Oleh: Taufiq Abdul Rahim
Diskusi, perbincangan serta analisis berkaitan dengan demokrasi politik, acapkali menjadi lebih menarik dan memerlukan pemikiran yang brilian untuk diperdebatkan dan diulas secara mendalam. Pada kondisi kekinian demokrasi politik juga berkembang isu secara nasional Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 14 Februari 2024, mendapatkan pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Kemudian juga hadir pula wacana memperpanjang masa kepemimpinan Presiden RI menjadi 2027 atau 2028. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan serta analisis politik yang sama-sama dikaitkan dengan persoalan perekonomian atau pertumbuhan ekonomi yang masih rendah antara 3-3,5 persen per tahun, pada saat kondisi Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19), hingga saat ini masih belum tuntas.
Permasalahannya berkaitan dengan Pemilu 2024 dan menunggu masa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak ada penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), demikian juga dampak kehidupan sosial-budaya, politik dan ekonomi serta berbagai fasilitas pendukung lainnya belum stabil juga tidak mampu memberikan kenyamanan hidup rakyat. Selanjutnya, ini diperkirakan akan menjadi alasan penting secara politik serta pengambilan kebijakan dapat menjadikan distabilitas politik, pergantian pemimpin negara “katanya” selama ini dianggap sangat di”cintai” rakyat, dimana merusak demokrasi politik, dengan kekuasaan poluitik dinasti.
Dalam hal ini secara demokrasi politik, sesungguhnya sangat tidak rasional jika ini dipaksakan serta melanggar ketentuan, undang-undang dasar, etika-moral serta landasan ideal politik kenegaraan. Karena merubah atau melakukan revisi undang-undang yang menetapkan pergantian pimpinan dengan tetap ingin menjadi pengendali kekuasaan politik. Dalam analisis politik kekuasaan, dengan melakukan, memecah-belah intervensi, merebut kekuasaan pada partai politik tertentu dilakukan kekuasaan individu, kelompok untuk kepentingan politik. Keinginan secara kepentingan politik, lobby politik serta usaha melegalkan syahwat politik, semakin kentara serta transparan juga cara licik, menguasai legislatif (DPR-RI) dengan berbagai rekayasa politik agar nafsu kekuasaan politik dinasti tercapai. Hal ini semua dianggap sebagai “probability action politics” dalam praktik politik yang serba mungkin dilakukan para elite kekuasaan, baik secara legalitas undang-undang maupun paksaan yang dilakukan oleh individu, partai atau kelompok tertentu juga terhadap kelompok lainnya dan masyarakat luas.
Praktik politik serba mungkin ini, dapat saja ditempuh secara legalitas atau dengan cara-cara halus, licik dan paksa, hal ni berkembang selaras dengan sistem oligarki politik dan pragmatisme yang semakin masif dalam kehidupan sistem politik serta kehidupan masyarakat atau rakyat. Secara realistik empirik politik, hal ini dikendalikan oleh kekuasaan elite politik, partai politik serta berbagai unsur lingkaran kekuasaan mengendalikan menguasai kondisi serta kehidupan politik yang sedang berlangsung dan kelompok kekuasaan yang oligarki otoritarian. Hal ini terbentuk secara sistemik, dimana pemimpin membentuk “inner cycles” yang tidak mudah dimasuki ataupun ditembus pihak lainnya. Menurut Duverger (1967), kekuasaan oleh segelintir orang, ini semakin dipermudah lagi oleh sikap anggota masyarakat yang tidak perduli tentang urusan politik partai, senantiasa menjunjung pemimpin lama dan berprasangka terhadap wajah baru. Ini merupakan perwujudan fenomena oligarki yang dipahami serta secara sistemik bahwa politik adalah urusan parati politik, masyarakat acuh tak acuh dengan sistem politik, Pemilu, sistem pemerintahan, maka itu sistem demokrasi pemerintahan terus berusaha diketepikan. Sementara itu, partai politik dan berbagai perangkat pendukungnya terus merekayasa menghilangkan demokrasi politik dengan berbagai cara, yang sesungguhnya demokrasi politik mesti digalakkan serta ditumbuhkan pemikirannya dalam kehidupan masyarakat, sistem politik dengan adanya persaingan berlandaskan demokrasi, adalah lebih baik dari pada sistem diktator ataupun “autoritarianism politics” sebuah bangsa merdeka..
Dalam hal ini secara politik otoritarianisme kehidupan ekonomi masyarakat, perkembangan sistem oligarki politik dan ekonomi memberikan peluang yang sangat besar serta luas terhadap berbagai kepentingan yang dimanfaatkan oleh para elite politik, partai serta keorganisasian memanfaatkan kekuasaan “abused of power” pemimpin politik semakin hidup subur menguasai dan mengendalikan kekuasaan, ini diatur dan dukuasai oleh kelompok dan orang tertentu secara organisasi. Hal ini selaras dengan pemikiran dari Schmidt (1973), ditemukan perwujudan kecenderungan ke arah oligarki dalam kelompok sekepentingan terutama yang telah lama hadir atau wujud, juga dalam organisasi tersebut pemimpin cenderung berkuasa untuk waktu yang lebih lama, pertukaran pemimpin hanya formalitas seolah-olah ada demokrasi politik yang direkayasa sekelompok orang. Dengan demikian, bahwa dalam praktik pertukaran pemimpin selanjutnya menguasai partai politik tertentu untuk keorganisasian politik dibawah kendali memanfaatkan orang yang rakus kekuasaan, kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaan didukung oleh orang-orang dan elite.
Keinginan perpanjangan masa jabatan dan kekuasaan diubah strateginya dengan intervensi dan menguasai elite partai tertentu, sehingga perpanjangan kekuasaan politik untuk tetap berkuasa. Para pemimpin partai politik yang saat ini sangat menentukan dalam partainya yang bersifat sentralistik, sehingga faktor internal partai dikendalikan serta dikuasai secara absolut, dengan sistem menguasai partai politik, karena ketergantungan pengurus serta anggota partai kepada pemimpin yang sangat besar dalam memberikan arahan-arahan agar mematuhinya. Sehingga kekuasaan politik sentralistik otoriter segalanya tergantung kepada keputusan pimpinan atau elite partai, ini mudah dilakukan dan didukung oleh ketidakmampuan serta keterbatasan para anggota serta pengurus lainnya. Maka dalam kondisi sistem politik yang diatur saat ini secara menyeluruh dalam kehidupan politik umumnya pemimpinnya terjebak dalam kelicikan kekuasaan selama ini, besarnya peranan oligarki politik dan ekonomi, elite politik terjebak dalam korupsi yang dibiarkan secara licik, juga landasan keputusan yang demikian kukuh oleh para pemimpin partai dibawah kendali kuasa dan koalisi antar pimpinan partai dan para oligarki, sehingga semakin sangat berkuasa atas segala keputusan politiknya.
Dalam sistem dan praktik politik nasional saat ini berlaku elitisasi pada satu sisi dan kepasifaan, kepasrahan para pengurus penjilat serta anggota partai lainnya, mesti sesuai dengan kata pemimpinnya, sehingga semakin memperkukuh lagi dominasi pemimpin terhadap keorganisasian partai politik. Meskipun sebahagian memiliki kemampuan serta tingkat pendidikan lebih baik, namun tidak mampu mengendalikan serta mengawasi pemimpinnya, makanya pemimpinnya mengambil kebijakan dan keputusan sesuai dengan kepentingan kekuasaan, mengabaikan kepentingan anggota yang tidak sejalan dengan kepentingan kekuasaan elite ini sangat mudah disingkirkan. Secara singkat dapat dimaknai pengendalian organisasi partai politik, juga memerlukan para pakar dan intelektual yang terlibat tidak dapat dikontrol serta diawasi oleh para anggota partai dan masyarakat umum. Sehingga para pemimpin partai melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan umum ditinggalkan oleh masyarakat, karena bertentang dengan demokrasi politik. Dengan demikian secara internal akan mengancam integrasi dalam partai politiknya bagi yang tidak sepakat dengan cara-cara atau praktik otoritarian, mudah disingkirkan serta dicari-cari kesalahan, secara organisasi akan dieliminir keanggotaan bahkan jabatan/kekuasaan yang dimiliki mudah digantikan dan dicari pengganti orang lain sepaham dengan keputusan. Ini naluri kerakusan kekuasaan pemimpin, secara tersamar tetap berusaha memperpanjang masa kepemimpinan dengan dinasti politik, ini sarat berkembang atau mengancam integrasi bangsa secara politik.
Dengan demikian, eksistensi oligarki tergantung kepada faktor internal secara organisasi politik. Koelbe (1989) menyatakan, praktik demokrasi akan lebih hidup subur dalam partai politik yang menekankan penyertaan anggota dan masyarakat akar rumput dalam menetapkan kebijakan dan keputusan-keputusan pentingnya yang dibuat oleh beberapa orang pemimpin. Seluruh rakyat dan para pihak yang merasa kecewa dengan kekuasaan politik dengan sistem dinasti, meskipun mengatasnamakan rakyat Pemilu sarat dengan manipulasi dan pelanggaran UU dan etika-moral, ini membunuh demokrasi memperkuat politik otoriter.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh