Oleh Taufiq Abdul Rahim
Perkembangan dunia politik serta kepemimpinan di era modern, tak terlepas dari pada dinamika kehidupan sosial kemsayarakatan modern serta kontemporer.
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Sehingga landasan ideologis, normative dan filosofis perlu dipahami bahwa, kekuasaan politik baik diperoleh secara demokratis, semi demokratis, otoriter serta menghalalkan segala cara menjadikannya menarik untuk dikaji, dianalisis dengan pemikiran rasional saintis serta bertanggung jawab secara keilmuan, praktik maupun implementasi politik. Pada dasarnya keilmuan yang berhubungan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, meskipun berkembang secara dinamis, akan tetapi tetap berlandaskan aturan hukum, norma, perundang-undangan, etika-moral dan menjunjung tinggi keadaban serta harkat martabat-manusia.
Dalam kehidupan manusia normal, istilah kecanduan ataupun candu memiliki makna tersendiri, dapat saja merupakan kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang, memiliki ketergantungan, menjadi biasa jika telah melakukan ataupun mengonsumsi sesuatu sehingga merasakan kepuasan yang maksimal (maximum satisfaction). Sehingga ada yang berasumsi sebagai sesuatu yang lumrah, namun adakalanya dianggap sebagai yang negatif jika dilakukan terhadap sesuatu barang yang terlarang, misalnya yang mengandung zat adiktif, berbahaya, menghilangkan kesadaran, berbahaya dan mengurangi dan atau hilang ingatan serta berdampak memabukkan.
Jika diimplementasikan dalam konteks politik kekuasaan, ini menjadikan kondisi ketidakstabilan, ketidakdamaian, ketidakadilan, maka kekuasaan menjadi sangat arogan, diskriminatif, otoritarian, hegemoni serta sangat mudah melanggar aturan hukum, undang-undang, etika moral dalam kehidupan kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan. Talcot Parson (1957) menyatakan kekuasaan bahwa, kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat.
Selanjutnya kekuasaan berhubungan dengan pemimpin menurut Laswell dan Kaplan (1970), mengungkapkan bahwa, kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Sementara itu, Max Weber Wirtschaft und Gesellschaft (1992), kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. Selanjutnya, C. Wright Mills (1956) yaitu, kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan mempunyai sifat memaksa. Sehingga kekuasaan dan kepemimpinan merupakan usaha memperlihatkan kemampuan untuk memimpin kehidupan sosial kemasyarakatan dengan alternatif kebijakan publik, meskipun ada sifat memaksa, namun demikian tidak bertindak semena-mena bahkan memperlihatkan arogansi kekuasaan, karena dapat saja mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan kelompok tertentu yang tidak menyetujuinya dalam konteks hubungan sosial.
Dengan demikian jika praktik politik negara kekuasaan, maka ketentapan hukum dan konstitusi juga dapat dirubah oleh penguasa politik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, para oligarki dan pengusaha yang menjadi mitra kebijakan kekuasaan politiknya, sehingga sangat mendominasi serta menjajah rakyatnya dalam kekuasaan politik secara berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan bahwa, kekuasaan politik pemimpin tersebut menjadi candu yang memabukkannya untuk terus dan tetap berkuasa, tanpa sadar bahkan cacat hukum, moral dan etika yang semestinya salah satu pemahaman yang mesti dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia beradab.
Karena itu, candu yang berkaitan dengan perilaku seseorang menjadi kecanduan (Daryanto. 1997) yaitu, kejangkitan suatu kegemaran, sehingga lupa pada hal-hal lain. Sesungguhnya candu ini berasal dari sesuatu getah, biji ataupun tanaman dari beberapa yang diambil dari sesuatu pohon tertentu, diolah kemudian dipakai untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri, bahkan dapat mengurangi kesadaran manusia normal, bahkan mabuk. Sehingga pemimpin yang memiliki kecanduan kekuasaan politik dalam perilaku kehidupan masyarakat ataupun manusia, meskipun telah merusak sistem hukum, politik, demokrasi dan berbagai dimensi kehidupan lainnya. Bahkan melakukan praktik kekuasaan “abused of power” dengan cara menyandera bawahannya, memanfaatkan aparat hukum, menjerat dengan berbagai kasus hukum yang dipegang, jika sewaktu-waktu tidak patuh akan dibongkar juga dijadikan tersangka.
Demikian praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai suatu sistem yang mampu menjadi daya rusak segala sistem kehidupan sosial-kemasyarakatan, bangsa dan negara denga sengaja dihidup suburkan dalam kekuasaan politiknya. Kemudian merubaha tauran hukum, konstitusi dan undang-undang dengan menghidupkan politik dinasti (keluarga, anak, menantu, kerabat dekat), para penguasa bersama sebelumnya ditempatkan pada posisi startegis menteri dan kelembagaan negara lainnya.
Ini semua di bawah kendali kekuasaan politik memabukkan, dengan merubah serta menggantikan sistem hukum dan aturan agar tetap menjadi penguasa politik, meskipun rakyat banyak telah melawan karena negara sasngat dirugikan oleh perilaku candu dan kerakusan politik yang tiada henti, serta memuakkan terhadap siitem demokrasi yang semakin rusak dicoba dikendalikan secara hegemoni politik.
Dengan demikian, masih tetap patuhkan sebagian pemangku kekuasaan politik yang selama ini dikendalikan oleh pemimpin candu kekuasaan, sementara itu rakyat semakin kritis, muak serta menciptakan perlawanan secara hukum untuk segera menangkap pemimpin tersebut yang sama sekali jauh dari keberhasilan memakmurkan, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan merata. Demikian juga, pemimpin yang candu kekuasaan politik saat ini terus bergentayangan ingin membuat serta menciptakan pengaruhnya yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa disadari segala sesuatui yang ingin diciptakannnya terus mendapatkan perlawanan rakyat.
Hal yang prinsipil bahwa, kekuasaan politik dipaksakan oleh pemimpin politik dan negara, jika rakyatnya terus tertekan dan diintimidasi berbagai kebijakan politik merugikan publik dan merasa terjajah oleh pemimpin politiknya, maka akan menciptakan perlawanan, sebagai rakyat yang ingin hidup merdeka jauh dari cengkeraman penjajahan dari negaranya sendiri. Makanya kekuasaan politik yang didukung oleh pemimpin yang memiliki perilaku kauasa dengan candu kekuasaan, ini akan menimbulkan perlawanan dari rakyat semesta yang memiliki kesadaran yang sesungguhnya.
Karena itu perlawanan rakyat atas demokrasi dan dominasi politik yang menjajah, ini merupakan suatau kesadaran menghadapi pemimpin yang memiliki perilaku politik candu kekuasaan, politik memabuk yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan secara terpusat atau sentralistik, sehingga sangat terkesan menjajah bangsanya.
Jika memahami telaah teori hegemnoni dari pada Antonio Gramsci (1891-1937) dari bukunya Selection from Prison Notebooks. Ini merupakan catatan Gramsci selama dipenjara antara tahun 1929-1935. Bahwa teori hegemoni Antonio Gramsci memperlihatkan berbagai relasi kekuasaan dan penindasan pada masyarakat, melalui perspektif hegemoni, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa. Sehingga praktik politik ini menjadikan hegemoni berpusat pada persoalan tertindasnya kesadaran masyarakat oleh negara. Demikian juga, hubungan negara dengan rakyat merupakan tempat masuknya hegemoni kekuasaan, dimana kehidupan rakyat mengalami penjajahan oleh kekuasaan negara. Akibatnya, masyarakat tidak berdaya, karena tidak ada ruang bagi rakyat mengembangkan kesadarannya secara mandiri.
Dengan demikian, pemimpin yang memiliki perilaku politik candu/mabuk kekuasaan, dengan segala kemampuan hegomoni serta kelicikannya ingin terus berkuasa. Ini tanpa disadari bahwa, perlawanan rakyat juga akan terbentuk dengan sendirinya sebagai manusia merdeka yang memerlukan pengakuan harga diri, harkat dan martabat yang dimiliki secara bersama-sama. Sehingga harus tangkap pemimpin candu kekuasaan yang berperilaku diluar kesadaran manusia normal (mabuk) kekuasaan, dimana selama ini telah merusak demokrasi politik, hukum serta seluruh tatanan kehidupan masyarakat dan menyengsarakan rakyatnya.
(Penulis: Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC-Aceh)