AIRBATU, Asahan (Waspada): Masa pandemi yang melanda Indonesia selama dua tahun terakhir ini membuat warga etnis Tionghoa tidak dapat melaksanakan tradisi sembahyang Cengbeng atau tradisi ziarah kuburan leluhur. Tapi tahun ini tradisi itu akhirnya dapat dilaksanakan walaupun tetap dengan mematuhi protokol kesehatan.
Tradisi yang berlangsung 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah hari H yakni 5 April setiap tahunnya. Bagi warga etnis Tionghoa sembahyang Cengbeng merupakan ajang silaturahmi bagi keluarga, sebab saat tradisi inilah para sanak saudara bisa berkumpul pulang dari perantauan, dibandingkan saat Hari Raya Imlek.
Bebet Lie,37, warga Pedongkelan, Jakarta saat dijumpai di Pekuburan Tionghoa Hessa Pelompongan , Air Batu, Asahan, Minggu (27/3) mengatakan bahwa mereka satu keluarga besar sebanyak 11 orang pulang sembahyang cengbeng leluhur.
“Cerita rakyat di zaman dulu asal mula ziarah kubur atau cengbeng ini berawal dari zaman Kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M). Bagi sanak saudara yang melaksanakan sembahyang kubur bagi leluhurnya akan diberkati kesehatan dan rejeki sepanjang tahun.
Sedangkan Tan Ming Cun,65, warga Tangerang setiap tahunnya pulang dari perantauan untuk sembahyang leluhur agar kehidupan keluarganya di perantauan diberkati oleh leluhurnya jelas pengusaha bidang percetakan ini.
“Kita memohon agar kehidupan keluarga saya diberkati di perantauan, dan lancar menjalankan usaha,” kata Ming Cun.
Panen Rezeki
Ajang silaturahmi di bulan Sembahyang Cengbeng ini menjadi musim panen rejeki bagi usaha mobil rental, karena tingginya permintaan dari konsumen.
Adi Dodos kepada Waspada mengatakan dia di bulan Cengbeng non stop setiap hari ada carteran jemput dari bandara Kualanamu, serta carteran ke daerah lain untuk sembahyang kubur.
“Cukup banyak permintaan, Sembahyang Cengbeng ini membawa rejeki,” jelas Adi. (a20/a02/a19)

Waspada/ Bustami Chie Pit
Suasana Pekuburan Tionghoa Hessa Perlompongan, Airbatu, Asahan, saat ziarah kubur “Ceng Beng”, Minggu (27/3).











