Hijab Politik Ormas Islam

  • Bagikan

Urusan politik itu sangat sentral sehingga mencakup seluruh kehidupan kecuali sekadar untuk bernafas. Tentu saja kelompok lain sangat menyadarinya dan mungkin akan terus memperkokoh dengan teriakan-teriakan mendua (anti politik identitas di permukaan untuk memenangkan politik identitas sendiri)

Hijab Politik Ormas Islam. Tulisan ini mengasumsikan organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) Islam dan aliansinya dapat dibangun sebaik mungkin untuk kesiapan menjadi pemasok sumberdaya dalam mengisi jabatan-jabatan politik pada negara untuk semua level melalui Pemilu.  

Meskipun rekrutmen calon Presiden, anggota  DPR dan DPRD melalui Pemilu harus berdasarkan Parpol, namun peluang lebar selalu terbuka dari jalur lain (perseorangan) untuk pencalonan Kepala Daerah. Malah anggota DPD direkrut atas nama perseorangan.

Realitas politik tak mungkin mengabaikan kekuatan Ormas ketika Parpol atau gabungan Parpol mengajukan calon Presiden dan calon Kepala Daerah. Calon anggota DPR dan DPRD pun tak sedikit yang harus bersandar pada dukungan Ormas.

Pendefinisian Ormas oleh negara memang mengecualikan urusan kekuasaan politik dari domain tugasnya. Tetapi tanpa harus mengubah definisi itu, Ormas tetap dapat berbicara lebih tegas tentang aspirasi yang harusnya dipertimbangkan oleh Parpol.

Variasi Pengalaman

Tanpa Parpol, OK Arya Zulkarnaen bersinambung memenangi Pilkada Batubara tahun 2008 dan 2013. Ia menyadari pentingnya aliansi strategis masyarakat lokal, mampu menerjemahkan aspirasi dan mengaktualisasikannya untuk pilihan politik.

Pada pilkada Serdangbedagai (2010), Tanjungbalai (2010), Padanglawas (2013) dan Tapanuli Tengah (2017), sebuah organisasi kewargaan Jawa (Forum Komunikasi Warga Jawa, FKWJ), mengajukan pasangan calon sendiri.

Di antara banyak hal menarik tentang kiprah dalam semua suksesi lokal itu ialah pakem ketokohan (figurity), jejaring (networking) dan pendanaan (budgeting). Keberimbangan kekuatan 3 komponen itu  dan interaksinyalah yang menjadi jawaban atas peluang kemenangan.

Satu pasangan tertentu meski dengan stok dana besar tak akan pernah mudah beroleh dukungan sosial politik yang luas karena nyaris tak mungkin membentuk jejaring pemenangan yang kuat jika keduanya bukan tokoh yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas.

Dalam analisis untuk semua kekalahan FKWJ, titik lemah semua pasangan calon ialah pada pendanaan. Ada etape yang dilalui dengan kesepakatan. Pertama, menghitung rencana pengeluaran  dengan menambahkan sekitar 10 % atau lebih  “untuk jaga-jaga.”  

Kedua, eksekusi awal untuk pekerjaan pembentukan jejaring dimulai dengan penentuan lokasi pusat pemenangan, jika dapat adalah sebuah rumah besar dengan beberapa kamar dan dengan halaman yang luas. Posisi agak terpencil lebih cocok agar aktivitas hingga larut malam yang lazimnya selalu memunculkan kebisingan tidak mengganggu bagi pemukim yang lain.

Ketiga, di rumah pemenangan tersedia perangkat administrasi perkantoran, dapur umum dan generator listrik. Keempat, secara buttom up membangun jejaring diawali dengan pembentukan simpul di setiap tingkat pemerintahan terkecil.

Tokoh paling kompeten pada level ini dikukuhkan menjadi penanggungjawab tingkat desa atau kelurahan yang prosesnya dilalui dengan musyawarah. Pembentukan koordinator untuk kecamatan dan kabupaten atau kota ditempuh dengan cara yang sama.

Kelima,  berawal dari keluarga-keluarga, pengumpulan dukungan merambah ke tetangga, handai tolan dan seterusnya dengan menyertakan bukti tandatangan pada blanko yang disediakan sesuai format KPU dan fotocopy KTP.

Pekerjaan ini akan lebih mudah jika visi, misi dan program prioritas pasangan calon telah dipersiapkan, sebab pengalaman membuktikan daya tariknya ketika pengumpulan dukungan.

Pada dasarnya pasangan calon dukungan FKWJ tak begitu memerlukan baliho, spanduk dan kampanye klosal di lapangan kecuali sekadar untuk menunjukkan gengsi belaka sebab jejaring yang dibentuk dapat diandalkan untuk menyampaikan pesan ke seluruh penduduk.

Karena itu FKWJ tak pernah bermasalah apalagi gagal dalam mengajukan persyaratan dukungan penduduk sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh KPU, meski dengan sedikit pengecualian untuk Serdangbedagai.

Biaya yang dikeluarkan sangat murah dibanding bayaran di daerah maupun di Jakarta jika maju dengan usungan Parpol. 

 Seluruh jejaring pemenangan FKWJ sadar bahwa suara adalah satusatunya barang langka yang diperebutkan. Sebab itu FKWJ menempatkan orang-orang yang memiliki kecakapan dan ketangguhan untuk berada di TPS saat pemilihan dan secara berjenjang melakukan pengawalan suara hingga perhitungan akhir sidang pleno KPU.

Mengapa tak satu pasangan pun yang berhasil dimenangkan oleh FKWJ? Sejak awal telah disepakati dengan pasangan calon bahwa vote buying adalah keniscayaan pemilihan langsung Indonesia. Pasangan calon wajib menyiapkannya.

Jika pasar telah menentukan bayaran untuk setiap pemilih adalah Rp100 ribu, maka FKWJ berani mengandalkan seluruh jejaringnya untuk tidak goyah dengan hanya Rp20 ribu untuk setiap pemilih. Kesepakatan inilah yang selalu tidak dipenuhi, bahkan belakangan terbukti malah tidak mampu menyediakan uang saksi di TPS.

Ormas Islam Terhijab Politik

Mengapa organisasi-organisasi etnis Jawa (seperti FKWJ) selalu melihat perebutan kekuasaan politik sebagai peluang strategis meski belum pernah berhasil memuaskan sedangkan organisasi-organisasi keagamaan seperti Al-Jam’iyatulwashliyah, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) terus menunjukkan sikap yang berbeda?  

Klaim bahwa Al-Jam’iyatulwashliyah memiliki alm Abdul Halim Harahap dan Dedi Iskandar Batubara di DPD adalah benar. Afiliasi yang menyeberangkan tokoh-tokoh lainnya dari Sumatera Utara ke DPD juga dapat dijelaskan termasuk Muhammad Nuh dalam kaitannya dengan PKS, Persis dan Muhammadiyah.

Tentu saja juga tidak begitu sulit membuktikan kebenaran dukungan komunitas HKBP untuk keberhasilan Willem Tumpal Pandapotan Simarmata pada ranah yang sama. 

Jadi seluruh Ormas itu dipercaya memiliki sikap yang mengendalikan warganya dalam setiap perhelatan perebutan kekuasaan politik.

Meskipun kekentaraan dukungan itu lebih mudah diidentifikasi pada ranah pemilihan kepala daerah, presiden dan anggota DPD, tetapi nada pengendaliannya tetap kuat untuk ranah pemilihan lain (legislatif lokal dan nasional).

Perbedaannya hanya akan terletak pada pembatasan pengendalian yang tidak mungkin dibuat begitu rinci untuk legislatif yang kandidatnya begitu banyak dan saling potong hubungan dan jarak sosiologis dengan Ormas pengendali itu. Kemungkinan besar Ormas Islam terhijab politik terutama oleh tiga faktor utama.

Pertama, pengalaman yang melelahkan dengan perjuangan politik kepartaian pada masa lalu yang akhirnya menyurutkan Ormas pada sikap yang menempatkan urusan politik di luar domain tugasnya.  

Kedua, dengan mengecualikan perjuangan politik kepartaian sebagai bagian terpisah, semua Ormas itu tetap saja memiliki kader-kader yang cukup menonjol dalam jabatan-jabatan keparpolan dan jabatan politik lainnya. Para kader itu seolah dipercaya sebagai wakil resmi tanpa pemandatan organisatoris untuk terus bermain dalam dunia politik.

Ketiga, perbenturan antara idealitas cita-cita politik berbasis agama versus kekuatan politik berbasis sekularitas yang terus mencatatkan fakta yang menciutkan bathin orang Islam bahwa partai berbasis faham keagamaan sudah berakhir dan tertutup selamanya.

Ini memang sangat paradoks, bahwa di tengah keyakinan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang terus dikumandangkan sebagai doktrin, ia tak menjadi komunitas yang berkepentingan mewarnai dunia politik.

Padahal urusan politik itu sangat sentral sehingga mencakup seluruh kehidupan kecuali sekadar untuk bernafas. Tentu saja kelompok lain sangat menyadarinya dan mungkin akan terus memperkokoh dengan teriakan-teriakan mendua (anti politik identitas di permukaan untuk memenangkan politik identitas sendiri).

Ranah Perebutan Politik 2024  

Jika tidak salah menghitung, selain menentukan Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029, Pemilu (legislatif, DPD dan Kepala Daerah) tahun 2024 untuk Sumut akan memperebutkan 1.142 jabatan politik. Sebanyak 940 kursi legislatif Kabupaten dan Kota, 100 kursi provinsi, 30 kursi nasional, 4 kursi DPD, 66 jabatan bupati, wali kota dan wakil, dan 2 jabatan gubernur dan wakil.  

Meski di permukaan terus dimusuhi, namun perebutan kekuasaan politik seperti ini di Indonesia adalah urusan serius kelompok-kelompok keagamaan. Sentimen keagamaan tidak mungkin diabaikan. Bahkan demokrasi yang mengingkari representasi berdasarkan realitas segmentasi sosial adalah anomali.

Jika penduduk Sumut berdasarkan afiliasi keagamaan menunjukkan 66,43 % adalah pemeluk Islam, maka bukanlah sesuatu yang berbahaya bagi politik untuk negara dan bangsa jika persentasi yang proporsional diraih oleh yang mustahak.

Sama halnya  dengan fakta bahwa untuk Presiden di Indonesia satu-satunya proyeksi yang dianggap patut dipertimbangkan melalui pemilihan adalah figur Jawa atau yang sudah njawani atau “dijawakan” atau “terjawakan”.

Anehnya tradisi politik tak tertulis ini tak boleh disebut sebagai arena efektif berulang politik identitas di tengah selalu terbukanya peluang memperbaikinya dengan sistim pemilihan berbasis akumulasi suara kewilayahan tertentu (electoral colledge).

Penutup

Faktor apa gerangan yang dapat merekat Al-Jam’iyatulwashliyah, Muhammadiyah dan NU di daerah ini untuk satu sikap dalam perebutan kekuasaan politik? Terlalu menghayalkah jika Dedi Iskandar Batubara, Hasyimsyah Nasution dan Marahalim Harahap secara bersama menegosiasikan sikap ini ke pemimpin tertinggi mereka di Jakarta?

Tentu saja mereka bertiga harus terlebih dahulu meyakinkan premus interpares pada organisasi mereka bahwa Ormas Islam tak boleh membiarkan proses kenegaraan berlangsung di luar maslahat, dan mempercayakan segalanya kepada Parpol, di tengah hak dan peluangnya untuk berpartisipasi dijamin oleh konstitusi, adalah kesalahan besar.

Mereka bertiga pun harus mampu meyakinkan bahwa konstruksi politik identitas yang dibangun sebegitu buruk itu adalah rencana sistematis memusuhi pengembangan sehat potensi politik umat Islam.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan