Barus, Titik Minus Peradaban Islam oleh Dr Arfanda Siregar, M.Si

  • Bagikan

Jangan biarkan Barus makin jatuh ke titik di bawah nol atau titik minus setelah menjadi Titik Nol Peradaban Islam di Indonesia

Tidak ada bekas-bekas kedatangan Presiden Joko Widodo ke pinggir Pantai Barat Sumatera yang berhadapan dengan lautan lepas Samudra Hindia, Barus. Kedatangan presiden meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara pada tahun 2017 lalu tidak diiringi dengan percepatan pembangunan sarana dan prasarana sebagai pengukuh Barus sebagai saksi bisu penyebaran Islam yang pertama di Indonesia.

Warna monumen titik nol di pinggir pantai sebagai tonggak peradaban kian kusam tersapu angin laut. Beberapa ornamennya mulai rusak, kumuh, dan tidak terawat, seolah menyembunyikan pengakuan presiden melalui tanda tangannya. Bagaimana Barus setelah menjadi titik nol peradaban?

Jejak Peradaban Islam

Barus sejak dulu menjadi kunjungan para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Barus mendunia karena pohon bernama kamper (kapur Barus) menjadi bahan pewangi alami yang bukan saja disukai keharumannya namun juga menjadi bahan pewangi mummy di Mesir Kuno.

Claude Guillot dalam buku “Lobu Tua: Sejarah Awal Barus” mengungkapkan bahwa sejak abad ke-6 Masehi, kamper sudah terkenal di dunia, mulai dari Tiongkok hingga ke kawasan Laut Tengah.

Kemasyuhuran Barus tercatat pada peta tua yang dibuat Cladius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani berpuluh abad lalu. Dari seluruh kota di Nusantara, Barus satu-satunya kota yang terdata di peta tersebut diantara berbagai daerah di Nusantara.

Peta tua tersebut menyebutkan di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur Barus. Popularitas Barus kerap berkaitan dengan kamper. Kebutuhan masyarakat dunia atasnya membuat Barus selalu menjadi sasaran kunjungan para pedagang dari mancanegara, seperti Eropa dan Timur Tengah.

Perkembangan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan kebutuhan kapur Barus untuk pewangi ketika melaksanakan ibadah. Hal itulah yang membawa pedagang sekaligus pendakwah Islam dari Timur Tengah sampai di pelabuhan Barus. Claude Guillot memaparkan bukti-bukti bahwa Barus sudah menjadi kawasan perdagangan yang ramai dijejaki pedagang Islam dari Arab sejak abad ke 6 Masehi.

Jejak-jejak kedatangan Islam di Barus mendapat dukungan kuat dari berbagai situs sejarah di sana. Salah satunya makam tua di Kompleks Pemakaman Mahligai, Barus. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriyah, menjadi bukti bahwa komunitas Muslim sudah ada di sana sejak abad ke 7.

Selain itu, ada juga Kompleks Pemakaman Muslim Papan Tinggi yang letaknya berada di perbukitan. Makam di atas bukit tersebut adalah Syekh Mahmud bin Abdurrahman bin Muaz bin Jabal yang meninggal pada abad 7 Masehi. Muaz bin Jabal kakeknya Syakh Mahmud adalah salah seorang sahabat tercinta Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, terdapat makam para ulama penebar Islam di Indonesia abad ke 7 silam, seperti Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu. Barus juga menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas, perhiasan perak, prasasti dan fragmen arca sebagai jejak sejarah kedatangan Islam pertama di Indonesia.

Barus Sekarang

Barus sekarang tidak seperti dulu yang menjadi tempat persinggahan para pedagang mancanegara mencari kapur barus, kemenyan, dan berbagai jenis rempah. Bahkan, pohon kapur Barus yang pernah tenar hanya tinggal beberapa saja dan tidak lagi menjadi primadona masyarakat mancanegara.

Barus sekarang adalah salah satu kecamatan di pelosok Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Datanglah ke sana, maka tak tampak lagi jejak peradaban Islam yang pernah jaya. Tidak akan dijumpai berbagai situs sejarah, seperti masjid, Istana, sekolah agama, universitas Islam, dan berbagai bangunan berasitektur Islam kuno yang menunjukkan Islam pernah Berjaya di Barus.

Bahkan perkembangan Akidah Islam juga sangat memperihatinkan dan tergerus dengan adanya perkembangan agama maupun kepercayaan lain. Jumlah umat Islam di Barus dalam waktu terakhir sudah menjadi minoritas, sementara Kristen menjadi mayoritas.

Desa tempat lokasi makam Syeikh Mahmud yang berada di puncak gunung dengan ketinggian sekitar 215M dari permukaan laut yang muslim hanya satu keluarga, yaitu keluarga yang menjaga makam itu sendiri dan tinggal di kaki gunung-perbukitan makam tangga seribu itu sendiri.

Secara ekonomi Barus pun tak menunjukkan kota yang pernah menjadi pusat kunjungan pedagang mancanegara. Pembangunan di sana tidak mampu mengangkat harkat dan martabat penduduknya. Pelabuhan Barus yang ramai hanya tinggal catatan sejarah.

Perkerjaan masyarakat yang bertumpu sebagai nelayan tradisional tak mampu mengangkat harkat ekonominya. Rumah-rumah kayu beratap seng yang kumuh menandakan tingkat ekonomi masyarakat tergolong rendah.

Pariwisata yang seharusnya bisa menjadi andalan pemerintah daerah, baik dengan menjual keindahan pantai nan eksostik, situs-situs agama Islam, dan kuliner pesisir belum serius dilirik pemerintah daerah.

Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang dapat menggugah wisatawan domestik menikmati suasana pantai Barus yang pernah jaya di masa lampau belum diseriusi pemerintah setempat. Baik sebelum dan sesudah penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Indonesia, pembangunan di Barus nyaris tak terdengar di tengah gegap gempita pembangunan jalan tol.

Hingga sekarang Barus berada di titik nol kemajuannya. Harapan besar masyarakat agar Kota Barus bisa pesat berkembang setelah ditetapkan menjadi awal dari perkembangan peyebaran Islam di Indonesia tidak termanifestasi dalam wujud kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

Orang bijak bertutur apalah arti sebuah penghargaan dan sanjungah jika hanya sekadar pengakuan. Tentu saja, pengakuan bahwa Barus menjadi Titik Nol Peradaban Islam Indonesia akan lebih bermakna kalau diiringi kemauan pemerintah membangun peradaban dan kemajuan Barus yang nyata dan dirasakan oleh masyarakat Barus.

Jangan biarkan Barus makin jatuh ke titik di bawah nol atau titik minus setelah menjadi Titik Nol Peradaban Islam di Indonesia. Semoga Tidak.

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan, Putra Sibolga.

  • Bagikan