Scroll Untuk Membaca

HeadlinesNusantara

Wakil Ketua Komisi X DPR RI: Sistem PPDB Gagal

Wakil Ketua Komisi X DPR RI: Sistem PPDB Gagal
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf (no 2 dari kiri) saat jadi pembicara di diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Mencari Solusi Menuju PPDB yang Transparan dan Efektif’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (4/7). (Waspada/Ramadan Usman)
Kecil Besar
14px

JAKARTA (Waspada): Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf menilai agenda tahunan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diberlakukan pemerintah dinilai gagal, karena orang tua murid cenderung tetap memilih sekolah favorit. Sikap itu terjadi hampir di semua daerah.

Sistem PPDB yang sudah tujuh tahun sudah pantas diganti.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Wakil Ketua Komisi X DPR RI: Sistem PPDB Gagal

IKLAN

Konsep itu (sistem PPDB)
menurut Dede, dianggap gagal di dalam melaksanakan penerimaan siswa baru, karena yang tujuan awalnya untuk menghilangkan sekolah favorit, ternyata tidak tercapai.

Orang tua masih terus memburu sekolah favorit dan sasaran PPDB agar calon siswa yang berada di sekitar sekolah bisa masuk ke sekolah terdekat, ternyata tidak terbukti,” ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Mencari Solusi Menuju PPDB yang Transparan dan Efektif’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (4/7).

Dia memdorong agar dic
arikan formula baru yang lebih adil dengan sistem
prestasi atau melalui tes sekalipun orang – orang tua murid memang ingin anaknya masuk ke sekolah tertentu.

“Konsep ini gagal, tidak perlu berlanjut. Tahun ini ada presiden baru, menteri baru, sehingga harus kita ubah,” ujar Dede.

Masalah yang paling mendasar menurut Dede, adalah masalah rasio jumlah sekolah dengan jumlah siswa yang tidak seimbang.

Akibatnya sistem zonasi yang digunakan pada sistem PPDB tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena kekurangan jumlah sekolah.

“Masalahnya yang belum diselesaikan negara adalah jumlah sekolah. Jadi kalau kita berbicara kenapa PPDB dan sistem zonasi gagal ini masih terjadi terus-menerus, karena jumlah sekolah dan jenjang pendidikan tidak sama dengan jumlah siswa yang lulus,” ungkapnya.

Untuk itu solusinya dibutuhkan sekolah baru. Tetapi masalahnya, lanjut Dede, pembangunan sekolah baru domainnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,( PUPR), sehingga diperlukan pembicaraan masalah itu dengan komisi lain di DPR RI.

Kalau 20 persen anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Kemendikbud) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara , ( APBN), sebenarnya cukup.

Namun, masalahnya anggaran itu tersebar di pendidikan negeri dan swasta.

Dede juga meminta agar anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN difokuskan di Kemendikbud agar pembangunan sekolah baru bisa dilakukan.

Dia mengatakan selama ini anggaran pendidikan menjadi minim karena tersebar di sejumlah kementerian lain sehingga tidak cukup untuk membangun sekolah.

“Kami (Komisi X DPR -red) akan perjuangkan anggaran pendidikan. Kita mencari formula adanya sekolah semuanya favorit. Karena itu saya senang kembalikan anggaran pendidikan ke kementerian pendidikan,” tukas Dede.

Terkait dengan masalah itu Dede mengemukakan bahwa Komisi X DPR meminta pemerintah membentuk Satuan tugas ( Satgas) pengawasan PPDB dengan melibatkan Ombudsman, Pemerintah Daerah, dan Kemendikbud. Sedangkan opsi yang kedua adalah jika PPDB ini lebih banyak penyimpangan maka sistem itu harus kembali kepada tes.

Dede juga membenarkan, saat ini pemerintah telah melakukan perbaikan pada sistem PPDB. Semisal pada sistem zonasi yang tidak lagi melihat Kartu Keluarga (KK) melainkan pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) .

Dengan demikian, ketika seorang calon siswa mendaftar dengan memilih sekolah terdekat sesuai KK, maka yang dilihat adalah sekolah asal siswa tersebut. Jika ternyata sekolah sebelumnya dari tempat yang jauh, maka pendaftar tersebut akan dinyatakan tidak lolos verifikasi.(j04)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE