JAKARTA (Waspada): Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Idil Akbar menekankan pentingnya penyelenggara pemilihan umum (pemilu) seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjaga marwah lembaganya.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga diminta tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan karena tidak netral dan berpihak kepada salah satu calon.
“Ini dimulai dari Bawaslu sendiri, saya ambil contoh, konsep soal kampanye itu sudah berubah, kita tahu bahwa orang sudah memasang alat peraga kampanye (APK), yaitu kampanye, bukan lagi sosialisasi, tapi sekarang namanya sosialisasi belum masuk kampanye. Karena di situ belum ada nomor urut, belum ada kata coblos nomor urut sekian, dan segala macam. Akhirnya memunculkan tanda tanya di masyarakat, bahwa ini bentuk kampanye terselubung, tetapi Bawaslu menyatakan tidak ada kampanye terselubung, ungkapnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Pemilu Berlangsung Damai akan Melahirkan Pemimpin Penuh Kedamaian’ bersama Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus di Media Center Parlemen Jakarta Kamis (30/11).
Menurut Idil, hal-hal semacam itu sebetulnya sudah mulai membangun sebuah konflik tersendiri.
“Dari kecaman atas sikap Bawaslu itu, juga memunculkan tuduhan di masyarakat bahwa Bawaslu hanya sebatas lembaga Watch Dogs. Hanya menjadi penjaga saja, tetapi tidak melakukan aksi, gerakan nyata yang mampu meminimalisir konflik yang terjadi di masyarakat,”kata Idil.
Di Jawa Barat ada di salah satu kabupaten, contohnya salah satu calon presiden itu mau berkunjung, lalu kemudian APK yang sudah disampaikan di sana, itu dilepas gara-gara calon itu mau datang, ini kan tidak fair namanya. Ini akan memunculkan konflik, itu terjadi di kita, di Indonesia.
Contoh lain, sebut Idil adalah deklarasi aparatur sipil negara (ASN) yang tegas dinyatakan UU tidak boleh melakukan aksi dukung mendukung capres dan cawapres tertentu.
Kesimpulannya, kata Idil mengingatkan, inti penting dalam sebuah pemilu, yang utama itu adalah keadilan dan kesetaraan. Sebab kalau sudah muncul ketidakadilan, saya tidak yakin akan mendapatkan sebuah pemilu yang damai, tegas Idil.
“Sekali lagi keritik terhadap Bawaslu adalah jangan-jangan selama ini Bawaslu hanya sebatas pada semacam watch dogs penjaga malam jagain doang, tapi tidak melakukan gerakan yang sifatnya untuk minimalisir konflik yang terjadi di masyarakat dan KPU pun mungkin sudah terlalu disibukan dengan persoalan-persoalan administratif. Padahal KPU juga punya kewajiban untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Jadi saya pikir ini harus kita garisbawahi, karena bagaimanapun pemilu damai untuk melahirkan pemimpin yang damai, itu memang perlu kita pikirkan strateginya, Karena bagaimanapun, ini sekali kritik saya lucu mendengarnya juga, beberapa waktu lalu ada di media sosial, sempat jadi viral ketika seorang mahasiswa menyampaikan pada salah satu tim sukses calon presiden, yang mengatakan bahwa hari ini kami di pemilu ingin mencari pemimpin yang mampu memberikan ide dan gagasan, mampu memberikan berbagai pemecahan persoalan-persoalan bangsa dan lain sebagainya, bukan mencari ajang bayi sehat, konsep soal narasi-narasi yang sifatnya hiburan sih oke lah, tetapi jangan kemudian selalu di hembuskan dengan istilah-istilah gemoy, itilah apa dan sebagainya, lalu kemudian terkait soal blusukan dan sebagainya dan kemarin juga sempat soal enggak tahu itu tapi bahwasanya sudah menyatakan itu bukan hoax, bagi-bagi uang dan sebagainya,”kata Idil.
Idil juga menyorot sikap aparat. “Nah ini yang cukup luar biasa, saya kemarin membaca berita investigasi dari salah satu media, terkait soal keterlibatan aparat untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden. Apakah ini akan menciptakan pemilu damai, saya nggak yakin ini terjadi.
Kalau memang betul ini investigasi itu betul, pemilu damai yang seperti apa yang kemudian akan kita peroleh. Apakah pemilu yang bersifat intimidatif? Apakah pemilu yang kemudian sudah diarahkan untuk salah satu pasangan capres, itu juga ga mungkin, lalu kemudian ramai-rame juga berbagai komponen-komponen strategis pemerintah, juga kemudian diarahkan untuk ke sana. Nah inikan enggak mungkin karena tidak memunculkan keadilan di situ, pasti akan memunculkan ketidakadilan dan membuat orang, setiap capres dan setiap tim sukses merasa bahwa, ngapain ada pemilu kalau begitu, padahal kita kan melahirkan pemimpin yang damai tadi,”ungkap Idil Akbar.
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengajak media massa menjadikan masyarakat pemilih cerdas. Yaitu pemilih yang tidak mau diintimidasi, tidak mau digiring, harus tahu siapa calon pemimpin tepat dipilih, baik presiden ataupun para calon anggota legislatif (caleg).
“Dia (pemilih) harus mengetahui rekam jejak dari untuk kepentingan kampungnya, masyarakatnya apalagi bangsa dan negaranya, tentu harus ada track recordnya,” ujar Guspardi Gaus.
Pemilu Serentak 2024 menurut Guspardi merupakan pesta demokrasi yang memiliki pilihan-pilihan berbeda. “Kalau namanya pilihan yang sama, itu bukan pesta demokrasi, itu namanya musyawarah mufakat,” ujarnya.
Meski berbeda, politisi dari Partai Amanat Nasional (FPAN) ini berharap pemilu bukan justru menjadi malapetaka, yang membuat bangsa Indonesia terpecah, timbul konflik karena mempertahankan calon yang didukung. Sebab, imbuh dia, pemilu adalah keniscayaan yang diharapkan membuat bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
“Artinya kita berharap dalam pelaksanaan pemilu ini, nggak boleh ada black campain, memfitnah, hoaks dan lain sebagainya,” katanya mengingatkan.(j04)