TAPUT (Waspada) : Guru Besar IPB University, Prof.Dr. Manuntun Parulian Hutagaol mengatakan, belum lama ini tengah heboh seruan terbuka agar pemerintah menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). Apalagi, narasi Tutup TPL itu disampaikan pemimpin organisasi keagamaan.
Tidak sedikit pihak menganggap TPL sebagai perusak lingkungan sehingga menimbulkan banjir dan longsor di Toba. Dan, masyarakat mengalami kerugian materi, non materi yang cukup besar.
“Akan tetapi, seruan tutup TPL tidak didasarkan pada pemahaman yang logika serta berbasis data yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Guru Besar IPB University, Prof.Dr. Manuntun Parulian Hutagaol melalui rilis yang diterima Waspada.id, Selasa (27/5).
Menurutnya, TPL merupakan perusahaan besar yang nilai investasinya mencapai triliunan rupiah. Investasi besar itu untuk mengolah kayu (sumber daya alam, SDA) menjadi produk komersil.
Untuk itu, katanya, seruan tutup TPL tidak mencerminkan ketidakpahaman aturan hukum yang harus ditaati perusahaan serta mekanisme pengawasan dan penegakan secara hukum oleh pemerintah.
Ia mengatakan, benar bahwa TPL sebagai perusahaan komersial mengejar keuntungan (profit). “Tetapi, TPL sebagai perusahaan besar dan terbuka (Tbk) bukanlah entitas bisnis yang melakukan strategi maksimisasi keuntungan jangka pendek,” ujarnya.
Menurutnya, TPL butuh waktu sekitar 25 tahun untuk mendapatkan kembali investasinya ditambah sejumlah return (profit) yang diharapkan pemilik perusahaan.
“Artinya, satu “investment cycle” dari TPL membutuhkan kegiatan produksi yang berkelanjutan selama sekitar 25 tahun,” jelasnya.
Implikasinya, TPL harus kerja keras menjamin pasokan bahan baku (kayu) yang cukup dan sesuai kebutuhan perusahaan selama periode panjang ini.
“Jadi mereka harus melakukan berbagai cara menanam dan memanen pohon-pohon yang akan menjadi bahan baku pabriknya secara berulang,” terangnya.
Oleh karena itu, penanaman dan pemanenan pohoh diharapkan dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa batas waktu. “Dengan prasyarat bisnis,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, tidak sedikit pihak menganggap TPL sebagai perusak lingkungan sehingga menimbulkan banjir dan longsor di Toba. Dan, masyarakat mengalami kerugian materi, non materi yang cukup besar.
“Akan tetapi, seruan tutup TPL tidak didasarkan pada pemahaman yang logika serta berbasis data yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” bebernya.
Selain itu, tambahnya, seruan tutup TPL tidak mencerminkan ketidakpahaman aturan hukum yang harus ditaati perusahaan serta mekanisme pengawasan dan penegakan secara hukum oleh pemerintah.
Prof Manuntun mengatakan, bahwa TPL merupakan perusahaan besar yang nilai investasinya mencapai triliunan rupiah. Investasi besar itu untuk mengolah kayu menjadi produk komersil.
“Jadi, mereka harus melakukan berbagai cara menanam dan memanen pohon-pohon yang akan menjadi bahan baku pabriknya secara berulang,” katanya.
Selain itu, biasanya perusahaan besar seperti TPL berharap dapat melakukan bisnisnya tidak hanya satu siklus investasi.
“Tetapi berkelanjutan tanpa batas waktu,” sebutnya.
Menurut Prof Manuntun, sebagai perusahaan PMA yang mendapat hak konsesi atas tanah negara, TPL harus mematuhi berbagai aturan negara yang mewajibkannnya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Maka dari itu, katanya, kepatuhan perusahaan dimonitor oleh negara baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penyampaian laporan kegiatan secara berkala pada lembaga pemerintah terkait.
TPL Rutin Memberikan Dana CSR
Menurut Prof Manuntun, bahwa TPL rutin memberikan dana CSR satu persen dari total nilai penjualan perusahaan pertahunnya, dan memberikan bantuan langsung kepada korban bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor.
“Yang diharapkan pemerintah dari perusahaan adalah perusahaan mempekerjakan orang lokal, memberikan dana CSR dan menjaga kelestarian lingkungan,” katanya.
Disinggung mengenai apa benar menutup TPL akan membuat alam Kawasan Danau Toba (KDT) semakin lestari? Prof Manuntun mengatakan, kalau seandainya pemerintah menyetujui penutupan TPL sebagaimana diserukan, pertanyaan yang urgen untuk dijawab adalah siapkah masyakat KDT menerima konsekuensinya?
“Bila seandainya TPL ditutup, maka pertanyaan yang juga relevan adalah siapa atau lembaga mana yang “merawat dan menjaga” pepohonan dan sumberdaya alam lainnya yang ada di lahan yang tadinya dikelola TPL? Kegiatan ini bukanlah hal yang mudah,” jelasnya.
Menurutnya, dengan mencabut hak konsesinya, pohon-pohon yang ada di bekas lahan konsesi TPL yang luasnya sekitar 160.000 Ha akan menjadi “bulan-bulanan” para pencuri kayu tersebut.
“Sebagai akibatnya, penutupan TPL justru akan membuat lingkungan Danau Toba semakin rusak. Banjir dan longsor akan semakin sering terjadi,” tandasnya.(chp)