Alam Beraja Beradat Melayu

  • Bagikan

Manusia Melayu sepanjang pesisir Sumatra Utara beradat istiadar dan beragama Islam sebagaimana terpancar dalam pepatah, ”Adat sebenarnya adat adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi, dan syarak sebagai sebagai paham keislaman yang dipegang teguh”

Alam Beraja Beradat Melayu. Konsep dunia laut (maritim) dunia Barat sering dikonotasikan sebagai medan berbahaya, mencemaskan dan menimbulkan rasa tidak aman.

Sejumlah kisah petualangan tentang serangan makhluk mistos banyak diketahui dan didengar oleh manusia.

Misalnya mitos Fliying Dutchman (Belanda), mitos Odysseus dan Serena (Yunani), legenda kapal Mary Celeste (Amerika) termasuk misteri Segitiga Bermuda (Samudera Atlantik).

Dalam kebudayaan Barat hampir tidak ada mitos tentang laut sebagai sebuah tempat yang penuh pengharapan akan tetapi laut dianggap sebagai tempat makhluk misterius dan menakutkan.

Gejala yang berbeda terlihat pada bangsa yang mendiami Nusantara Indonesia.

Melayu sebagai bangsa atau wangsa pernah dikenal sebagai negeri bahari/maritim. Berbagai cerita rakyat dan legenda menampilkan keperkasaan dan kepahlawanan manusia dalam legenda laut.

Jika mengungkapkan laut sebagai dunia imajinasi dalam cerita rakyat maka masyarakat yang tinggal di kawasan tamadun Melayu Sumatra Utara lebih banyak mengenal cerita Putri Hijau, Merak Jingga (Deli), Panglima Nayan serta Sri Putih Cermin (Deli Serdang) yang berlatarbelakang cerita tentang dunia maritim dunia laut.

Sepanjang korpus Melayu yang tercatat dalam Sejarah Melayu (Yusuf, 2005) dapat dibuktikan tentang kisah raja-raja Melayu serta nasab dan zuriatnya berhubungan dengan dunia horisontal, dunia yang paling akrab yakni; selat, sungai, teluk, tanjung dan bukit.

Dari aspek lingkungan seluruh elemen tersebut dimasukkan dalam fisik biosferik, sebuah bentangan terukur (tangible).

Kuasa penanda selat Melaka sebagai ‘halaman bermain’ anak Melayu sudah tersohor sejak dahulu yakni arena akuatik tempat lalu-lalang perahu dan pencalang yang berdagang sepanjang selat Melaka dan menghilir ke seluruh penjuru laut terbuka ke segenap benua dan samudera.

Sepanjang selat inilah orang Melayu menawar dan menjinakkan segala sesuatu yang asing, sesuatu yang tak lazim dan berakomodasi dan bersinergi dengan orang pendatang yang berdagang, berdakwah agama dan juga menyediakan tempat tinggal para pengembara asing sebagai tamu di rumah Melayu.

Para pengembara asing yang datang dari Eropah Barat lebih menekankan kapitalisme seperti juga terjadi di Inggris dan negeri Eropa.

Dalam buku Ian Dallas (Rida, 2022), selalu ada kekuatan lain yang ingin merusak dan meruntuhkan Daulat sultan atau raja sebagai pemimpin rakyat di masa dahulu.

Sikap dan etos kekesatriaan sang pemimpin dipaksa atau terpaksa mematuhi sejumlah perjanjian dengan orang asing dalam bungkus kapitalisne dan kolonialisme.

Misalnya merujuk sejarah para Ordo dan Bankir serta pedagang, meminjam pendapat Syech Abdul Qadircas Sufi (Ian Dallas sang mualaf).

Ordo moneterisme Belanda dan Inggeris berhasil mengadu domba ordo kesatria Bugis dan Penguasa Melayu. Mereka mencari keuntungan politik dan ekonomi.

Penjajah Belanda dengan cerdik melalui berbagai perjanjian politik berhasil meruntuhkan semangat kekesatriaan wangsa Melayu itu, mendorong elit pemimpin kerajaan dan penguasa di Nusantara itu untuk melanggar dan menghianati Sumpah Setianya sebagai ‘khalifatul fil’ardi’.

Syarak Melayu

Manusia Melayu sepanjang pesisir Sumatra Utara beradat istiadar dan beragama Islam sebagaimana terpancar dalam pepatah, ”Adat sebenarnya adat adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi, dan syarak sebagai sebagai paham keislaman yang dipegang teguh”.

Sebagaimana dituliskan,’apabila bertelikai adat dengan syarak, tegakkan syarak tinggalkan adat. Keadaan ini menunjukkan begitu kuasanya paham keislaman dalam kehidupan orang Melayu.

Sistem lingkungan Melayu terdiri atas hutan-tanah,laut-sungai, teluk-tanjung, redang-bencah, Lingkungan ekosistem Melayu dapat dimanfaatan untuk pembuatan dusun atau perkampungan, hutan untuk saha dan bendang, pembuatan perahu dan alat musik serta ramuan obat unttuk ketahanan hidup bermasyarakat dan berkampung.

Perilaku terhadap alam lingkungan itu diawasi dengan pepatah, adat, hukum adat, larangan, pantang-larang dan sebagainya.

Pantang-Larang

Masyarakat Melayu sebagai makhluk ciptaan Allah juga mempercayai adanya makhluk yang diciptakkan Allah seperti malaikat, iblis, jin roh halus.dalam tradisi orang Melayu dahulu sosok makhluk gaib dapat dikelompokkan kepada jin, mambang, siluman, hantu, orang bunian, jembalang, orang halus dan puaka.

Secara umum puaka diartikan seperti dedemit atau hantu penunggu terhadap air, hutan, tanah, pohon, batu, laut dan sebagainya. Istilah ‘puaka’ dalam masyarakat dudun Melayu merupakan bentuk larangan yang hampir mirip demgan ‘pantang-larang’.

Perbedaaannya, pantang-larang selalu menggunakan kata, ”tidak boleh”, sementara itu larangan selalu menggunakan kata”jangan”. Bentuk larangan itu dapat ditujukan kepada laut yang meliputi karang puaka, teluk puaka, tanjung puaka.

Kemudian berkaitan dengan sungai dikenal sebutan,’lubuk puaka’, ‘sungai puaka’, danau puaka’. Berkaitan dengan darat dan hutan dikenal pla istilah ‘pohon puaka’, ‘rumah puaka’, ‘jembatan puaka’, dan ‘simpang puaka’.

Konsep’puaka’ zaman dahulu menjadi model dalam pelestarian lingkungan alam bagi kehidupan orang Melayu. Karena papan larangan tentang ‘puaka’ dipangangkan di pinggir sungai, maka orang tidak berani menangkap ikan sehingga menjadi proses berkembangbiaknya ikan.

Demikian juga pohon di hutan yang terjaga di rimba menjadikan burung-burung dan binatang yang bersarang tidak terganggu habitatnya dan berkembang-biak untuk kelangsungan hidupnya.

Pemilihan kata ’jangan’ tersirat makna yang menimbulkan ’akibat’ terhadap orang yang melanggarnya. Peristiwa pelanggaran tersebut, karena ada kejadian sebelumnya. Misalnya bencana alam (banjir, angin punting-beliung, gempa, termasuk kabut asap yang mencemari langit khatulistiwa).

Mawas Diri

Puaka sebagai larangan merupakan sistem yang proaktif menata seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegeri khususnya memiliki komitmen dan perilaku yang konsisten terhadap alam boleh mengambil bidang tertentu di hutan yang akan ditebas.

Pada setiap kait bermakna luasnya satu gantang benih padi.Kemudian pada kawasan tebasan dekat ‘kait-kait’ itu luasnya lebih kurang satu depa 4 persegi.Ada tanda salib (+lingkungan kehidupan.

Sejumlah tunjuk ajar tentang pelarangan membinasakan alam lingkungan; (1) Makan tidak menghabiskan, minum tidak mengeringkan.

(2) Berladang tidak melanggar undang, meramu tidak mengharu-biru (3) Tanda orang amanah, tidak merusak hutan dan tanah (4) Tanda ingat ke hari tua, laut diarungi, hutan dijaga (5) Berumah tak merusak tanah, berkebun tak merusak dusun.((Ayub,2003).

Merawat Hutan

Di dalam berbagai koodifikasi Hukum yang dikeluarkan oleh kerajaan Melayu Sumatra Timur (Sinar, 2002) terdapat beberapa tanda pelarangan di hutan rimba yang jika dilanggar akan dijatuhi hukuman dan sanksi oleh pihak Kerapatan Adat.

Sejumlah tanda larangan yang dipancangkan di hutan dibuat tanda ‘kait-kait’ yakni tanda yang boleh menebas pohon di hutan

Ada beberapa tanda lain, misalnya tanda salib (+) tanda batas kait yang diberikan kepada seseorang yang memanfaatkan hutan lamanya sekitar 4 bulan saja. Ada tanda ‘bulan-bulan’(o) tanda yang diperuntukkan pohon-pohon di hutan agar jangan diambil orang.

Kemudian diserakkan kulit kerang pada sekeliling pohon sebagai tanda larangan (police line) istilah kepolisian.

Semua tanda larangan ini dimaksudkan agar masyarakat di bawah pembimbingan dan perlindungan pemimpinnya patuh dan taat menjunjung malu dan mendaulatkan hukum.

Penulis adalah Dosen UISU.

  • Bagikan