PARIS (Waspada): Istri Thiago Alcantara, Julia Vigas (foto), mengatakan pengelolaan dan pengamanan laga Liverpool kontra Real Madrid akhir pekan lalu di Paris menjadi paling parah sepanjang dirinya mengikuti final Liga Champions.
“Saya tidak suka mengomentari hal-hal demikian, tetapi kali ini saya perlu mengekspresikan diri. Final kemarin mimpi buruk yang paling parah,” unggah Vigas, seperti dikutip dari Instagram Story pribadinya, Senin (30/5).
“Itu bukan tentang sepakbola saja, tapi jauh melampaui hasil akhirnya. Karena kurang cakapnya organisasi dan keamanan, ada begitu banyak momen menakutkan,” sesalnya lagi.
Vigas sudah pernah menyaksikan secara langsung beberapa laga final Liga Champions, ketika Thiago masih membela Bayern Munich dan Barcelona. Namun insiden sebelum kick-off di luar Stade de France dalam laga yang dimenangkan Madrid dengan skor 1-0 itu, menurutnya, sungguh memprihatinkan.
Beberapa suporter kena semprotan merica dan diserang polisi serta geng lokal Prancis saat mereka kesulitan memasuki stadion. Beberapa gerbang stadion terkunci karena rumor beredarnya tiket palsu yang dimiliki fans The Reds.
“Kami terus-menerus diancam oleh gerombolan perampok. Mereka mencoba menyerang kami dan menyelinap ke stadion tanpa tiket,” jelas Vigas.
“Karena hal tersebut banyak suporter diabaikan di luar dan tidak bisa menonton pertandingan yang memicu desak-desakan,” tambah ibu dua putri dari hasil hubungan asmaranya dengan gelandang Liverpool tersebut.
Venue final musim ini dipindah dari Saint-Petersburg ke Paris oleh Konfederasi Sepakbola Eropa (UEFA), menyusul invasi Rusia ke Ukraina. Tetapi pihak penyelenggara di Paris sepertinya kurang siap, sehingga kick-off sampai tertunda selama 35 menit.
“Gas air mata ditembakkan oleh polisi ke keluarga dan suporter, beberapa dari mereka juga dipukuli. Semuanya adalah orang-orang yang tidak bersalah,” sesal Vigas.
“Karena semua masalah ini, kami harus meninggalkan stadion dengan dikawal demi keselamatan kami. Harus ada tindakan yang diambil, kejadian seperti ini tidak boleh terjadi dalam acara apapun dan kami meminta pertanggungjawaban,” tegasnya.
Minta Penyelidikan
Menurut CEO Liverpool Billy Hogan, pihaknya telah menuntut adanya penyelidikan penuh atas kekacauan di luar Stade de France dengan menggambarkan momen itu sungguh tidak bisa diterima.
“Di pintu masuk stadion dengan gangguan keamanan di perimeter benar-benar tidak dapat diterima. Terus terang perlakuan terhadap fans kami juga, seperti yang kami diskusikan dengan UEFA,” klaim Hogan.
“Kami meminta penyelidikan penuh dan transparan, penyelidikan independen yang dapat membantu menetapkan fakta. Sangat penting bagi kami untuk memahami apa yang telah terjadi,” katanya lagi.
Andy Robertson, bek kiri Si Merah asal Skotlandia, sebelumnya telah mengecam panitia penyelenggara karena adanya kekacauan sehingga kick-off ditunda selama 35 menit.
Ribuan penggemar berusaha memaksa masuk Stade de France. Polisi huru-hara pun menembakkan gas air mata ke arah penggemar saat kekacauan terjadi di dekat ujung lapangan kubu Liverpool.
“Itu mengerikan bagi penggemar kami dan semua keluarga yang telah melewatinya juga. Ini bukan pengalaman menyenangkan, bukan final yang bagus untuk didatangi,” sindir Robertson.
“Liga Champions seharusnya menjadi perayaan, tetapi bukan demikian. Gas air mata yang dilemparkan ke orang-orang tentu tidak bisa diterima,” katanya menambahkan.
Robertson menambahkan, seorang temannya ditolak memasuki pertandingan tersebut. “Salah satu teman saya diberi tahu itu (tiket) palsu. Saya jamin tidak, itu benar-benar berantakan,” beber bek berumur 28 tahun tersebut.
Manajer Jurgen Klopp pun mengakui, dirinya mendapat informasi banyak keluarga dari beberapa pemain Liverpool kesulitan untuk memasuki stadion, padahal mereka telah memiliki tiket.
“Saya juga mendengar bahwa kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana,” papar pelatiih asal Jerman itu.
“Saya mendengar beberapa hal yang tidak baik, tidak menyenangkan. Jelas itu cukup sulit di sana, tapi saya tidak tahu lebih banyak tentang itu,” pungkas Klopp.
Kemenangan atas Marseyside Merah di Stade de France, kian mengukuhkan status El Real sebagai Raja Eropa. Itu menjadi gelar juara ke-14 Madrid sejak kompetisi itu digelar pada 1955 dengan nama yang lebih dikenal sebagai Piala Champions.
Klub kesayangan Jenderal Franco itu mendominasi lima edisi pertama Piala Champions, sebelum menambah satu trofi lagi di era kepemimpinan Sang Diktator Spanyol tersebut pada 1966.
Setelah kompetisi berganti format dan nama menjadi Liga Champions sejak musim 1992/1993, Los Blancos merasakan gelar juara era baru pada 1998 sebelum memenangi edisi pemungkas abad 20 pada 2000.
Real kembali kampiun pada 2002 dengan menaklukkan Bayer Leverkusen yang kala itu berusaha menciptakan kejutan.
Pada 2014, Madrid menggenapi gelar ke-10 yang kesohor sebagai La Decima di Stadion da Luz, Lisbon, Portugal, setelah menaklukkan rival sekota Atletico Madrid dalam partai final.
La Decima rupanya hanya jadi cuplikan era baru dominasi Los Blancos di Liga Champions. Sebab pada 2016, 2017 dan 2018, mereka menyapu bersih gelar juara kompetisi itu sembari membuat Zinedine Zidane sebagai pelatih pertama yang meraih hatrik juara.
Madrid lantas meraih gelar ke-14 dengan menaklukkan Liverpool 1-0 di Paris, sekaligus membayar lunas kekecewaan yang pernah mereka rasakan 41 tahun silam di kota yang sama. (m08/ig/sky/bbc)