“Jebolnya Bendung Krueng Pase, Melebihi Penderitaan Covid-19 Bagi Kami”

  • Bagikan

“Wabah Covid-19 tidak terlalu meresahkan bagi kami, tapi jebolnya Bendung Krueng Pase telah membawa dampak buruk bagi kehidupan kami petani di 8 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, dan 1 kecamatan dalam wilayah Pemkot Lhokseumawe. 151.128 jiwa di 8 kecamatan kehilangan tempat mencari nafkah. Maka jebolnya Bendung Krueng Pase melebih bencana Covid-19 bagi kami saat ini.”

UNGKAPAN di atas disampaikan oleh Anggota Komisi Irigasi Provinsi Aceh, Muhammad Jafar, Senin (12/9). Kata dia, sejak bendung tersebut jebol pada, Minggu tanggal 6 Desember 2020, petani di 8 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara tidak bisa turun ke sawah karena kehilangan sumber air untuk mengaliri areal persawahan mereka.

“Sejak Desember 2020 hingga saat ini sudah tiga kali kami musim tanam gagal turun ke sawah, karena Bendung Krueng Pase yang sedang dikerjakan pembangunannya oleh PT. RJ tidak kunjung selesai. Padahal, sesuai dengan kontrak kerja, PT. RJ sudah harus menyelesaikan pekerjaannya pada Desember 2022,” sebut Muhammad Jafar.

Karena sudah tiga kali musim tanam tidak pernah digarap, areal sawah di 8 kecamatan dengan luas 8.671 Ha tersebut telah diselimuti tanaman liar setinggi orang dewasa. Para petani, pada musim rendengan kali ini tidak berani mengolah lahan sawah mereka, karena tidak ada jaminan ketersediaan air walaupun sedang dalam musim penghujan.

“Seluruh tanah sawah pecah-pecah. Dua hari turun hujan, seluruh areal sawah tersebut dipenuhi air, tapi seminggu kemudian tidak hujan, areal sawah tersebut kembali kering kerontang, karena air hujan diserap tanah yang kekeringan,” terang Muhammad Jafar menjelaskan kondisi ril di lapangan.

Pada musim rendengan kali ini, September 2022, kata Muhammad Jafar, juga masih ada petani yang memberanikan diri untuk menggarap lahan sawah mereka, namun jumlahnya hanya segelintir saja, tidak sampai ribuan hektar. Mereka memberanikan diri karena terpaksa akibat sudah terlalu lama kehilangan tempat mencari nafkah.

“Luas lahan yang digarap petani pada musim rendengan kali ini kalau ada 10 Ha, itupun sudah di 8 kecamatan. Selebihnya, areal sawah warga diselimuti tanaman liar sejauh mata memandang. Setiap hari saya melewati areal persawahan warga dan merasa sedih ketika melihat lahan-lahan sawah itu terlantar tanpa ada kepedulian dari pemerintah daerah dan Pemerintah Provinsi Aceh,” sebutnya lagi.

Pada musim rendengan kali ini juga tidak ada surat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara yang mengintruksikan petani untuk turun ke sawah. Itu menandakan tidak ada jaminan ketersediaan air irigasi. Seharusnya, kata Jafar, sebagaimana pada tahun-tahun sebelum Bendung Krueng Pase itu jebol, pada setiap musim tanam beredar surat pemberitahuan turun sawah untuk setiap musim tanam.

“Makanya saya katakan tadi, ada beberapa petani yang memberanikan diri menggarap sawah. Mereka terpaksa turun sawah karena sudah terlalu lama kehilangan tempat mencari nafkah. Perekonomian di lingkungan masyarakat di 8 kecamatanitu saat ini sedang tidak baik,” sebutnya lagi.

Berefek Pada Dunia Pendidikan

Ditanya apakah kondisi tersebut berdampak pada proses belajar mengajar anak di sekolah, Muhamamad Jafar mengatakan sangat berdampak. Meskipun seluruh biaya sekolah gratis, namun BBM sepeda motor untuk mengantarkan anak ke sekolah tidak gratis, jajanan tidak gratis, buku tulis dan pensil tidak gratis, beras yang sebelumnya mereka peroleh dari hasil bertani kini harus dibeli dengan harga yang tinggi Rp.170 ribu per zak.

“Sejak pemerintah menaikkah harga BBM penderitaan kami petani semakin sempurna. Seiring naiknya harga BBM, berbagai harga-harga kebutuhan hidup ikut melambung. Bagaimana caranya petani membeli kebutuhan-kebutuhan hidup mereka dalam kondisi kehilangan mata pencahariannya. Tapi sepertinya, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara dan Provinsi Aceh tidak peka dengan kondisi yang sedang dialami oleh 151.128 jiwa di 8 kecamatan itu,” ucap Muhammad Jafar.

Penderitaan 151.128 jiwa masyarakat di Kecamatan Nibong, Tanah Luas, Syamtalira Aron, Tanah Pasir, Samudera, Meurah Mulia, Matangkuli, dan Kecamatan Syamtalira Bayu telah diketahui oleh Pemda Aceh Utara dan bahkan Provinsi Aceh. Persoalan ini juga sudah pernah dilaporkan kepada anggota dewan terhormat baik di Aceh Utara maupun anggota dewan terhormat di DPRA.

“Tapi belum ada solusinya. Seharusnya mereka berpikir bagaimana caranya agar 8.691 Ha areal sawah di 8 kecamatan itu mendapat suplai air dengan baik dan teratur walaupun dengan pompanisasi. Makanya saya katakan, wabah Covid-19 tidak seberapa bagi kami, jebolnya Bendung Krueng Pase bagai bencana Covid-50 untuk petani di 8 kecamatan itu,” ujarnya.

Ancaman Kelaparan Di Depan Mata

Jika tidak dicarikan solusi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh Utara dan Provinsi Aceh terhadap persoalan yang dialami oleh petani di 8 kecamatan itu, maka ada 151.128 jiwa masyarakat di sana terancam kelaparan akibat tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Kondisi itu juga akan menciptakan angka kemiskinan di Aceh Utara semakin tinggi dan menjadi pemicu terjadinya berbagai kasus kriminal.

“Masalah ini jangan dipandang sebelah mata. Ini persoalan serius yang harus mendapatkan solusi dari pemerintah. Pemerintah Aceh dan Aceh Utara harus menekan pihak kontraktor dan mempertanyakan mengapa kinerja mereka sangat lambat. Informasi yang kami peroleh di lapangan, progresnya masih sangat rendah hanya 17 persen dalam rentang 9 bulan,” sebuttokoh masyarakat Aceh Utara yang juga advoka, T Hasansyah.

Ketua Gerakan Pemuda Berusaha Tani (Geupeubut) Provinsi Aceh, Zulfikar Mulieng, Senin (12/9) siang kepada Waspada mengaku kecewa dengan kinerja pemerintah yang terkesan mengabaikan jeritan petani di 8 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara. Memang secara kewenangan, kata Zulfikar Mulieng, Daerah Irigasi Bendung Krueng Pase menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, namun jangan lupa, sebutnya, 151.128 jiwa yang ada di sana adalah warga Kabupaten Aceh Utara, bukan warga Jakarta.

“Anggota DPR RI, Ruslan M Daud sudah melaksanakan tugasnya sebagai anggota dewan. Dia bersama tim turun ke lokasi tapi tidak digubris oleh pihak rekanan. Kemudian petani mengadukan hal ini ke pemerintah juga tidak ada respon. Para mahassiwa juga telah melakssanakan aksi juga tidak diperdulikan. Lantas kemana lagi petani harus mengadukan nasibnya,” tanya Zulfikar.

Sebelumnya, Waspada telah berusaha mengkonfirmasi Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I Banda Aceh, Heru melalui telepon ke nomor 0815 1626 xxx, namun tidak diangkat meskipun telah dicoba beberapa kali. Kemudian melalui nomor yang sama, Waspada berusaha mengkonfirmasi via WhatsApp, tidak dibalas meskipun telah dibaca ditandainya dengan centang biru. Hal sama juga Waspada lakukan melalui Kasatker Op, Roni, di BWS Sumatera 1 Banda Aceh juga tidak berhasil mendapatkan konfirmasi terkait hal tersebut di atas.

Maimun Asnawi, S.Hi.M.Kom.I

Teks Foto

Waspada/Maimun
Areal persawahan yang dilanda kekeringan akibat jebolnya Bendung Krueng Pase terlihat telah ditumbuhi tanaman liar sejauh mata memandang. Foto tersebut dijepret Waspada, Senin (12/9) siang di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Waspada/Maimun

Areal persawahan yang dilanda kekeringan akibat jebolnya Bendung Krueng Pase terlihat telah ditumbuhi tanaman liar sejauh mata memandang. Foto tersebut dijepret Waspada, Senin (12/9) siang di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Waspada/Maimun
Areal persawahan yang dilanda kekeringan akibat jebolnya Bendung Krueng Pase terlihat telah ditumbuhi tanaman liar sejauh mata memandang. Foto tersebut dijepret Waspada, Senin (12/9) siang di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Waspada/Maimun
  • Bagikan