JAKARTA (Waspada): Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana, muncul kembali seiring terjadinya kasus anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak, yang kemudian kekayaan orang tuanya (pejabat pajak) menjadi sorotan.
Kekayaannya yang menjadi viral melebihi atasannya dan bahkan melebihi Presiden Jokowi.
“Karena kasus anaknya, kemudian Rafael (pejabat Ditjen Pajak) disorot kekayaannya melebihi Menkeu Sri Mulyani dan Jokowi mengingatkan orang terhadap Undang-Undang Perampasan Aset,”ungkap Nasir Djamil dalam diskusi Forum Legislasi ‘Urgensi RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Jakarta Selasa (28/2/2023).
Politisi Fraksi PKS DPR RI itu mengingatkan, negara kita negara hukum, sehingga perampasan aset harus dalam koridor hukum dan bukan diluar hukum.
Dia menilai semakin lama RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana dibahas, nanti membuat yang para melakukannya bisa lebih tenang.
“Mudah-mudahan ada kecerahan dari pemerintah. Kita dorong pemerintah, sehingga RUU itu tidak melanggar penegakan hukum di Indonesia,”ujar anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh ini.
Menurut Nasir Djamil, status RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana sudah masuk dalam Prolegnas (program legislasi nasional). Tentu draftnya sekalian sudah masuk.
“Saya tidak tahu persis apakah sudah ada naskah akademisnya. Saya juga belum mendapatkan draftnya. Mudah mudahan Indonesia bisa aman dari penggelapan aset negara,”katanya.
RUU itu tambah Nasir Djamil merupakan inisiatif dari pemerintah. Sejak tahun 2020 sudah dibicarakan. Nyatanya, sampai saat ini kita masih bicara yang sama, sehingga nasib RUU itu seperti jalan siput. Berjalan seperti siput karena ada kekhawatiran, UU ini nantinya menjadi senjata makan tuan.
“Karena RUU ini merupakan inisiatif Pemerintah, jangan-jangan pemerintah juga menyesal menyodorkan rancangan undang-undang ini. Takut, jangan-jangan, namanya juga kebawa di Undang undang ini. Nah, jangan-jangan, berarti kan bisa jadi iya dan bisa jadi tidak,” tambah Nasir Djamil.
Masalah aset menurut Nasir Djamil, terkait dengan kekuasaan. Yang punya aset adalah orang yang punya kuasa, orang yang tak punya kuasa tidak mungkin punya aset. Karena yang punya aset adalah orang yang punya kuasa, dan kekuasaan itu cenderung korup.
“Jadi semakin besar kekuasaannya, semakin besar potensi untuk mendapatkan aset, semakin besar kekuasaannya, semakin besar untuk melakukan penyimpangan,” katanya.
Padahal, menurut Nasir Djamil, RUU ini dalam konteks pencegahan dan pemberantasan tidak pidana, apakah itu tindak pidana korupsi atau terorisme atau kejahatan-kejahatan lainnya yang di situ ada potensi penggelapan ase.
Maka sebenarnya RUU ini sangat strategis, kalau memang berkeinginan aset-aset itu tidak hilang.
Pengamat Hukum Universitas Tri Sakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, terobosan mungkin akan dilakukan oleh undang-undang perampasan aset tanpa ada proses pengadilan terhadap aset-aset tertentu.
“Saya kira ini pikiran baru, ide baru dari DPR ini untuk mempercepat roda putaran ekonomi, supaya keduanya terlindungi Masyarakat di satu sisi terlindungi dalam berusaha dan disisi lain juga negara melalui lembaga-lembaga ekonominya juga bisa mempertahankan kehidupan kelembagaannya supaya tidak bangkrut. Ada keseimbangan antara hak masyarakat dengan hak negara. Undang-Undang perampasan aset hendaknya mengakomodir dua kepentingan itu,”ujarnya.(j04)