargai aturan hukum dan undang-undang negara, sehingga tidak karena ambisi kekuasaan politik yang berlebihan (abbused of power). Maka berusaha untuk tetap menjadi pemimpin yang berkuasa dengan memanfaatkan alat negara sebagai pendukung kekuasaannya, bahkan menjadikan dirinya sebagai pemimpin autoritariant/otoriter mampu menetapkan segala kebijakan sesuai dengan keinginannya. Hal ini dapat dipastikan bahwa, dalam kehidupan masyarakat terpelajar dan dilatih dalam dunia dianggapnya sebagai kosmos yang teratur, menghargai hak azasi manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi politik modern. Makanya melihat politik sebagai alat untuk kemajuan manusia, juga latat untuk memperbaiki dunia kekuasaan, kemudian diartikan yang baik dan berguna, ini semua ditujukan untuk kepentingan rakyat ataupun masyarakat luas dalam usaha menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan pemerataan kehidupan secara seimbang serta hakiki nyata. Sehingga elite politik sebagai pemimpin tidak rakus memperkaya diri, anak-keluarga, kelompok dan partainya untuk menguasai serta merampok sumber daya alam (resources), bahan galian mineral pertambangan dengan memanfaatkan kekuasaanya, bagi yang bertentangan serta berbeda pendapat akan dihancurkan dengan cara-cara melanggar hukum, etika-moral dengan dalih kekuasaan negara, ternyata untuk pribadi dan kelompoknya.

Sementara itu, bagi kalangan akademi, intelektual, perguruan tinggi, kampus, aktivis, mahasiswa terus melakukan kontrol sosial dan melakukan perlawanan tidak setuju dengan perilaku dan kebijakan politik elite politik pemimpin, ini akan terus dibungkam dan diusahakan untuk tidak menyuarakan demokrasi politik substasial yang sebenarnya, ini dilakukan dengan berbagai cara menggunakan kekuatan, kekuasaan negara, bahkan alat negara yang dibawah kendali kepemimpinan elite kekuasaan politik. Sehingga diciptakan kondisi orang (siapapun) yang memiliki pandangan seperti, kaum analis menjadi  pesimis bahkan ketakutan untuk tidak memperdebatkan serta melarang praktik culas dan curang para elite politik kekuasaan politik. Demikian juga para kritikus ideologis yang berlatar belakang filosofis atau teologis, maka pasti akan melihat elite kekuasaan politik yang terang-terangan melakukan praktik korup, irrational dan berbahaya, adakalanya dibuat tidak berdaya dengan terus dicari-cari kesalahan agar tidak melakukan perlawanan terhadap elite politik yang terang-terangan menghancurkan serta membunuh demokrasi politik, demi ambisi pribadi, keluarga, serta para antek dan kroninya.

Sehingga dunia politik yang menjunjung tinggi demokrasi adanya oposisi kekuasaan akan dipersepsikan sebagai pengacau, iri, menyebarkan kebencian bahkan dianggap “hoax” dapat menganggu kekuasaan politik, selalu dilihat sebagai urusan yang kotor, aktivitas immoral dan juga mencari delik hukum sebagai kriminal. Sehingga kekuasaan politik yang berlebihan, pada intinya kekuasaan dengan tidak menghargai demokrasi politik dan tidak menjunjung tinggi etika-moral dan melanggar HAM, otoriter dan kekuasaan politik yang berlebihan dipandang sebagai sesuatu yang jahat dan kejam. Ini sangat bertentangan dengan kehidupan sosial-kemasyarakatan modern, berkeadaban, mematuhi aturan hukum dan etika-moral.

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

  • Bagikan