Diskusi Dialektika DPR Sorot Kasus Perundungan Anak Didik Di Sumut

  • Bagikan
Diskusi Dialektika DPR Sorot Kasus Perundungan Anak Didik Di Sumut
Diskusi Dialektika yang berlangsung di DPR Jakarta Kamis (5/10) (ist).

JAKARTA (Waspada): Diskusi Dialektika yang berlangsung di DPR Jakarta Kamis (5/10) menyorot sikap tenaga pendidikan di Sumut yang dinilai sudah menjurus perundungan terhadap siswanya.

Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti yang juga Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru menyoroti tenaga pendidikan atau guru dalam menjalankan dan menerapkan fungsinya sebagai pendidik dan pengasuh di sekolah.

“Dari kasus-kasus penerapan disiplin pada sekolah terkait dengan tata tertib, itu mengandung kekerasan. Diantaranya adalah kasus mendisiplinkan seorang anak terkait rambut anak didiknya. Kita pernah dengar, gara-gara nggak pakai ciput (penutup pelapis kepala setelah kerudung/jilbab), kemudian 14 anak mengalami pencukuran pita di depan kepala,” ungkap Retno dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Setop Perundungan Demi Masa Depan Anak’ di Media Center DPR Jakarta.

Menurut Retno, upaya pendisiplinan anak didik atau siswa yang dilakukan secara berlebihan oleh guru, terkadang menyisakan persoalan yang akhirnya membuat meniru kekerasan terhadap yang dilakukan gurunya di sekolah.

Karena kata Retno, kekerasan yang dilakukan guru selain mempermalukan anak, juga menimbulkan dendam.

“Jadi sesungguhnya (pendisiplin dengan kekerasan) tidak akan mengubah perilaku anak,” tegasnya.

Sebelumnya Retno mengungkapkan ada kasus di Sumatera Utara anak laki-laki cuma disisain rambut samping. Jadi yang di tengah botak dan itu dilakukan oleh para pendidik karena dianggap anak itu tidak disiplin. Padahal kondisinya karena dengan begitu selain mempermalukan anak menimbulkan dendam jadi sesungguhnya tidak akan mengubah anak. Kalaupun dia mengubah hanya karena takut aja, tapi bahwa dia akan menyadari kesalahan itu tidak akan terjadi.

“Kenapa anak melakukan ya? Kalau anak melakukan jadi saya juga ingin mengatakan beberapa kasus di Tahun 2022 misalnya anak yang ribut kemudian misalnya disuruh makan sampah . Nah itu kan hukuman-hukuman yang keras tidak menyentuh fisik tapi mengakibatkan psikis,”ungkapnya.

Anggota Komisi X DPR RI Mustafa Kamal menyoroti efektifitas kurikulum Program Merdeka Belajar.

Kritik disampaikan Anggota DPR Ri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPK) itu menyusul maraknya kasus perundangan terhadap siswa ataupun anak-anak akhir-akhir ini yang seolah tak kunjung berakhir.

“Jadi kurikulum merdeka ini ternyata tidak bisa dilepas begitu saja. Namanya merdeka tetapi kalau diserahkan begitu saja kepada sekolah dan kepada guru untuk mementukan, ini malah tidak ada alat ukurnya,” ujar Mustafa Kamal

Untuk diketahui, kasus perundungan dan penganiayaan terus terjadi.

Kasus yang menyedot perhatian masyarakat luas yaitu vonis pengadilan kepada Terdakwa Mario Dandy Satriyo dalam kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora seolah tidak menjadi cambuk dan membuat anak-anak lainnya jera.

Terakhir, kasus perundungan siswa SMP berinisial M (13) yang menjadi korban perundungan dua teman kelasnya, F dan L yang mengharuskan korban dirawat di rumah sakit.

Menurut Mustafa, sebenarnya kurikulum merdeka itu memberi ruang kepada guru untuk berkreativitas membuat model pendidikan yang paling tepat pada anak.

“Termasuk soal perundungan ini ditekankan, akan tetapi memang bahwa titik tekan utamanya itu kepada hal-hal yang sifatnya wawasan, dan kemudian memasuki dunia kerja kedepannya. Itu memang nuansanya terasa lebih kuat,” terang Mustafa.

Oleh karena itu, Mustafa mengatakan ke depan diperlukan pengendalian yang kuat pula dari pemerintah agar terjadi perimbangan sehingga kurikulum Merdeka Belajar bisa diterapkan seperti yang diharapkan.

“Ini mohon maaf, Indonesia inikan masih memerlukan sesuatu yang kadang kala kita perlukan adanya pengendalian. Ketika dimerdekakan akhirnya kecenderungan yang ada, di dunia inikan yang paling kuat itu mempunyai magnit yang sangat kuat. Ini yang perlu diantisipasi oleh kementerian pendidikan bagaimana muatan kurikulum merdeka ini, kedepannya. Ada aspek-aspek kedaruratan ini,” tegasnya.

Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, Rini Handayani mengatakan pemerintah telah berupaya keras dalam melakukan pembinaan bukan hanya kepada anak didik, tetapi juga para guru sebagai pendidikan, bahkan para alumni yang dianggap telah lulus sebagai anak didik.

Namun, Rini menegaskan pendidikan di sekolah sebebarnya bukanlah menjadi pihak utama dalam mendidik dan mengasuh anak didik. Tetapi fungsi utama ada di keluarga anak didik.

“Nah, guru itu fungsinya tidak hanya mendidik tapi ini juga mengasuh gitu. Tetapi, dari 24 jam waktu yang ada itu, sepertiganya ada di dalam keluarga maka pengasuh pertama dan utama yang harus dibuat memang fungsi keluarga,” tegas Rini.

Dari kasus perundungan siswa terhadap temannya, Rini beragumentasi mungkin saja, anak-anak pelaku perundungan tidak memdapat apresiasi dari keluarganya. Sehingga mereka mencari bentuk pengakuan lain, mencari pengakuan dan apresiasi dari teman-temannya namun dengan melakukan cara yang salah.

“Inilah mungkin yang tidak didapat oleh anak-anak kita. Apresiasi pengakuan mulai dari dalam keluarga. Kita orang dewasa yang harus cepat menyesuaikannya karena apa kitanya enggak mau anak-anak kita terjebak,” sebut Rini.

Mengenai arus informasi dunia digital yang dinilai menjadi salah satu faktor penyebab maraknya kasus perundungan, Rini mengatakan sebenarnya pemerintah juga telah berupaya untuk melakukan seleksi ketat, membatasi bahkan memblokir penyedia konten-konten yang dianggap tidak layak dikonsumsi anak didik.

“Nah untuk itulah memang negara hadir, tadi bagaimana konten-konten kita bisa menutup hal yang bukan untuk anak,” tandasnya.

Benahi Sistem Pendidikan di Keluarga

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan mengakui pendidikan keluarga menjadi faktor utama dalam mempengaruhi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dilakukan perbaikan terhadap sistem pendidikan dan pengasuhan anak di dalam keluarga.

“Soal pendidikan keluarga, saya kira dengan banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang se-rumah orang tua di sini maka ini memberi syarat bahwa kita harus segera membenahi Sistem Pendidikan Pengasuhan yang ada di keluarga,” ujar Kawiyan.

Berdasarkan data KPAI, dari sejumlah kasus yang terjadi, kasus kekerasan yang dilakukan ayah kandung terhadap anak menduduki peringkat tertinggi.

Dia menyebut, data KPAI selama 2023 dari Januari sampai Agustus 2023 mencatat ada 112 anak korban pencabulan, 84 anak korban pembunuhan, 39 anak korban bencana alam, 38 anak korban penganiayaan, 37 berkaitan dengan hubungan antara korban dengan pelaku.

“Tercatat ayah kandung dalam berbagai kasus, dalam berbagai jenis korban itu tertinggi. Kemudian disusul ayah tiri, teman, pengajar atau guru, tetangga, ibu kandung dan seterusnya,” sebut Kawiyan.(j04)

  • Bagikan