Ketidakwarasan Yang Sempurna

  • Bagikan

Mana tau ada solusi yang dapat dilakukan untuk mengobati luka hati rakyat. Paling tidak membuat kartu yang jauh berbeda dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) . Sebut saja kartu KIS kedua yakni Kartu Indonesia Sabar (KIS) agar rakyat makin sabar menerima kenyataan ini. Jika itu pun tak bisa, maka sempurnalah ketidakwarasan dalam mengelola negara ini

Apa kubilang..! Bohong lagi.., bohong lagi kan? Demikian luapan atau ekspresi emosi teman saya ketika harga bahan bakar minyak (BBM) diproklamasikan naik melalui siaran TV pada tanggal 3 September 2022. Seolah dia tak percaya bahwa kenaikan itu benar terjadi.

Bukan tanpa sebab memang, karena dua hari sebelumnya sudah dinyatakan masih sedang dihitung-hitung. Bahkan tanggal 13 Juli yang lalu sudah dipastikan bahwa harga BBM tidak akan naik paling tidak hingga akhir tahun ini.

Lagi-lagi jauh dari dictum factum, sebuah istilah Latin yang menghunjuk pada orang berkata sesuatu dan langsung dilaksanakan sesuai dengan apa yang diutarakan. Ini malah justru sebaliknya yang dieksekusi. Adakah kebohongan ini masih didustakan ?

Katanya, kebijakan menaikkan BBM  itu bertujuan untuk menyelamatkan APBN yang sulit. Kita mau tanya, memangnya hadirnya negara ini untuk menyelamatkan APBN atau menyelamatkan rakyat. Kok terlalu kejam kali sih sama rakyatnya. Apakah rakyat ini selalu dan harus diposisikan pelengkap penderita setiap kali ada kebijakan?

Jika itu filosofi yang digunakan, itu artinya negara yang lebih diutamakan dibandingkan dengan rakyat. Negara boleh royal sementara rakyat menderita. Ingat broo, negara ini tidak akan wujud kalau rakyatnya tidak ada.

Raja pun tidak akan pernah ada jikalau rakyatnya tidak jelas di mana rimbanya. Kecuali sudah ada rakyat siluman bercokol di tubuh negara yang diklaim sebagai rakyat istimewa, terhormat dan mulia melebihi rakyat jelata di NKRI ini.

Mengingat dan menimbang adanya kebijakan di luar nalar sehat serta membebani dan menzolimi rakyat, maka perlu diusulkan penambahan makna kosa kata “waras” dalam kamus KBBI yang bukan saja bermakna sehat secara mental tetapi juga sehat dari segi tindakan dan kebijakan yang tergolong tidak menyakiti rakyat baik jasmani maupun rohani.

Kenapa disebut demikian? Jawabnya adalah, bukankah ditengah turunnya harga minyak dunia justru kita menaikkan harga yang memodarkan rakyat. Jika hanya 5% kenaikannya mungkin masih bisa dimaklumi. Ini justeru lebih 30 % yang sudah barang tentu membebani rakyat.

Kedua, belum lagi sembuh ekonomi rakyat dari imbas pandemi Covid-19, sudah muncul terpaan penderitaan baru akibat kenaikan harga BBM. Penderitaan kali ini sudah melebihi takaran kemampuan rakyat menerimanya.

Apakah kita buta akan hukum ekonomi? Jika harga BBM naik terjaminkah harga kebutuhan pokok dan jasa tidak naik? Menjawab soalan ini anak SD pun bisa menjawab dengan benar. Ribuan item kebutuhan rakyat sudah pasti akan turut naik termasuk ongkos sosial seperti biaya antaran untuk perkawinan

Menurut Rizal Ramli, jika pemerintah kreatif dan tidak songong, sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan demi mencegah kenaikan harga BBM yang membebani rakyat. Pertama, menghentikan pengeluaran yang tak perlu seperti pembangunan IKN baru dan infrastruktur lainnya.

Kedua, mengurangi pengeluaran untuk lembaga-lembaga yang tidak efektif dan efisien semisal Mahkamah Konstitusi yang mendapat anggaran empat kali lipat dari sebelumnya. Tak terkecuali pengurangan staff mubazir di berbagai instansi yang juga ikut membebani APBN. Namun karena libido pemerintah untuk membangun IKN begitu tinggi akhirnya rakyat yang dikorbankan.

Inilah yang dimaksudkan makna aman itu. Ternyata tidak cukup dari segala macam pajak yang dipungut untuk menutupi utang yang semakin menggunung dan biaya pembangunan IKN yang lengkap dengan infrastrukturnya.

Jika pun disediakan BLT sebagai  konvensasi, itu hanyalah semacam bonbon permen yang tak begitu banyak artinya untuk membantu rakyat. Itu pun jika penyalurannya kena sasaran. Boleh dikata BLT ini hanya buat malu saja di mata dunia. Terkesan tidak mendidik dan menjatuhkan harkat dan  martabat rakyatnya sendiri.

Keadaan hidup rakyat saat ini hanya bisa bertahan hidup. Banyak anak-anak yang drop-out dari sekolah. Tidak sedikit calon mahasiswa mengurungkan niat untuk kuliah di Perguruan Tinggi (PT) meski sudah lulus tes.

Ini semua akibat ketiadaan biaya dari orang tuanya. Yang paling menyakitkan juga adalah matinya gairah hidup masyarakat termasuk lemahnya syahwat untuk memperoleh keturunan khususnya bagi pengantin baru.

Masa kini, tampaknya rakyat sudah bersikap apatis serta mengikhlaskan seolah tanpa punya pemimpin. DPR yang selama ini diharapkan dapat membela rakyat ternyata ikut membisu seakan-akan tak punya mulut. Mereka seolah terperangkap off-side sehingga buta akan keluhan rakyat. Kecuali PKS yang masih kosisten mengikuti hati nuraninya.

Mudah-mudahan tidak ada dusta di antara mereka, kalau tidak bisa saja mereka dituduh bersyubhat ria terhadap rakyatnya. Mungkin tinggal dukun politik yang bisa memperpaiki keadaan ini. Kalau orang pintar, ilmuwan apalagi orang pandir tampaknya jauh dari harapan.

Ketika SBY dulu menaikkan harga BBM banyak orang yang bersandiwara pura-pura nangis. Sekarang makhluk pemeran utama yang nangis itu beserta buzzer peliharaannya tidak tampak lagi batang hidungnya. Mungkin sudah disambar geledek barangkali atau menunggu panggilan terbaik dari Ilahi.

Penciuman rakyat sudah semakin tajam meski tidak setajam ular atau ikan hiu mengamati gelagat ke arah mana perjalanan bangsa dan negara ini dilayarkan dan dilabuhkan. Jangan-jangan di tubuh NKRI sudah ada oknum penyusup yang kiprahnya membuat makar guna merongrong NKRI.  

Jika selama ini hanya rakyat yang dituduh membuat makar, boleh jadi di internal pemerintahan itu sendiri yang sejatinya yang membuat makar.

Selama ini sudah dicurigai adanya kehadiran penjajah dan penghianat bangsa di tubuh pemerintahan yang menularkan paham perusak Pancasila yang menyuburkan hidupnya budaya korupsi, merusak persatuan, membiarkan judi serta mengganggu kerukunan umat beragama.

Terlalu jauh sudah para oligarki diberi ruang masuk dalam sistem sehingga bertangan besi mengatur para pemimpin. Sehingga makin nyata adanya program terselubung untuk memiskinkan, membodohkan dan menjauhkan rakyat dari kesehatan.  

Kebijakan ini mungkin akan menjelma jadi tumor ganas yang bisa memicu konflik horizontal yang pada gilirannya meredupkan sinar NKRI dari kedaulatan. Jangan-jangan ini pula sebagai jalan memicu keributan hingga rakyat hilang kendali dalam menyikapinya.

Maka dimunculkanlah tokoh penunggang gelap sebagai ratu adil yang terkesan bisa menyelamatkan NKRI. Padahal sosok penunggang gelap yang dimaksud boleh jadi sangat jauh dari hati rakyat.

Ayo.., masihkah kita diam menyikapi pukulan yang sungguh menyakitkan hati rakyat ini. Masihkah kita tertidur di gemuruh ombak laut yang ganas ini. Mana suaramu pemuda untuk menyuarakan nasibmu, mana idealismemu para mahasiswa dan orang tua yang berjiwa muda. Jangan buat malu sama mak-mak yang lebih peduli terhadap nasib masa depan bangsa dan negara ini.

Ayo para ustadz, ulama dan para pemuka agama lainnya, jangan hanya Akhirat saja yang kalian kupas dipengajian dan di gereja tanpa membahas dunia politik. Dunia ini pun penting sebab tidak ada akhirat tanpa ada kehidupan di dunia. Jangan biasakan kita suka memuja-muja kebodohan sehingga  tidak pernah peka terhadap penderitaan rakyat.

Tuan-tuan dan puan-puan para pemimpin yang kami hormati, mohon ijin dan maaf jika sedikit agak memerintah. Cobalah disempatkan pergi beranjangsana dan kombur-kombur bersama DPR yang di Senayan sana. Mana tau ada solusi yang dapat dilakukan untuk mengobati luka hati rakyat.

Paling tidak membuat kartu yang jauh berbeda dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau kartu lainnya. Sebut saja kartu KIS kedua yakni Kartu Indonesia Sabar (KIS) agar rakyat makin sabar menerima kenyataan ini. Jika itu pun tak bisa, maka sempurnalah ketidakwarasan dalam mengelola negara ini.

Penulis adalah Guru Besar Unimed, Anggota Dewan Riset Inovasi Pemprov Sumut.

  • Bagikan