Oleh: Taufiq Abdul Rahim
Pada dasarnya dinamika kehidupan manusia terus berlanjut sepanjang sejarah dan peradaban, hanya saja fluktuasi, frekwensi serta kemajuan kesejarahan akan memberikan cerminan pemikiran yang terus berubah.
Dalam kehidupan dunia politik modern, acapkali praktik politik baik, buruk, berubah, berkembang, maju dan lain sebagainya, ini merupakan cerminan kehidupan manusia pada masanya. Makanya manusia sebagai ciptaan yang Maha Kuasa memiliki kriteria, perilaku serta keadaban sesuai dengan zamannya. Dalam kehidupan manusia modern berbagai catatan penting akan mewarnai berbagai fenomena kehidupan, bahkan mudah dicatat, dilihat, diperhatikan dan dinilai yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mudah disembunyikan karena maksud serta kehendak dan keinginan tidak serta merta dapat disembunyikan jika hal tersebut sesuatu yang buruk, naif, kebohongan dan lain sebagainya bernilai negatif, meskipun diusahakan untuk memutar balikkan seolah-olah semua berlangsung baik, positif dan perilaku pembohongan untuk kepentingan bersama dan rakyat banyak menerima kehadiran dan kepergiannya dengan hati senang.
Dalam kondisi kehidupan serta praktik politik praktis, seolah-olah kebohongan, pemutarbalikkan fakta, tipu-menipu, menyampaikan hal yang tidak sebenarnya ataupun berbohong, seolah-olah menjadi biasa dan lumrah. Konon pula pada saat posisi kursi kekuasaan diraih dengan berbagai cara, menghalalkan segala cara untuk menang, melanggar dan mengutak-atik hukum untuk kepentingan pribadi, golongan, kelompok politik dan keluarga, ini akan dimaksimalkan potensi yang dimiliki dan kekuasaan yang digenggam, bahkan tidak tanggung-tanggung merusak sistem hukum dan etika-moral sebagai dasar penilaian tertinggi dalam peradaban kehidupan manusdia. Pada posisi tingkat kekuasaan yang rendah, menengah bahkan lebih tinggi, jika dikendalikan kekuasaan oleh manusia yang tidak memiliki etika-moral ataupun akhlak, dapat dipastikan kekuasaan politik yang dijalankan akan sewenang-wenang, ugal-ugalan serta merusak seluruh tatanan kehidupan manusia dan rakyat yang dipimpinnya.
Merujuk terhadap konsep dan filosofi manusia, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir maupun batin (Balai Pustaka 1997). Kemudian dari itu, dinyatakan oleh Charles Kurzman (2003) yaitu, Al-Qur’an menyebutkan manusia dengan beberapa istilah, yaitu basyar, insân dan nâs. Istilah basyar mempunyai arti bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis. Demikian pula pemahaman kata insan oleh Quraish Shihab (1997) adalah, digunakan dalam Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Dengan demikian konsep dasar dan filsafat manusia adalah, maka aspek jiwa dan raga inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang memang benar-benar berbeda dengan makhluk lainnya. Sedangkan istilah nâs menurut Bahruddin (2004) adalah, digunakan untuk menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia, artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan terhadap spisies di dunia ini yaitu manusia. Karena itu menurut ‘Alî Syari’atî bahwa, meskipun dengan segala unsurunsur individunya ia berpotensi untuk mencapai taraf yang lebih tinggi dari tingkatan kemanusiaan yang dicapainya, tetapi pencapaiannya hanya sebatas terus menerus maju ke arah realitasnya. Dalam dinamika kehidupan manusia modern dan memiliki irisan langsung dengan politik, maka perilaku, gerak gerik manusia menjadi perhatian penting terhadap hubungannya dengan aktivitas politik dan kebijakan, konon pula terhadap perilaku politik penguasa, apalagi pemilik kekuasaan yang cenderung melakukan keputusan, kebijakan politik, intervensi hukum serta aturan yang hanya mementingkan diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan, dinasti keluarga, kerabat berlaku sewenang-wenang dan otoriter.
Pada dasarnya kodrat manusia adalah hidup secara bersama sebagai makhluk sosial, sehingga melaksanakan interaksi sosial secara baik. Maka itu menurut Aristoteles, disebut dengan zoon politicon, yaitu manusia itu adalah makhluk sosial dan politik (man is social and politics being) bukan animal politics. Karenanya Bouman (1976) menyatakan, the world eerst mens door semenleving met anderens ini bermakna “manusia itu baru menjadi manusia karena dia hidup bersama manusia lainnya”. Sehingga dalam aktivitas politik jangan memiliki perilaku yang mengkhawatirkan menjadi animal politics, dengan semena-mena melanggar kaidah hukum, aturan perilaku melanggar hak azasi manusia, juga lawan yang berseberangan secara politik akan dihabiskan dengan cara-cara yang tidak manusia serta mengangkangi hak-hak sipil dan politiknya. Karena itu politik yang diciptakan tidak berlandaskan keseimbangan serta stabilitas ekosistem politik yang saling menghargai serta menghormati kehidupan sosial kemanusian dan lingkungannya, hanya berusaha untuk memiliki tahta kekuasaan dengan penipuan, kebohongan serta dusta di tengah kehidupan manusia dan masyarakat lainnya.
Kemudian kekuasaan politik dengan kekuasaan yang otoritatif berusaha untuk memikirkan kepentingan sendiri, kelompok serta melakukan kelicikan serta jebakan terhadap bawahannya, sehingga menjadi tidak berdaya dengan gaya eksploitasi politik yang sangat tidak beretika-moral berkuasa dengan ketidakjelasan latar belakang kehidupan keluarga, legitimasi ijazah palsu dengan terus menciptakan pencitraan memutar balikkan kebohongan yang dilakukan seolah-olah berperilaku baik, setelah memanfaatkan anggaran belanja publik termasuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang merugikan negara dan rakyat. Menurut Jones (2006), proses eksploitasi ini terjadi karena adanya kepentingan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat terhadap hubungan antara manusia dengan tanah, air, udara dan seluruh habitat sumber daya hutan dan alam. Kemudian berkonspirasi dengan oligarki politik dan ekonomi, melakukan eksploitasi akan berhadapan dengan masuknya industri yang ekspansif, ekstraktif dan eksploitatif serta kapitalistik. Sehingga Burke dan Stephens (2018) menyatakan, dapat mengatur dan membuat peraturan serta perundang-undangan dengan cara membayar elit-elit politik untuk membuat undang-undang yang berpihak kepada mereka agar dapat memaksimalkan pemanfaatan sumber daya untuk kepentingannya.
Dengan demikian, berakhirnya masa jabatan pemimpin dan elite yang rakus kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, rakyat mengucapkan “Selamat Jalan Manusia Pembohong”, yang diharapkan rakyat saat ini hidup dalam kemiskinan, kemelaratan, kesusahan ekonomi, politik, sosial-budaya yang tidak berkesudahan. Hanya mengharapkan keadilan serta penegakan hukum untuk mengadili elite pemimpin dan penguasa manusia pembohong, meskipun telah mempersiapkan dinasti kekuasaan pada anaknya yang juga tidak jelas status kejiwaan, psikopat, latar belakang pendidikan dan ijazahnya juga palsu. Secara alamiah, manusia pembohong akan menurunkan kekuasaannya kepada pembohong yang sama sekali tidak memiliki kompetensi, kualitas dan integritas sebagai seorang pemimpin demokratis yang dipaksakan dengan menghalalkan segala cara serta otoriter. Karenanya diperlukan kesadaran untuk menindak serta mengadili pembohong, jangan sampai presiden dan preseden buruk dari warisan pemimpin buruk akan terus berlanjut, rakyat hanya berharap manusia yang benar akan tetap benar memimpin negara ini. Sehingga tidak ada doa dan ucapan yang baik bagi manusia pembohong yang telah menyengsarakan rakyatnya, yang paling sesuai, elegan serta memiliki tanggung jawab etika-moral, merusak tatanan bernegara serta berdemokrasi, kecuali hukum dan adili. Maka kehadiran pemimpin sebagai penumpang gelap demokrasi, ini mesti dipikirkan dengan menindaklanjuti agar adanya penegakan hukum serta pengadilan kepada pemimpin culas, curang, licik serta rakus dan gila kekuasaan politik yang tidak beretika-moral.
Penulis Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC-Aceh