Scroll Untuk Membaca

Opini

Pilkada Aceh Dan Persoalan Ekonomi Kerakayatan

Pilkada Aceh Dan Persoalan Ekonomi Kerakayatan
Kecil Besar
14px

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh secara serentak secara nasional, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota akan segera digelar pada 27 November 2024. Sampai dengan saat ini gegap gempita terhadap rutinitas pergantian pimpinan atau elite eksekutif tersebut hanya sebatas seremonial, pencitraan, show of force, pasang papan iklan, baliho, spanduk, banner, baliho, billboard, mobil bergambar calon, bagi-bagi alat kelengkapan shalat di masjid/mushalla/meunasah, peresmian kantor media center, pertemuan para tim sukses, diskusi kedai kopi dan semua bersifat basa-basi politik untuk menjaring minat untuk dipilih.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pilkada Aceh Dan Persoalan Ekonomi Kerakayatan

IKLAN

Bahwasanya, ini tidak lebih sekedar pencitraan politik untuk dikenal, menebarkan janji-janji politik, memobilisasi massa, bergaya perlente semrawut, kumuh di ruang publik, sebagai elite kekuasaan menebar pesona seolah-olah sebagai pemimpin, orang, kelompok yang memanfaatkan suasana ditengah kegelisahan dan kesusahan kehidupan ril rakyat. Disamping itu para pendukung, tim sukses juga tidak kalah menarik gayanya, berlagak seolah-olah sebagai orang sangat menentukan ke depan jika calonnya menjadi pemimpin terpilih dan atau menang secara politik.

Sesungguhnya hal semakin mudah terbaca oleh rakyat bahwa, Pilkada hanya sekedar keinginan memenuhi hasrat serta keinginan politik (political will), para calon pemangku kekuasaan yang secara hukum, aturan dan undang-undang yang berlaku di Aceh sangat tidak terhormat. Selanjutnya proses ini dipahami rakyat Aceh tidak lebih hanya sekedar pencitraan politik, sehingga tidak adanya jaminan bahwa nanti rakyat akan mendapat perubahan kehidupan, perbaikan ekonomi, tidak menciptakan keadilan dan pemerataan, bahkan secara makro-ekonomi yang melibatkan seluruh sektor penting kerakyatan tidak terjamin bangkit serta berubah dengan stimulus moneter dan keuangan sebagai pengungkit utama. Karena itu, tampilan politik calon pemimpin ataupun elite memanfaat berbagai sarana dan prasarana, media massa, media di ruang publik dan media sosial yang tersedia dalam konteks komunikasi modern yang efektif.  Hooi et al. (2021) menunjukkan bahwa citra politik yang terbentuk melalui media sosial dapat berdampak pada persepsi publik terhadap kandidat, tetapi keaslian citra dan konsistensi dengan tindakan nyata juga berperan penting dalam membangun dukungan publik. Sehingga ini akan membentuk polarisasi politik antara calon dan para pendukung, selanjutnya akan berimbas kepada usaha mengaitkan rakyat dengan kepentingan politiknya, meskipun nantinya rakyat akan dilupakan setelah terpilih menjadi pemimpin.

Dalam proses Pilkada Aceh, secara politik pesta demokrasi Pilkada tidak lebih hanya penyaluran keinginan politik para kandidat, ini memerlukan “cost politics” yang besar, juga dimulai dari candidacy buying, selanjutnya selama proses politik menjelang Pilkada juga mengeluarkan banyak ongkos, dana dan modal politik yang tidak sedikit ataupun puluhan dan atau ratusan miliar rupiah. Hal ini juga akan melibatkan para oligarki ekonomi-politik dan bukan merupakan sumbangan sukarela, secara ekonomi jika terpilih dan dengan berbagai cara bahkan menghalalkan segala cara, para oligarki akan kembali menunjukkan peran serta taringnya ikut menentukan berbagai kebijakan politik, ekonomi, anggaran belanja serta program dan proyek untuk kepentingannya. Dalam usaha meraih kemenangan, ini merupakan kata kunci kontestasi politik, sehingga berbagai ongkos, biaya, dana dan modal politik juga dipersiapkan untuk vote buying, ini untuk memenuhi aktivitas politik serangan fajar, penentuan biaya tahap pemilihan terhadap saksi, tim sukses, penyelenggara dan pengawas, serta banyak lagi lainnya. Di samping itu, jika persiapan selama tahapan pork barrel politics (politik gentong babi) juga dipersiapkan dalam bentuk bantuan sosial, sembilan bahan pokok dan lain sebagainya, bahkan disiukan adanya intervensi Presiden RI untuk menjadi pemenang Pilkada.

Pada dasarnya persoalan penting dan serius kehidupan masyarakat adalah aktivitas ekonomi, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, taraf kehidupan, pemenuhan kebutuhan, konsumsi dan siklus ekonomi yang berlangsung memiliki hubungan timbal balik, masyarakat (individu), swasta/perusahaan, pemerintah dan internasional. Hal ini dapat dipahami secara mikro maupun makro ekonomi. Hal yang mendasar adalah konsumsi individu atau masyarakat terpenuhi yang membentuk permintaan, kemudian swasta sebagai penyedia atau penjual, adanya kebijakan pemerintah sebagai usaha memperoleh kekuasaan politik dan eksekutif yang berkuasa untuk menjaga harmonisasi kehidupan,lebih luas lagi berhubungan dengan luar negeri, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah. Sesungguhnya yang paling mendasar dan asasi adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, jangka pendek, panjang dan menengah. Secara sederhana tingkat dan taraf kehidupan adalah, pendapatan untuk memenuhi konsumsi (belanja) agar memperoleh kepuasan maksimal. Maka kelebihan pendapatan akan menjadi tabungan, sebahagian tabungan akan dimanfaatkan oleh lembaga keuangan untuk dikembangkan menjadi investasi aktivitas swasta yang melakukan produksi, perluasan/pertambahan produksi, agar mendapatkan keuntungan yang maksimal dari aktivitas siklus ekonomi swasta.

Kemudian pemerintah sebagai sektor ketiga berusaha memanfaatkan sumber daya alam dan ekonomi dikelola untuk kepentingan individu/masyarakat dan swasta dengan memaksimalkan faktor dan fungsi produksi, yaitu mengelola distribusi dan pendapatan sebagai penerimaan, sebagai pemerintah daerah memaksimalkan penerimaan asli daerah kemudian dikembalikan untuk menyediakan “public services”, yaitu prasarana dan sarana, jalan, jembatan, kesehatan, pendidikan dan seluruh kepentingan rakyat serta terpenuhi berbagai kebutuhan mendasar rakyat/masyarakat dan swasta. Dilakukan dengan memenuhi seluruh elemen aktivitas rakyat, biasa disebut ekonomi kerakyatan dan swasta, baik formal maupun informal yang bergerak dalam aktivitas masyarakat atau rakyat akar rumput. Ini usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pedagang kaki lima, sektor informal, pedagang pasar, pedagang asongan, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan laut/darat, industri rumah tangga, dan banyak lagi lainnya.

Di mana postur ekonomi Aceh saat ini untuk UMKM hanya 12 triliun yang terendah seluruh Sumatera, kemudian dari Bank Syariah hanya 2,07 triliun (11% dari total pembiayaan), lebih rendah dibandingkan dengan Bank Aceh Syariah (BAS) yang diendapkan pada Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 2.93 triliun (per 31 Desember 2023). Sementara itu BAS tidak menjalankan  perintah Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), pembiayaan wajib 40% untuk UMKM (Pasal 14 Qanun 11/2018). Juga total kredit Perbankan di Aceh tahun 2024 yaitu 40,81 triliun, yang tertinggi kredit konsumtif 27,32 triliun. Kemudian penduduk miskin Aceh 804 ribu orang (14,23%) tertinggi di Sumatera, jumlah pengangguran 145 ribu (5,56%) usia kerja. Kondisi ini sesungguhnya sangat memprihatinkan Aceh sebagai pemilik beragam dan berlimpah sumber daya alam (resources) dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan ke II tahun 2024 sebesar 4,54% (migas) dan 4,42 (non migas).

Dengan demikian melihat model kepemimpinan saat Pilkada 2024 selama ini hanya pencitraan saja, sehingga pemenang Pilkada eksekutif (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota) dapat dipastikan akan kembali memperjuangkan para timses, dan oligarki ekonomi-politik, Demikian juga kemungkinan adanya kecenderungan untuk mengembangkan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Maka persoalan ekonomi kerakyatan sangat kecil harapan, serta merubah dan memperbaiki, dimana masa depan rakyat Aceh tetap tidak jelas, juga dalam ketidakpastian keadilan, pemerataan, kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam praktik dan selama proses tahapan penyelenggaraan, dimulai dari dasar pendaftaran kepesertaan yang tidak selaras dengan ketentuan hukum Aceh (lex specialist) yang dilanggar, proses pencalonan, masa tahapan kampanye dan debat sama sekali tidak mencerminkan kepentingan rakyat Aceh. Sehingga dapat dipastikan proses Pilkada Aceh hanya memenuhi kepentingan politik elite Aceh dan kekuasaan politik pusat Jakarta.   

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE