JAKARTA (Waspada.id): Upaya mencegah kekerasan dan praktik berbahaya terhadap anak, termasuk perkawinan anak serta Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), harus dimulai dari penguatan ketahanan keluarga sebagai fondasi utama perlindungan anak.
Penegasan ini disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, dalam Talkshow dan Diseminasi “Peran Keluarga dan PUSPAGA dalam Pencegahan P2GP dan Perkawinan Anak: Membangun Generasi Sehat dan Setara” di Jakarta, Rabu (12/11/2025).
“Keluarga adalah benteng pertama perlindungan anak. Mencegah perkawinan anak dan P2GP tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja. Ini memerlukan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat, tetapi yang paling utama adalah keluarga sebagai lingkungan terdekat anak,” ujar Menteri PPPA.
Ia menjelaskan, Kementerian PPPA mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) untuk memperkuat fungsi keluarga melalui edukasi, konseling, dan pendampingan psikologis bagi orang tua dan anak. Menurutnya, biaya dan sumber daya yang diperlukan untuk menangani kasus kekerasan sangat besar, sehingga pencegahan berbasis keluarga menjadi pendekatan paling efektif dan efisien.
“Pencegahan harus dimulai dari pola pengasuhan yang tepat. Bila keluarga kuat, anak memiliki perlindungan yang memadai dari berbagai praktik berbahaya,” tegasnya.
Child Protection Specialist UNICEF, Astrid Gonzaga, turut menekankan bahwa program BERANI II yang didukung Pemerintah Kanada secara khusus memperkuat keluarga dan komunitas di tiga provinsi prioritas—Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Timur. Pendidikan keterampilan hidup remaja, kampanye yang dipimpin anak, dan penguatan peran orang tua menjadi bagian penting dari upaya menurunkan angka perkawinan anak.
“Keluarga adalah ruang pertama anak belajar tentang kasih, perlindungan, dan kesetaraan. Karena itu, memperkuat keluarga berarti memperkuat perlindungan anak secara keseluruhan,” kata Astrid.
Ahli perlindungan anak, Grace Eugenia Sameve, menegaskan kembali bahwa keluarga merupakan pihak yang paling memengaruhi proses pengambilan keputusan anak. “Informasi pertama yang diterima anak berasal dari keluarga. Dalam banyak kasus, keputusan bukan diambil anak sendiri, melainkan karena faktor lain di keluarga. Karena itu, keluarga perlu dibekali kemampuan mendukung keputusan terbaik bagi anak,” ucapnya.
Dari perspektif keagamaan dan sosial, Pera Sopariyanti dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia menyatakan bahwa Islam menempatkan perempuan sebagai manusia utuh yang harus dilindungi martabat dan fisiknya. Ia menekankan perbedaan mendasar antara sunat laki-laki dan praktik P2GP yang justru dapat melukai fungsi reproduksi perempuan dan berdampak panjang terhadap kehidupannya.
Sementara itu, Kepala Bidang PPA DP3APPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, menambahkan bahwa komitmen pemerintah daerah akan efektif jika didukung keluarga dan komunitas. “Banyak dampak negatif perkawinan anak dapat dicegah jika keluarga memiliki pemahaman yang benar. Masih ada anggapan bahwa menikahkan anak perempuan muda dapat mengurangi beban ekonomi keluarga. Mindset seperti ini harus diluruskan,” ujarnya.
Seluruh upaya ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya TPB 5.3 dan TPB 16.2, yang menargetkan penghapusan semua praktik berbahaya dan kekerasan terhadap anak. Penguatan keluarga menjadi fondasi utama untuk mewujudkan generasi yang sehat, setara, dan berdaya.
















