Arogansi Kekuasaan

  • Bagikan

Apakah kita lebih rendah demokrasinya dari hewan? Padahal kita punya akal (anima intellektiva), rusa hanya memiliki instink (anima sensitiva). Mereka tak punya pemimpin formal, kita Indonesia punya segalanya termasuk falsafah Pancasila

Arogansi kekuasaan. Boleh dikatakan dua pekan terakhir adalah minggu-minggu demonstrasi di hampir seluruh kota provinsi dan kabupaten di Indonesia guna menyikapi naiknya harga BBM yang dianggap terlalu memberatkan masyarakat. Puncak musim unjuk rasa kali ini terjadi 23 September yang lalu.

Terakhir unjuk rasa yang dilaksanakan pada hari Selasa 27 September dua hari yang lalu di Jakarta dengan mengusung tema “BBM Melejit, Petani Menjerit”. Mungkin minggu-minggu berikutnya unjuk rasa akan tetap saja berlangsung beberapa bulan ke depan yang dimotori berbagai elemen masyarakat.

Kenapa tidak? Dampak kenaikan harga BBM sudah mulai terasa mencekik leher. Mayoritas rakyat jelata mengeluh, hanya saja tidak semua mereka bisa ikut demo karena ketiadaan waktu, biaya dan tenaga. Namun sekiranya mereka ikut unjuk rasa, kemungkinan besar mereka akan mengusung tema- meminjam puisi Fadli Zon – yang berjudul “Mau Saya Tabok Rasanya”.

Meski selama unjuk rasa berlangsung dan berakhir aman-aman saja, namun masih ditemukan insiden kecil antara peserta unjuk rasa dengan aparat keamanan. Diakui memang bahwa ada sedikit perubahan dalam mengelola unjuk rasa kali ini yang tidak terlalu represif dan bahkan lebih manusiawi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apakah karena masih hangatnya kasus Ferdy Sambo jadi konsumsi publik akhir-akhir ini, hanya Tuhanlah yang tahu.

Yang jelas unjuk rasa atau rapat umum di semua negara tak terkecuali Indonesia bukanlah sebuah barang haram atau aktivitas yang dilarang. Ia merupakan saluran aspirasi yang dijamin dalam undang-undang. Unjuk rasa ini muncul bukan tanpa sebab dan alasan.

Tak lebih karena kurangnya lembaga-lembaga negara memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat yang baik. Jika lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif satu hati menyahuti aspirasi rakyat mungkin aksi unjuk rasa ini tidak akan pernah terjadi apalagi berkepanjangan.

Tapi perlu digarisbawahi gelagat menyikapi gelombang unjukrasa kali ini agak tampil beda . Lihatlah di sekeliling istana begitu ketat penjagaannya dinding beton bagai perisai tak ubahnya seperti tembok Berlin lengkap dengan kawat berduri serta kamera pemberi kode kapan saatnya tindakan represif kalau tidak dikatakan membumi-hanguskan para demonstran.

Persis peristiwa di Tiananmen, China 1989. Kala itu pengunjukrasa buruh, mahasiswa dan masyarakat biasa menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah yang mempertontonkan gaya kepemimpinan otoriter serta membungkam demokrasi. Kurang lebih 1000 peserta demonstran tewas di ujung bedil aparat dan lebih 10000 orang yang ditangkap dan dipenjarakan.

Hakikat dari sebuah demonstrasi sederhananya adalah menyampaikan keluh kesah hingga mengajukan permohonan. Syukur-syukur penguasa masih punya telinga mendengan apalagi mengabulkannya. Tetapi kali ini penguasa tidak cerdas memaknai arti unjuk rasa dalam konteks demokrasi. Malah menantang seolah mengisyaratkan siap jika pun didemo berbulan-bulan.

Alih-alih menerima pengunjuk rasa, malah kabur dari belakang istana. Sedikit pun tak memiliki empati akan penderitaan yang dirasakan rakyat akibat kebijakannya yang tanpa hati nurani itu. Jangankan bergeming mengubah sikap, mendengar keluhan rakyat saja tak sudi. Mungkin para demonstran telah diposisikan bagaikan serigala yang hendak menerkam mangsanya.

Tidakkah kita lihat lewat media sosial betapa banyaknya orang yang panik dan makin susah hidupnya akibat naiknya harga BBM ? Bahkan ada yang putus asa sehingga ada ibu meracuni anak-anaknya hingga tewas menyusul membunuh dirinya sendiri di tiang gantungan karena terlilit utang. Menyikapi fenomena ini mohon maaf jangan mereka dibilang siapa suruh miskin dan siapa suruh berutang. Apalagi jika disebut siapa suruh mereka jadi warga Indonesia.

Di era demokrasi sesungguhnya tidak mengenal arogansi kekuasaan jika fungsi lembaga negara berjalan sesuai koridornya. Kenyataannya lembaga yang katanya tinggi itu memperlihatkan arogansi kekuasannya. Lebih parah justru mempertontonkan arogansi berjamaah dalam konteks trias politica. Rakyat jadi korban pemerasan demi memuluskan kehendak nafsu serakah mereka.

Rusa saja mengenal demokrasi yang menghargai sikap, usul dan perasaan populasi yang terbanyak. Lihatlah ketika segerombolan rusa berpindah tempat mencari lahan lebih empuk. Jika  belum cukup 60 % gerombolan rusa itu menunjukkan sinyal bangkit dan bergerak, maka rusa itu tidak jadi berpindah tempat. Itu kata ahli perilaku hewan dalam penelitiannya.

Bercermin dari perilaku hewan ini, apakah kita lebih rendah demokrasinya dari demokrasi hewan? Padahal kita punya akal (anima intellektiva), rusa hanya memiliki instink (anima sensitiva). Mereka tak punya pemimpin formal, kita Indonesia punya segalanya termasuk falsafah Pancasila.

Kecuali kita sepakat program pembangunan manusia Indonesia yang dibungkus jargon revolusi mental tujuannya mengarah ke terciptanya perilaku manusia yang lebih rendah dari binatang, tak mengenal keadilan, kemanusiaan dan melawan hati nurani alias menggiring manusia ke hukum rimba dan homo homini lupus. Demokrasi kita lebih rendah dari demokrasi binatang.

Setahu kita yang masih waras ini, jika rakyat banyak memprotes kebijakan, artinya ada sesuatu yang tak beres atau kebijakan itu lebih banyak merugikan masyarakat luas. Hingga di sini makin benar sinyalemen pakar menyebut demokrasi hanya sebuah seni. Maka bisa saja diterjemahkan multitafsir dan liar. Mulut menyebut demokrasi, tapi autokrasi. Bulan yang dijanjikan, matahari panas yang dipersembahkan. Kesederhanaan dicitrakan justru kerakusan dipertontonkan.

Entah demokrasi apa namanya yang diusung di NKRI ini sehingga melahirkan tirani dan arogansi kekuasaan. Bersikukuh menganggap dirinya berjalan di atas rel yang benar padahal jalannya sudah keliru selama ini. Apakah karena selama ini memakai kaca mata reben gelap sehingga tidak tahu apa dan sampai di mana yang dilaluinya.

Belum lagi yang seolah haram hukumnya media apapun meliput segala berbau demonstrasi apalagi demo mengkritisi penguasa. Tidak boleh ulama dan aktivis melawan dan meluruskan kebijakan penguasa yang keliru meski dengan bahasa santun. Langsung dipenjarakan.

Khusus para ustadz tidak sedikit hilang begitu saja tanpa diketahui rimbanya dengan tuduhan radikal dan teroris. Sekelas SBY pun sudah mulai diintip hanya karena mengingatkan agar waspada kecurangan Pemilu 2024. Seolah kita tidak punya etika dan tak pandai lagi menghargai jasa pemimpin terdahulu terlepas ada sejumlah kelemahan pada masa lalunya.

Semuanya ini tidak terlepas dari rusaknya kepemimpinan kolektif-kolegial pemerintahan. Jika mengingat sejarah Fir’aun, ada Haman yang mengemban tugas Menteri Segala Urusan (MSU) di Mesir. Bajingan tengik inilah yang merusak dan menggadaikan kedaulatan jika dianalogikan di NKRI ini. Jangankan semua menteri, raja penguasa sendiri pun hilang kediriannya dalam menjalankan tugas sebagai raja alias raja boneka. Jika kedirian sudah hilang maka kewibawaan (gezag) pun hilang sehingga rusaklah birokrasi itu hingga ke bawah.

Teruslah bertepuktangan di atas jeritan tangis rakyat yang tak berdaya ini.agar makin mantap terbuka pintu kehinaan pada masanya. Selama ini tidak sepotong kata keluar dari mulut pemimpin termasuk raja penguasa yang bisa sebagai pelipur lara rakyat, kecuali hanya tipu, bohong dan arogansi. Tidak paham wajah rakyat yang bermuram durja menatap masa depan suram. Ternyata, kelembutan hati rakyat selama ini, hanya membuat rakyat tersakiti.

Kami juga tidak tahu siapa yang bernama Bjorka itu. Apakah manusia normal atau gila. Bisa jadi malaikat atau jin kafir dan jin yang beriman yang tak perlu kami buru-buru mempercayainya. Kami yakin kepada Allah SWT yang akan mengabulkan doa kami di tengah posisi kami yang terzalimi. Karena demikianlah kata nabi-Nya.

Arogansi kekuasaan. Mungkin doa kami masih di tengah perjalanan menuju Ilahi atau bisa saja malaikat masih alpa menjalankan tugasnya sehingga keluhan kami belum diterima. Suatu ketika “rahasia Ilahi” akan wujud bagi pemimpin arogan dan zalim. Ingat..! Orang beriman tidak pernah takut dan patah arang memperjuangkan haknya hingga darah penghabisan… Allahu Akbar… 3 x

Penulis adalah Guru Besar Unimed dan Anggota Dewan Riset dan Inovasi Pempov Sumut.

  • Bagikan