Oleh Teuku Kamaruzzaman
Selama periode 14 hari itu Rakyat Aceh seperti diajak kembali ke zaman purba, setelah berhari-hari bahkan berminggu harus hidup tanpa listrik maupun jaringan telekomunikasi.
Perlengkapan masyarakat modern seperti gadget, komputer, mesin cuci, televisi, AC, lemari pendingin dan lainnya tidak lagi bisa digunakan bahkan termasuk di daerah tidak terdampak bencana seperti Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Pidie.
BBM dan elpiji yang langka sehingga masyarakat terdampak telah meliputi 5-6 juta Rakyat Aceh, karena industri rumah tangga, UMKM serta melonjaknya bahan kebutuhan pokok karena distribusi yang terkendala transportasi.
Kemampuan penanganan bencana oleh Lembaga/Organisasi Pemerintahan yang ada terlihat sangat terbatas. Tidak telihat ada keandalan dan kualifikasi Humanitarian Workers dalam unit-unit Resque yang dimiliki Negara, dan sebahagian terlihat malah mirip orang kantoran.
Di beberapa daerah terisolir rakyat korban mungkin makan apa saja yang ada karena nasi dan makanan lainnya telah berhari-hari tidak dapat ditemui. Mereka harus menempuh jalan puluhan kilometer dan bahkan berhari zari untuk dapat mendapatkan makanan bagi diri dan keluarganya yang bisa selamat.
Keterisolasian yang terlalu lama buat sebahagian korban bencana yang belum dapat diakses dengan bantuan, ini berakibat juga kepada pencarian serta evakuasi korban yang dapat diselamatkan maupun dapat ditemukan.
Tidak nampak droping besar besaran logistik ke daerah terisolir oleh pesawat udara, sebagaimana saat Bencana Tsunami terjadi pada waktu lalu, di mana evakuasi, penyelamatan korban dan penyaluran logistik yang dilakukan oleh berbagai pihak saat terjadi bencana tahun 2004 itu, disebarkan secara besar-besaran ke berbagai lokasi termasuk yang tidak terdampak agar dapat diperoleh bantuan pangan bagi semua rakyat Aceh akibat terdampak situasi bencana dan itu dilakukan tanpa perhitungan lain kecuali guna penyelamatan nyawa manusia.
Juga tidak terlihat pengerahan komponen cadangan Negara untuk pencarian dan penyelamatan korban bencana secara masif baik di darat, sungai maupun di laut ataupun korban yang kemungkinan tertimbun lumpur. (Sebagai bahan perbandingan penanganan Bencana Tsunami dan Bencana Hydro Meteorologi/ Syklon Senyar 25).
Jaringan telekomunikasi yang seharusnya mandiri (punya genset/batteray) malah beralasan juga tidak ada listrik dan BBM, sehingga jaringan komunikasi dan informasi yang penting di seluruh Aceh terganggu kecuali beberapa yang telah memiliki Starlink.
PT PLN hanya melakukan perbaikan jaringan listrik dengan mekanisme biasa pasca Bencana atau perbaikan kerusakan yang pasti akan memakan waktu lama tergantung kondisinya, walau katanya sudah mengerahkan puluhan ribu teknisi dari seluruh Indonesia. Namun tidak terlihat Emergency Respon seperti adanya pengadaan generator listrik untuk kota-kota terdampak bencana sebagai alat aktivitas dan jalur komunikasi vital untuk seluruh Aceh.
Pertamina baru pada hari ke 10 mulai lancar menyalurkan BBM dan elpiji setelah sebelumnya berkutat soal kuota.
Yang patut diberi apresiasi hanya Badan Pangan Nasional dan Bulog yang memiliki stok pangan yang cukup. Untuk berapa saja keperluan bagi korban dan dapat diambil kapan saja oleh Posko Kebencanaan yang ada. Malah akan ditambah lagi ribuan ton beras sesuai permintaan Pemerintah Aceh.
Buat Pemerintah dan Rakyat Aceh sikap meremehkan/mengabaikan penyelamatan satu nyawa korban bencana Aceh, sama seperti meremehkan 5-6 juta nyawa Rakyat Aceh.
Aceh sepertinya memang telah terlahir dan ditakdirkan Allah SWT selalu dalam episode perjuangan, baik dalam konflik antar manusia (konflik politik maupun senjata) maupun Perjuangan dalam menghadapi bencana alam secara mandiri.
Bencana Tsunami telah memberi Aceh Perdamaian untuk konflik selama hampir 30 tahun.
Dalam Bencana Hydro Meteorologi ini Allah SWT mungkin punya rencana lain untuk rakyat Aceh. Allah SWT adalah perencana terbaik.
Untuk itu Aceh harus bisa dan berani berjuang dalam bencana dengan berdiri di atas kaki sendiri dengan semua kekuatan dan kemampuan yang ada dalam masyakarat Aceh karena ” Kita Aceh Meutaloe Wareeh”.
Statemen Gubernur Muzakir Manaf bahwa kita hanya boleh berharap pada ketentuan dan pertolongan Allah SWT, karena jika kita berharap pada manusia maka kita mungkin akan kecewa. Ini sudah cukup menggambarkan situasi dan kondisi yang Aceh akan hadapi dalam Negara Bangsa ini.
Penulis adalah Mantan Sekretaris BRR Aceh Nias dan Juru Bicara Pemerintah Aceh











