Scroll Untuk Membaca

Opini

Politik Pilkada Dan Kepemimpinan Aceh

Politik Pilkada Dan Kepemimpinan Aceh
Kecil Besar
14px

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya, kemasyarakatan serta seluruh sendi kehidupan, juga berbagai dimensi lainnya, maka proses kepemimpinan merupakan kondisi kehidupan yang mengalami regenerasi, berganti serta berubah. Kemudian secara reguler dan temporer berlangsung secara konsisten, rutin, tahapannnya dapat berlangsung sesuai jadwal yang diatur, dilaksanakan melalui ketetapan undang-undang, peraturan, kesepakatan serta kesepahaman yang diciptakan untuk dilaksanakan sebagai landasan keputusan dan kebijakan politik. Ini dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana para pihak pelaksana yang mendapatkan tanggung jawab, ditetapkan, dipercayakan melalui proses penetapan mengurus dan mengelola proses pelaksanaan politik secara resmi. Demikian juga bertanggung jawab terhadap pemerintah yang memberikan surat keputusan (SK), secara politik menjadi kekuatan dan kekuasaan yang melahirkan pemimpin.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Politik Pilkada Dan Kepemimpinan Aceh

IKLAN

Dengan demikian pemimpin menjadi suatu daya tarik tersendiri, karena kepemimpinan suatu kelompok, golongan, perkumpulan serta secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat, menjadi suatu kajian, kaidah dan tatacara tersendiri untuk menentukan serta menetapkannya. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan modern, terlalu banyak tuntutan persyaratan, indikator kepemimpinan yang mesti dipatuhi, ditaati serta tidak terlepas terhadap upaya mempengaruhi, mengelola, mengurus tata kehidupan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya diharapkan agar menjadi lebih baik, berubah menuju kehidupan adil, makmur, sejahtera dan merata. Sehingga jargon kehidupan masyarakat atau rakyat yang berubah menjadi lebih baik, ini bukan hanya komitmen penting dari suatu kepemimpinan, namun demikian secara politik acapkali dijadikan visi-misi pemimpin agar mempengaruhinya untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Dalam kehidupan masyarakat Aceh yang sangat dinamis, egaliter, demokratis dan semakin modern, tuntutan pemimpin yang memiliki landasan regiliusitas tetap menjadi rujukan untuk mengurus serta mengelola kehidupan rakyat Aceh, kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik serta realistik dan empirik.

Dalam hal ini pemimpin menurut Marcidis dan Hulliung (1996) adalah, esensi pemimpin memiliki universalitas bila dilihat melalui kerangka ideologi politik. Kepemimpinan melalui adanya pengakuan politis juga moralitas yang bertanggung jawab tehadap kapabilitasnya, dengan demikian pemahamannya mengacu kepada terminologi berkaitan dengan ideology politics power, political autority and legitimation. Demikian pula secara khusus ke-Acehan, maka diperlukan  ideografis kepemimpinan Aceh terhadap political action and communication, memiliki integritas tersendiri. Maka secara realitis rasional bahwa, esensi kepemipinan politik di Aceh, memiliki penekanan serta kapasitas seorang pemimpin dengan budaya politik lingkungan hidup ke-Acehan, berjiwa religius dan memiliki kemampuan memimpin secara Islam, dan sangat menjiwai kepemimpinan pro-rakyat Aceh, tidak sekedar mejadi corong kepentingan pemerintah pusat dan para oligarki. Sehingga people Achehness interest, ini dapat dipastikan ideologi politik memenuhi kepentingan memperjuangkan Aceh.

Dengan demikian, kepemimpinan merupakan garis lurus yang hadir dari kemampuan seorang yang menjalankan tanggung jawab. Sesungguhnya secara realistis setiap pergantian pemimpin berganti pula keputusan politik dan kebijakannya, berdampak bagi kelompok pendukung, orang, atau masyarakat. Tetapi sebaliknya, merugikan, menindas dan bahkan berakibat fatal terhadap orang diluar kelompok kepentingan dan masyarakat yang tidak memenuhi keinginannya. Sehingga terjadi ketika ketidakadilan melanda suatu masyarakat politik, maka diskriminatif, ketidakadilan, anarkis pasti akan bermunculan, karena tidak menyadari bahwa, pemimpin itu mesti memiliki sikap adil dan bijaksana, tidak milik suatu golongan, partai tertentu. Maka partai politik, sebagai instrumen politik strategis keterwakilan rakyat menuju kepemimpinan dalam lanskap demokrasi patut menjadi subjek pertaruhan relevansi ideologi politik. Selanjutnya partai berperan sebagai penghubung strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Dengan demikian, partai merupakan pilar untuk diperkuat derajat pelembagaannya kompetensi pemimpin (the degree of institutionalization) dalam sistem politik demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider (1960) mengatakan, modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.

Sesungguhnya kepemimpinan Aceh memiliki ideologi politik, transparan, bertanggung jawab terhadap Aceh dan rakyatnya. Secara realitas politik, kebijakan politik Aceh mengalami kehampaan ide, nilai dan identitas politik yang hakiki dan substansial mendegradasikan peranan dan fungsi kepemimpinan, menjadi komoditas politik kaum oligarki ekonomi maupun politik. Demikian juga, kondisi kekinian partai politik kehilangan bentuk dari wujud ekspresi ide-ide, nilai dan paradigma politik yang filosofis dan visioner. Ini tentunya kontradiksi dengan upaya demokrasi dan sejarah kekayaan ideologi perpolitikan di Indonesia periode 1920-1966 (Castles & Feith, 1970). Namun demikian, sistem politik yang berlaku secara nasional serta kedaerahan, rendahnya derajat ideologisasi partai, dapat dikatakan bahwa partai politik hari ini tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa, dan atau hanya yang berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Makanya kenyataannya bahwa, menurut Aulia (2017) partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat mudah dikelabui, memaksakan kebijakan publik tertentu “at the expense of the general will” atau kepentingan umum.

Dengan demikian kepemimpinan Aceh, mesti mampu menciptakan general welfare, tidak menciptakan kerakyatan Aceh menjadikan objek bagi kepentingan politik kelompok, partai dan golongan tertentu, Sehingga langkah strategis, keputusan dan kebijakan politik pemimpin Aceh hanya memenuhi keinginan serta kepentingan kelompok tertentu saja. Kondisi demokrasi serta penegakan hukum yang saat ini tidak menjamin demokrasi kerakyatan yang mampu menciptakan keadilan, pemerataan dan kehidupan yang lebih baik, maka unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sehingga realitas rakyat Aceh akan tetap miskin, keadilan dan pemerataan kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya tidak mampu tercipta, maka nilai-nilai etis-moral, ideologis, kemakmuiran dan kesejahteraan kehidupan rakyat tidak. Demikian juga, gambaran realitas, setelah pemimpin memenangkan kontestasi demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemimpin kembali kepada partai politik dan pengusungnya, sehingga rakyat terabaikan janji-janji politik tahapan pemilihan dan kampanye, ini hanya tinggal janji semata.

Dengan demikian kepemimpinan Aceh secara reguler melalui Pilkada digelar melalui demokrasi politik dengan sistem telah diatur oleh pemerintah pusat, hanya memenuhi kepentingan para elite politik, baik nasional dan daerah. Sehingga kesalahan, kecuaian, kelalaian untuk memenuhi kepentingan politik rakyat sama sekali tidak terpenuhi. Ini berulang, pemahaman sederhana rakyat memiliki kekuasan dan kedaulatan politik tertinggi hanya berlaku saat pemilihan umum dan Pilkada semata. Selanjutnya secara rasional politik bahwa, pemimpin Aceh milik partai politik, kelompok dan golongan tertentu, milik pribadi pemimpin, partai, kelompok dan golongan tertentu. Sesungguhnya secara realistik dan empirik, keadilan, perubahan ekonomi dan kesejahteraan kehidupan secara merata adil dan makmur tak terwujud.

Demikian juga, institusi resmi Aceh yang memiliki kekhususan (lex specialist) yang sebenarnya menjadi landasan berfikir, filosofis dan ideologi politik ke-Acehan hari-hari ini telah terabaikan dan absurd. Hanya saja orang tertentu terus membela, seolah-olah masih ada dan berlaku secara substantial, ini mental “pecundang” dan “penjilat” yang ada di Aceh sebagai pelampiasan kepentingan politik, partai, kelompok dan golongannya, mengkerdilkan Aceh dengan landasan konstitusional dan ideologi politik identitas Aceh. Dengan demikian, siapapun pemimpin Aceh kedepan, dengan gaya, tetap berlaku serta berperilaku sebagai “patronase and client” untuk memenuhi kepentingan pemerintah pusat, sebagai konsekwensi logis dan politik, bahwa Aceh dibawah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka seluruh ketentuan hukum atau konstitusional serta ideologi politik mesti tunduk dan patuh dengan landasan ketentuan Undang-Undang negara ini, abai terhadap “self governance”.        

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE