Oleh: Farid Wajdi
Banjir besar di Sumatera kembali menjadi cermin ketimpangan antara kebutuhan publik dan kebutuhan politis. Ketika warga bertahan di atap rumah, kehilangan keluarga, serta hidup dalam ketidakpastian, sejumlah pejabat justru tampil sebagai figur yang bergerak seolah sedang berada di panggung sandiwara.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Sorotan publik menguat setelah liputan Tempo (2025) mencatat rangkaian kunjungan pejabat yang menguras waktu aparat lapangan demi menyempurnakan agenda seremonial. Petugas daerah menggambarkan situasinya sebagai “kerja rodi simbolik”, karena energi mereka habis untuk menata panggung kunjungan, bukan menolong korban.
Video yang beredar, salah satunya ditampilkan dalam kanal Kompas TV (2025), memperlihatkan rombongan pejabat yang membuat lalu lintas bantuan tersendat. Pojok opini Magdalene (2025) menggambarkan aksi semacam ini sebagai “performativitas kekuasaan” yang menegaskan jarak besar antara penderitaan publik dan kebutuhan pencitraan pejabat.
Adegan penjemputan, pembersihan lokasi, serta pengaturan titik foto yang “layak liput” memperlihatkan betapa bencana dapat berubah menjadi ruang dramatik yang mengabaikan substansi penanganan.
Pengamat politik Aristo Pratama (2024) menyebut gejala ini sebagai overkapasitas simbolik, yakni dorongan untuk selalu hadir dalam setiap ruang publik demi mempertahankan persepsi kedekatan dengan rakyat, meski tidak sedang memasuki masa kampanye.
Kunjungan dilakukan bukan untuk mempercepat penanganan, tetapi untuk mengamankan legitimasi citra. Kecenderungan ini paralel dengan temuan Jennifer M. Merolla (2017) tentang pejabat Amerika Serikat yang menjadikan bencana sebagai momen fotogenik, atau hasil studi Chandrasekhar dan Curry (2020) di India yang memperlihatkan rombongan pejabat justru menghambat proses penyelamatan.
Di Indonesia, situasi serupa dibingkai media sebagai paradoks. EnergyWorld (2025) menyebutnya “kesombongan kekuasaan di tengah derita rakyat”, sedangkan Kompas.com (2025) menulis konflik antara solidaritas publik dan simbol politik sebagai fenomena yang “menguras energi penyintas bencana”.
Publik akhirnya bertanya-tanya: mengapa negara yang memiliki BNPB, BPBD, anggaran besar, protokol lengkap, personel TNI-Polri, serta teknologi pemantauan cuaca malah kalah cepat dibanding relawan biasa?
CHUB Fisipol UGM melalui laporan tahun 2020 mencatat kecepatan publik dalam merespons bencana muncul dari dorongan moral, bukan mekanisme administratif. Tidak ada pengawalan, tidak ada surat perintah, tidak ada protokol tiga lapis.
Sumber daya publik mengalir sebagai altruisme spontan, sedangkan aparatur negara dipagari prosedur yang panjang. Protokol resmi sering dijalankan demi keamanan karier, bukan keamanan korban.
Kontras ini memperlihatkan struktur yang sedang bermasalah. Petugas lapangan tidak bisa bergerak cepat sebab semuanya diukur berdasarkan laporan ke atasan. Tempo (2025) menyinggung kultur “asal bapak senang”, laporan harus rapi, lokasi harus ditata, rombongan harus terlihat impresif. Ketika publik sudah berjibaku dengan logistik seadanya, pejabat malah tiba dengan skenario kamera lengkap. Bencana berubah menjadi panggung politik, bukan panggung kerja.
Fikih dan Rasionalitas Kepemimpinan
Etika politik Islam menempatkan jabatan sebagai amanah yang tidak boleh digunakan untuk kepentingan simbolik atas penderitaan publik.
Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin memuat peringatan keras: pemimpin adalah gembala yang bertanggung jawab atas keselamatan yang dipimpinnya, bukan keselamatan citranya.
Tradisi hisbah menempatkan perlindungan kemaslahatan umum sebagai kewajiban prioritas, sehingga tindakan pejabat yang mengorbankan efektivitas penanganan bencana demi pertunjukan kamera termasuk bentuk pelanggaran etis.
Yusuf al-Qaradawi (2001) menegaskan kemaslahatan publik sebagai fondasi syariah yang tidak dapat ditunda oleh alasan politis. Ketika bantuan tertahan demi menunggu pejabat datang, atau ketika lokasi bencana dirapikan demi kebutuhan foto, kerusakan moral kekuasaan menjadi nyata.
Amartya Sen (1999) menyebutnya display governance, sebuah pemerintahan yang memamerkan kerja, bukan menjalankannya.
Pada satu sisi lain, jaringan publik bekerja dalam ketenangan yang efektif. Kompas.com (2025) melaporkan relawan Railfans Indonesia menghimpun dan menyalurkan bantuan dalam tempo sangat singkat.
Program donasi Lazismu (2025) memperlihatkan betapa dukungan publik dapat bergerak seperti serat halus yang cepat menjangkau daerah-daerah yang terputus.
Kompasiana (2025) mencatat inisiatif warga untuk mengevakuasi korban dan memasak dapur umum tanpa menunggu perintah siapa pun, hanya digerakkan oleh rasa kemanusiaan yang organik.
Kekuatan publik ini menjadi kontras moral yang menyakitkan: di satu sisi ada gerak cepat yang spontan dan tulus; di sisi lain ada rombongan pejabat yang kadang lebih memberatkan dibanding membantu.
Peneliti sosial Ignas Kleden (2022) menulis solidaritas akar rumput merupakan sumber ketahanan publik Indonesia yang tidak pernah benar-benar dihargai negara.
Di tengah bencana Sumatra, ketahanan itu terlihat sangat terang. Relawan muncul dari kelompok pecinta kereta, komunitas hobi, pengusaha kecil, sampai komunitas daring yang tidak mengenal satu sama lain. Mereka bergerak tanpa kamera, tanpa rombongan mobil hitam, dan tanpa perlu menandai keberadaan dirinya.
Etika fikih menawarkan panduan sederhana untuk pejabat publik: kurangi protokol yang menghambat, percepat langkah yang menyelamatkan, dan kendurkan ambisi personal yang mengorbankan nyawa.
Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah menulis pemimpin ideal adalah ia yang mendahulukan manfaat publik meskipun itu menghapuskan popularitas dirinya. Pesan klasik ini terasa sangat relevan dalam politik kontemporer yang kerap menjadikan tragedi sebagai karpet merah untuk performativitas.
Bencana bukan ruang menjadi bintang. Bencana memerlukan kepemimpinan yang bekerja diam-diam seperti para relawan, bukan pemimpin yang mengubah dukacita menjadi dekorasi pencitraan.
Publik semakin mengingat siapa yang benar-benar hadir bekerja dan siapa yang hanya hadir untuk direkam. Memori publik, seperti sejarah, tidak pernah dapat dibohongi oleh panggung politik!
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU.












