Scroll Untuk Membaca

Nusantara

PDIP Komitmen Perkuat Sistem Pertahanan Indonesia

Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menekankan pentingnya untuk terus memperkuat angkatan perang Indonesia. Sehingga sistem pertahanan Indonesia kokoh, dan tidak mudah ‘dikerdilkan’ oleh negara-negara lain.

Hal tersebut disampaikan Doktor Ilmu Pertahanan tersebut, saat Talkshow HUT ke-77 TNI adalah Kita, Sejarah, Kepeloporan dan Desain Masa Depan TNI. Hasto menyampaikan PDI Perjuangan memiliki komitmen dalam menjaga tegaknya negara Pancasila berdasarkan UUD 1945 kebhinnekaan Indonesia dan juga NKRI. Menurut Hasto, Indonesia merupakan negara besar, yang tidak boleh dikerdilkan oleh negara-negara lain.

“Kita adalah negara besar dan seharusnya kekuatan angkatan perang kita terus bangun sehingga kita tidak mudah itu dikerdilkan negara-negara tetangga kita,” ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2022).

Tampil pembicara lainnya, mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna, mantan Deputi Bidang Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhanas RI Laksamana Muda TNI (Purn) Yuhastihar, mantan Kepala BNPB Letjen TNI (Purn) Ganip Warsito, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto, dan Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie.

Kata Hasto, pemikiran geopolitik Bung Karno sangat relevan terhadap pertahanan negara. Sehingga, gambaran postur sistem pertahanan itu betul betul harus sesuai kondisi geografis Indonesia. Pemikiran Bung Karno itu lah yang selalu diingatkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

“Karena kita adalah negara maritim, kita bukan kontinental itu yang selalu diingatkan oleh Bu Mega. Kita melihat bahwa apa yang disampaikan Bu Mega tentang kepeloporan TNI memang merangkai suatu imajinasi bagaimana negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negara maritim, posisi strategis di antara dua benua, dua samudera,” kata Hasto.

Hasto juga menekankan, bagaimana pentingnya agar tidak menarik TNI ke politik. Ia mencontohkan, bagaimana Megawati saat menjabat sebagai Presiden RI ke-5 tidak pernah menarik TNI ke politik. Pria asal Yogyakarta itu bercerita bagaimana Megawati saat masih berhadapan dengan Orde Baru.

“Ketika berhadapan dengan pemerintahan Orde Baru, Bu Mega banyak sekali mendapatkan tekanan dari alat-alat negara. Kejaksaan kepolisian TNI itu semua dipakai untuk menekan Bu Mega tetapi hebatnya Bu Mega tidak melakukan berbagai bentuk yang justru memperkuat disintegrasi,” kata Hasto.

“Saat itu, justru Ibu Megawati mengambil langkah-langkah rekonsiliasi bahkan saat itu ketika Pak Harto dihujat Bu Mega mengatakan stop hujat Pak Harto. Maka saat itu Bu Mega merangkul dengan politik rekonsiliasi. Purnawirawan TNI banyak yang ditempatkan pada jabatan-jabatan strategis itu,” tambah Hasto.

Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie mengaku setuju bahwa TNI punya tugas operasional non perang. Namun ia menilai itu bukan hanya membantu Polri. Karenanya, dia menyarankan mengubah postur pertahanan ke outward looking defence.

Connie juga memuji era kepemimpinan Megawati yang memberikan perhatian ke alutsista TNI dengan menaikkan anggaran secara signifikan.

“Saya berharap nama TNI diubah kembali menjadi Angkatan Perang RI, karena TNI dan Angkatan Perang beda. Karena tantangan ke depan geopolitik itu nyata adanya,” kata Connie.

Meski dia mengatakan tidak mudah membawa misi pertahanan.

“Bung Karno, Bu Mega, Pak Jokowi telah mencanangkan suatu yang sangat penting, visi poros maritim dunia. Harus jadi negara yang poros maritim, poros dirgantara dan poros permukaan,” ucapnya.

“Hal ini berbeda Angkatan Darat (AD) dengan dua matra lainnya. AD adalah manusia yang dipersenjatai, kalau AU dan AL adalah alutsista yang diawaki. Tidak mungkin AU dan AL diharapkan jadi besar, kalau alutsista tidak dibeli,” jelas Connie.

Sementara, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna menjelaskan ada enam poin yang perlu dilihat terkait tantangan TNI masa kini dan masa depan.

Enam poin itu adalah: Pertama, harus ada penyesuaian kebijakan strategi pertahanan dengan tantangan geopolitik regional maupun global.

Kedua, TNI harus fokus pada tantangan dan ancaman menghadapi perang saat ini yaitu asimetris war, proxy war, artifisial intelijen.

Ketiga, harus tetap mempertahankan karakter saat ini dengan melihat kepeloporan jaman perjuangan.
“Ketika jaman Bung Karno dan Ibu Mega dalam mempertahankan konsolidasi soliditas dan sinergi tiga matra TNI. Tak ada matra yang menonjol sendiri,” kata Agus.

Keempat, harus mengevaluasi secara mendasar kurikulum TNI di semua lini dengan melihat ancaman dan tantangan yang dihadapi.

Kelima, politik TNI adalah politik negara yang dikendalikan langsung kepala negara (Presiden) sebagai panglima tertinggi TNI.

“Jadi TNI harus disterilkan dari kepenyingan politik praktis. Memang TNI harus tahu politik, tapi jangan dibawa dan terbawa ke politik,” jelasnya.

Agus pun menyinggung bahwa dalam pemilihan Panglima TNI, aturannya adalah ditunjuk oleh presiden dan sesuai UU harus disetujui DPR.

“Tapi DPR hanya persetujuan. Jadi bukan politik yang mengendalikan. Panglima TNI tetap ditunjuk presiden,” lanjutnya.

Keenam, kata Agus, dengan melihat ancaman TNI, maka kita harus pertimbangkan kondisi NKRI dan Indonesia adalah negara kepulauan.

Mantan Kepala BNPB Letjen TNI (Purn) Ganip Warsito mengatakan TNI saat ini mengalami tantangan dan problematika dalam tugas operasi selain perang.

Ganip mengatakan, ada kewajiban bagi TNI ketika dalam situasi tertentu harus membantu Polri. Namun dalam hal ini, TNI kerap mengalami hambatan.

Kata Ganip, ketika ada banyak permasalahan bangsa seperti konflik Papua, kerusuhan Poso dan sebagainya, maka walaupun bukan tugas tentara, tapi dengan kemampuan yang dimiliki tentu TNI harus hadir kalau kondisi mengharuskan.

“Makanya butuh kolaborasi antara dua ini (TNI dan Polri). Kalau perlu doktrin bersama TNI dan Polri,” kata Ganip.

Ia menilai kolaborasi TNI dan Polri ini sangat perlu dibangun. Sebab ketika kondisinya ancaman, diharuskan bagi TNI membantu Polri sebagaimana perintah undang-undang.

“Kalau kita tak membantu, kita (TNI) kena pidana. Itu kata undang-undang. Walaupun kadang yang dibantu tak minta dibantu, sementara kalau kita (inisiatif) membantu nanti dibilang kemajon (terlalu maju). Ini semua butuh solusi kalau bicara tantangan TNI,” tegas Ganip. (irw)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE