Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundering sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) adalah serangkaian proses untuk memanipulasi asset tunai yang merupakan hasil dari perbuatan pidana menjadi asset yang seolah-seolah berasal dari sumber yang sah.
Sederhananya, perbuatan money laundering berarti upaya dalam menyamarkan harta kekayaan yang sifatnya ilegal, menjadi harta kekayaan yang terlihat legal. TPPU bertujuan guna menjauhkan para pelaku kejahatan dari kejahatan yang mempunyai hasil kejahatan (proceeds of crime), memisahkan hasil kejahatan dari kejahatan yang telah dilakukan, menikmati proceeds of crime tanpa dicurigai sebagai pelaku kejahatan, dan memutar harta hasil kejahatan untuk digunakan dalam kejahatan selanjutnya ataupun ke dalam bisnis yang sah.
Adapun hasil kejahatan (proceeds of crime), dimana dalam UU TPPU disebut sebagai ”hasil tindak pidana”, adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana asal (predicate crime) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 UU TPPU. Terdapat 25 jenis tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai predicate crime dari TPPU. Tidak sampai di situ, UU TPPU membuka ruang bahwa TPPU juga dapat menyecar tindak pidana lain (yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih) di luar 25 jenis tindak pidana yang disebutkan secara langsung dalam UU TPPU. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU. Artinya, terbuka peluang untuk mendakwakan TPPU terhadap para pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana yang diancam penjara 4 (empat) tahun atau lebih, selama unsur-unsur money laundering yang diatur dalam UU TPPU juga terpenuhi.
Terdapat 2 (dua) jenis pelaku dalam TPPU yaitu pelaku aktif (Pasal 3 dan 4 UU TPPU) dan pelaku pasif (Pasal 5 UU TPPU). Penyebutan pelaku TPPU aktif ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan secara aktif (langsung) untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta hasil tindak pidana, sebaliknya disebut sebagai pelaku TPPU pasif karena ditujukan untuk menjerat pelaku yang tidak melakukan perbuatan aktif (langsung) dalam menyembunyikan dan menyamarkan harta hasil tindak pidana. Berfokus pada Pasal 3 UU TPPU, menurut Tb. Imran dalam bukunya yang berjudul ”Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering)” yang kemudian dikutip oleh Prof. Sunarmi dalam bukunya yang berjudul ”Prinsip Customer Due Diligence dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”, terdapat 3 (unsur) perbuatan melawan hukum yang terkandung dalam Pasal 3 TPPU yaitu ”mengetahui atau patut diduganya (sengaja) akan perbuatan itu”, ”harta (hasil)”, dan ”menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (tujuan)”. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam ”Laporan Tipologi Pencucian Uang Berdasarkan Putusan Pengadilan Pencucian Uang Tahun 2017” juga telah merumuskan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 3 UU TPPU yaitu unsur ”setiap orang”, ”menempatkan”, ”mentransfer”, ”mengalihkan”, ”membelanjakan”, ”membayarkan”, ”mengibahkan”, ”menitipkan”, ”membawa ke luar negeri”, ”mengubah bentuk”, ”menukarkan dengan mata uang atau surat berharga”, ”atau perbuatan lain”, ”harta kekayaan”, dan ”yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”.
Berkaitan dengan tenaga medis dan tenaga kesehatan gadungan yang berpotensi untuk dapat didakwa TPPU, didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU jo. Pasal 441 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Hal ini dikarenakan Pasal 441 UU Kesehatan mengatur tentang ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) terhadap ”setiap orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat yang bersangkutan adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/ atau SIP” dan terhadap ”setiap orang yang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan yang bersangkutan merupakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah memiliki STR dan/ atau SIP”. Artinya, tindak pidana ini telah memenuhi unsur yang terkandung pada Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU untuk menjadi predicate crime dalam TPPU.
Selanjutnya hanya tinggal membebankan pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya berasal dari tindak pidana tersebut atau tidak. Hal ini dikarenakan UU TPPU menganut asas presumption of guilty (praduga bersalah) dan dalam aturan hukum acaranya mempunyai prinsip pembuktian terbalik. Hanya saja, dalam kasus-kasus terkait sebelumnya hal ini cenderung belum pernah dilakukan. Sederetan kasus yang dimaksud seperti halnya kasus Susanto yang menjadi dokter gadungan di PT. Pelindo Husada Citra, kasus Elwizan Aminudin alias Amin yang kasusnya juga sempat viral sebab pernah menjadi dokter gadungan yang menangani sekelompok klub sepak bola bahkan Timnas U-19, dan beberapa kasus lainnya seperti dokter gadungan yang membuka praktik aborsi ilegal di Bandung ataupun dokter gadungan yang telah mengurus puluhan pasien di OKU Timur. Keseluruhan kasus tersebut pun hanya didakwa pidana penipuan yaitu Pasal 378 KUHP. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, maka secara lex specialist perbuatan tersebut juga telah memenuhi unsur Pasal 441 UU Kesehatan (sebelumnya diatur dalam Pasal 77 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 83 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan). Jikalaupun ingin tetap menggolongkan pada pasal penipuan, juga tetap saja terbuka ruang untuk mendakwakan TPPU, sebab pidana penipuan sudah ditetapkan langsung menjadi predicate crime dalam UU TPPU.
Adapun alasan lainnya selain telah memenuhi unsur Pasal 2 UU TPPU, adalah pelaku kejahatan yang menjadi tenaga medis atau tenaga kesehatan gadungan dalam praktiknya pasti akan mengambil keuntungan yang merugikan orang lain atau perusahaan dan kemudian keuntungan tersebut paling tidak akan dibelanjakan, padahal ia mengetahui atau patut menduga bahwa keuntungan tersebut merupakan suatu hasil tindak pidana. Hal ini kemudian berarti setidak-tidaknya unsur Pasal 3 UU TPPU yang telah diuraikan sebelumnya telah terpenuhi. Memang dapat diamini bahwa mendakwakan TPPU terhadap pelaku tindak pidana tenaga medis atau tenaga kesehatan gadungan mungkin bukanlah hal yang “mudah”, sebab perputaran uang dari hasil tindak pidana tenaga medis atau tenaga kesehatan gadungan cenderung tidak besar seperti halnya korupsi, narkotika, atau perbankan. Tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan juga mungkin saja tidak menjadi niat bagi pelaku. Akan tetapi, yang menjadi fokus disini adalah apa yang menjadi perbuatannya (actus reus), bukan niatnya (mens rea), sehingga dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, diambil suatu pemikiran bahwa tidak tertutup kemungkinan jika tenaga medis atau tenaga kesehatan gadungan berpotensi atau mempunyai kemungkinan untuk dapat didakwa TPPU. WASPADA.id