Catatan Politik Kolonial

  • Bagikan

Regulasi politik kolonial bukan tidak ada soal kemerdékaan beragama. Juga tentang pengakuan atas sesuatu agama

Catatan politik kolonial.

Catatan politik kolonial. Berdasarkan De Grondwet (Konstitusi Belanda) dalam pengaturan Staatsblad Hindia tahun 1925 No. 447, Pemerintahan Belanda (Nederlandschen Staat) di tanah jajahan terdiri dari Gubernur Jenderal, Volkskraad (Déwan Rakyat) dan Raad van Nederland Indië (Déwan Hindia) yang meliputi Hindia Belanda, Suriname dan Curaçao (Mr. J. Riphagen, 1927).

Perkataan “jajahan” berhakekat “kepunyaan atau milik”. Suatu negeri yang ditundukkan terutama untuk menjadi tempat mencari keuntungan material bagi “tanah air” Nederland.

Meski belakangan De Grondwet tak lagi memakainya, tetapi aturan pemerintahan Hindia Belanda terus mengawetkan keberadaan Menteri Jajahan hingga Indonesia merdeka.

Pada dasawarsa terakhir zaman kolonial, sebagaimana dicatat dalam Mohammedaansch-Inlandsche Zaken terbitan Departement van Binnenlandsch-Bestuur (1934), Belanda menilai terdapat sejumlah masalah serius menyangkut Bumiputra beragama Islam terkait dengan agamanya itu.

Pertama, atoeran pengawasan pengadjaran agama Islam. Kedua, atoeran naik hadji. Ketiga, atoeran raad agama ditanah Djawa dan Madoera. Keempat, atoeran nikah dan talak.

Kelima, atoeran kas mesdjid, djakat dan piterah. Keenam, atoeran memberi pertolongan oeang oléh Pemerintah waktoe mendirikan mesdjid. Ketujuh, atoeran pegawai negeri jang beragama Islam jang hendak melakoekan kewadjiban agamanja dan tentang merajakan hari besar agama Islam.

Kedelapan, certificaat jang haroes dioendjoekkan oléh orang jang hendak pergi ke Masir akan beladjar.

Kesembilan, atoeran mentjegah memoengoet oeang atau barang dengan maksoed jang koerang baik dan mentjegah perboeatan jang koerang patoet jang dilakoekan orang waktoe memoengoet derma jang sematjam itoe, pada ‘oemoemnja.  Kesepuluh, sedikit tentang memberi kebébasan dari pada rodi.

Agama Islam yang menjadi anutan mayoritas pribumi. Itulah masalah bagi Belanda itu. Sesempit itukah pandangan mereka yang mengaku berperadaban tinggi itu? Ya, begitulah. Regulasi politik kolonial bukan tidak ada soal kemerdékaan beragama. Juga tentang pengakuan atas sesuatu agama.

Pasal 173 dari Aturan Pemerintah Hindia Belanda (APHB) bahkan dengan eksplisit menentukan bahwa “Tiap-tiap orang boléh mengakoei hoekoem dan atoeran agamanja dengan semerdéka-merdékanja, asal pergaoelan ‘oemoem (maatschappij) dan anggotanja diperlindoengi dari pada pelanggaran oendang-oendang ‘oemoem tentang hoekoem hoekoeman” (Mr. J. Riphagen, 1927, hlm 48-49).

Untuk pasal ini Mr. J. Riphagen berkomentar “haroeslah diketahoei benar, bahwa sebenarnja orang itoe tidak bébas sama sekali akan melakoekan segala perboeatan jang dikehendaki agamanja; bagi segala perboeatan, ra’jat itoe ta’loek kebawah oendang-oendang; djadi djoega dalam hal agamanja.”

Kemudian pasal 175 APHB pun mengatakan bahwa “Goebernoer Djenderal haroes mendjaga, soepaja oemmat dari sesoeatoe agama djangan sampai keloear dari batas-batas jang ditentoekan oléh oendang-oendang ‘oemoem.” (Mr. J. Riphagen, 1927, hlm 48).

Orang hanya disebut merdéka untuk mengakui sesuatu agama, yakni menyatakan kepercayaan dan menjalankannya.

Tetapi melakukan perbuatan agama dihadapan orang banyak dipandang sebagai sesuatu yang perlu dibatasi, apalagi jika dilakukan di luar bangunan dan di luar tempat jang tertutup. Hal seperti itu, jika akan dilaksanakan, harus minta izin Bestuur terlebih dahulu.

Ordonansi guru yang diterbitkan waktu itu mengandung ketentuan tentang pengajaran agama Islam. Jika diberikan di dalam sekolah atau pesantrén (madrasah) oléh guru agama kepada murid yang tertutup, serta yang tujuannya menyampaikan pengetahuan tentang agama Islam.

Atau mengajarkan ilmu tasawuf, maupun membuka jalan untuknya supaya dapat memasuki salah satu tarékat, yaitu dengan jalan langsung ataupun dengan jalan berantara, tidak ada masalah.

Bahwa keterangan keagamaan yang diberikan kepada suatu golongan yang tertutup, yang terjadi dari pada anggota sesuatu perkumpulan, atau yang diberikan di dalam rapat umum oleh orang yang diangkat oléh sebuah persyarikatan menjadi petugas pengembangan agama Islam atau oléh orang lain.

Dengan maksud supaya si pendengar suka memeluk agama Islam, atau supaya imannya menjadi lebih tebal, atau supaya perasaannya agama menjadi lebih kuat, maka perbuatan itu tidak termasuk dalam pengajaran agama.

Pengawasannya pun diatur oléh ketentuan tersendiri. Sedangkan yang disebut pendidikan agama itu adalah kegiatan terstruktur yang tujuannya menyampaikan pengetahuan tentang agama Islam, atau mengajarkan ilmu tasawuf, maupun membuka jalan untuk dapat memasuki salah satu tarékat baik secara langsung maupun tak langsung.

Kepenjajahan juga melahirkan paradoks lain yang tak kurang serius dan yang selamanya tak akan diakui sebagai usaha diskriminasi berdasarkan agama. Pasal 163 ayat (3) APHB misalnya berbunyi: atoeran Pemerintahan mengasingkan poela Buoemipoetera dan orang Timoer Asing jang beragama Kristen.

Dari tjaranja oendang-oendang menjeboetkan orang Kristen ini, ternjata bahwa baginja boiéh diadakan oendang-oendang jang terasing, akan tetapi merékapoen masih tinggal terhitoeng masoek kedalam golongan Boemipoetera atau Timoer Asing djoea.

Dengan perkataan lain: seorang Boemipoetera Kristen dalam segala hal masih Boemipoetera. Tentoe sadja boiéh djadi ada orang jang misalnja termasoek pada golongan Timoer Asing jang lebih menjoekaï ta’loek kebawah oendang-oendang bagi orang Eropah (Mr. J. Riphagen, 1927, hlm 18).

Hak bersyarikat dan berkumpul diatur dalam pasal 165 APHB dan menarasikannya demikian: “Hak pendoedoek oentoek berserikat dan berkoempoel diakoei. Berhoeboeng dengan keperloean keamanan ‘oemoem, memakaikan hak itoe diatoer dan dibatasi dengan ordonansi”.

Dalam banyak kasus terkait ketentuan hak-hak jenis ini, di seluruh dunia selalu dengan mudah dapat ditemukan inkonsistensi substansi. Ketentuan yang menjadi payung utama selalu terbuka untuk diterjemahkan dalam regulasi lebih rendah dengan semangat yang justru berlawanan dengan hakekat.

Memang fenomena syarikat politik dan kerapatan politik yang sebelumnya pernah dilarang, belakangan dianggap menjadi hal penting namun haluan politik selalu menentukan nasib. Orang yang sehaluan beroleh kemudahan dan bahkan keleluasaan untuk mengembangkan persyarikatannya.

Ordonansi dalam Staatsblad 1919 No. 27 mencontohkannya. Bahwa, misalnya, sebagaimana ditegaskan oleh Mr. J. Riphagen (1927, hlm 18) berikut: “…oentoek mendirikan seboeah vereeniging (perserikatan) tiada perloe ada izin dari pembesar. Djanganlah orang keliroe: mendirikan perserikatan, djanganlah disamakan sadja dengan hal meminta statuten (peratoeran)nja dibenarkan oléh Goebernoer Djenderal.”

Kebebasan pers di tanah jajahan ini dulu selalu dikaitkan dengan sebuah peri bahasa Belanda: “pikiran dibébaskan dari pada pengkerangkengan”. Maksudnya: mempunjaï pikiran, pendapat dan perasaan bagi tiap orang adalah sebuah kemerdékaan penuh, tiada dikuasai oléh pemerintah dan hoekoem.

Pikiran seseorang yang tidak dikeluarkan atau dilahirkan, baik dengan perkataan atau dengan tulisan, atau gambaran atau tanda-tanda, tidaklah sesuatu hal yang dapat dilihat atau dirasaï orang lain dan karena itu adanya pikiran itu pada seseorang hanya dapat dikira-kirakan saja. Sebab itu takkan ada sedikit pun faedah melarangnya.

Tetapi menyatakan pikiran atau pendapat, perasaan dan memberi tahukannya kepada orang lain menjadi urusan hukum dan karena itu tidak boléh dilakukan dengan laluasa.

Kitab Undang-undang Hukuman menentukan hukuman bagi berbagai hal menyatakan pikiran atau perasaan, seperti membencanai orang, menyatakan perasaan permusuhan, benci, penghinaan terhadap kepada salah satu golongan rakyat dan lain sebagainya.

Dalam beberapa hal, mengeluarkan pikiran atau perasaan itu hanya diancam dengan hukuman, kalau dilakukan di muka orang banyak. Bagi beberapa perkara lain diancamam juga dengan hukuman jika dikeluarkan, walaupun tidak di hadapan orang banyak.

Lebih-lebih mengeluarkan perasaan, pikiran atau pendapat di muka orang banyak boléh djadi menjadi sesuatu yang dianggap sangat berbahaya.

Alat yang terutama dipergunakan orang untuk melahirkan sesuatu pikiran itu ialah pers atau media.

Sebab itu ada masanya pembuat undang-undang merasa perlu mengadakan aturan yang di antaranya berbunyi sebagai berikut: “tiap-tiap hendak meng’oemoemkan sesoeatoenja dengan soerat tjétakan, hendaklah diminta izin Pemerintah lebih dahoeloe.

Dengan djalan jang demikian tentoe tiap-tiap maksoed hendak mengeloearkan pikiran …. jang dilarang oendang-oendang, boléh di tjegah atau dibatasi. Akan tetapi dengan djalan itoe akan terganggoe poela orang mengeloearkan pikiran jang tiada diantjam hoekoeman dan jang boléh dikeloearkan.

Atoeran jang sematjam itoe dinamaï orang Censuur, jaïtoe: pikiran dsb. jang hendak dikeloearkan dengan pengantaraan soerat tjétakan haroes ditimbang dahoeloe oléh pembesar (Mr. J. Riphagen, 1927, hlm 19).

Dalam APHB pasal 164 A disebutkan demikian: “Pengawasan Pemerintah atas pertjétakan diatoer dengan ordonansi, sedjalan dengan asas, bahwa melahirkan pikiran atau perasaan dengan pengantaraan soerat tjétakan dan memasoekkan barang tjétakan jang ditjétak ditempat lain dari pada di negeri Belanda, tiada boléh dapat rintangan, lain dari pada jang perloe bagi mendjaga keamanan ‘oemoem.

Barang-barang jang ditjétak dinegeri Belanda dibiarkan masoek dengan tidak dialangi, ketjoeali tanggoengan tiap-orang jang akan diatoer dengan ordonansi.”

Apakah data di atas itu tak relevan dan tak berdasar untuk diperbandingkan dengan kondisi Indonesia sekarang, setelah 75 tahun merdeka? Mungkin kontroversi isu kriminalisasi ulama dapat menjadi salah satu contoh terbaik. Sesuatu yang terus dengan perimbangan pro dan kontra tajam. Ini mungkin terkait dengan fakta menguatnya Islamofobia yang salah satu dampaknya berwujud tuduhan-tuduhan negatif terhadap Islam.

Terutama dengan semakin menguatnya politik identitas yang dilancarkan oleh orang-orang yang tak jujur, arogan, mau menang sendiri dan tidak sportif pada hampir seluruh komponen politik bangsa, masalah-masalah yang menyulitkan umat Islam pun terus berkembang karena tuduhan sembarangan terlebih terkait dengan asas kenegaraan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan