Kedahsyatan Zakat

  • Bagikan

Pekerjaan adalah martabat yang bukan saja untuk penyambung hidup hari demi hari. Karena itu orientasi ke hulu masalah perlu menjadi perhatian penting bagi Baznas

Kedahsyatan Zakat. Focused Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Baznas Sumut di Medan tanggal 27 September 2022 yang lalu memilih tema “Optimalisasi Penggalian Potensi, Distribusi dan Pendayagunaan Zakat, Infaq, Shadaqah untuk Kesejahteraan Rakyat di Sumatera Utara”.

Empat pembicara sebelum penulis ialah Basyaruddin (UISU), Dedi Iskandar Batubara (DPD-RI), Marwan Dasopang (DPR-RI), dan Azhari Akmal Tarigan (UINSU).  Penulis mengetengahkan dua wilayah pembahasan tentang institusi zakat yang seyogyanya amat dahsyat itu.

Pertama,  sejarah, politik dan budaya Indonesia. Determinan sejarah, politik dan budaya itu memang sangat menentukan posisi zakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan wilayah pembahasan kedua berupa tawaran untuk pilihan prioritas sesuai kondisi bangsa sekarang. Ijtihad besar memang sangat diperlukan.

Sejarah, Politik Dan Budaya

Tentang kebebasan beragama, oleh kolonial Belanda tempohari, terdapat beberapa ketentuan diskriminatif yang diberlakukan terhadap pribumi muslim. Sebagaimana terjadi di banyak negara bekas jajahan di dunia, terdapat kesulitan serius dan berkepanjangan ketika mereka memperjuangkan hidup baru tanpa penjajah.

Nilai-nilai mereka kerap disepelekan dan dalam rivalitas yang semakin gencar, atas nama proyek demokratisasi dunia dan berbagai tindak lanjutannya, fenomena Islamofobia kerap menjadi keniscayaan belaka.

Dunia Islam tidak berada dalam ruang hampa pengaruh. Hatem Bazian dalam Religion-building and Foreign Policy menegaskan Islamofobia yang berbeda dan terfokus secara historis dalam masyarakat mayoritas Muslim.

Islamofobia ditengarai terutama sebagai proses yang muncul dan dibentuk oleh wacana hegemoni Eurosentris kolonial yang berasal dari akhir abad ke-18, yang juga menekankan peran internalisasi oleh elit pasca-kolonial. https://nbasis.wordpress.com/2021/05/08/islamofobia-pada-masyarakat-mayoritas-muslim/  

Pada dasawarsa terakhir zaman kolonial, Belanda menilai masalah zakat adalah salah satu dari sejumlah masalah serius menyangkut Bumiputra beragama Islam terkait dengan agamanya itu (Handleidin G Ten Dienste Van De  Inlandsche Bestuursambtenaren Op Java En Madoera No. 37/O.E. Mohammedaansch-Inlandsche Zaken, Uitgave van het Departement van Binnenlandsch-Bestuur, Batavia, Drukkerij Ruyorok & Co. 1920).

Pemerintahan waktu itu berusaha memanipulasi makna dan karena kekhawatiran akan digunakan untuk kepentingan yang tidak sejalan dengan kebijakan kolonial pengaturan yang membatasi pun dibuat ketat mengenai sumber pendanaan umat Islam termasuk zakat. Di antara beberapa catatan terpenting dapat diberikan sebagai berikut:

Boekan hanja dinegeri, tempat orang Islam dibawah perintah bangsa jang boekan orang Islam, akan tetapi djoega hampir disegala keradjaan Islam kewadjiban itoe sesoenggoehnja lama mendjadi pemberian dengan rela hati, atau hanjalah sematjam oetang boedi jang lama-kelamaan berkoerang-koerang diperloekan orang.

Oléh sebab itoe maka perolehan itoe boleh dianggap sebagai derma ra’jat bangsa Islam; Pemerintah tiada dapat mengetahoei, berapa banjaknja derma itoe, sebab itoe djanganlah poela ia mentjampoeri perkara itoe.

Dimana telah mendjadi ‘adat, bahwa sebagian dari pada oeang djakat dan pitrah itoe haroes dimasoekkan kedalam kas mesdjid, maka Pemerintah haroes mengawasi dengan keras, baik tentang hal itoe ada peratoeran jang tertoelis, baikpoen tidak, soepaja barang atau oeang itoe hanjalah dipakai boeat keperloean agama Islam sadja dan soepaja isi kas itoe djangan lebih dari pada keperloean agama ditempat itoe.

(Mohammedaansch Inlandschezaken Handleiding Ten Dienste Van De Inlandsche Bestuursambtenaren, Derde Bijgewerkte Druk Volkslectuur, Batavia-Centrum, 1934).

Saat ini Undang-undang telah menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Sepintas tidak ada masalah. Namun jika dibandingkan nas berisi amar tentang zakat dalam Al-Qur’an, undang-udang mereduksinya dari sifat wajib menjadi sukarela. Karena itulah salah satu butir rekomendasi yang lahir dari FGD ini berusaha menegaskan kedudukan hukum tentang zakat dimaksud.

Dalam sebuah UU yang terbit pada masa pemerintahan Soekarno (UU No 5 tahun 1962), terdapat sebuah pengaturan tegas tentang kewajiban imperatif Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menunaikan zakat. Dikatakan bahwa yang dimaksudkan zakat bagi perusahaan yang modalnya untuk sebagian terdiri dari kekayaan Daerah yang dipisahkan, Pemerintah Daerah mengatur supaya dalam hal ini diikuti petunjuk dari Menteri Agama.

Hal pertama yang harus dicatat ialah bahwa sebelum pembagian masing-masing 8 %, 7 %, 40 % dan 45 %  untuk beberapa pos tertentu, zakat dialokasikan terlebih dahulu. Tentu saja dengan menetapkan kewenangan Menteri Agama dalam mekansme ini.

UU No 5 Tahun 1962 memaksudkan bahwa zakat itu berbeda dengan kewajiban-kewajiban pungutan lainnya, baik karena pemerioritasan maupun karena sifatnya sebagai kewajiban kelembagaan yang digariskan oleh Syari’ah (Islam). 

Berdasarkan analisis sejarah dan politik, dampak budaya yang muncul dalam hal pengelolaan zakat ialah tarik-menarik yang terus menerus antara pandangan kenegaraan dan keagamaan yang selalu tidak harmonis jika bukan antagonistik.

Diperlukan sekali pengaturan yang seadil-adilnya bagi wajib zakat dan wajib pajak agar tidak ada perasaan terdiskriminasi bahwa sesudah membayar zakat juga dikenai kewajiban zakat. 

Selain itu hingga kini terasa amat sulit memastikan investasi yang rasional untuk modernisasi pengelolaan zakat. Jadi, selain revitalisasi kelembagaan, pembuatan data base yang akurat hendaknya menjadi salah satu pokok perhatian penting oleh Baznas dan tidak selayaknya lagi terus-menerus didasarkan pada perkraan-perkiraan umum oleh perorangan atau pun lembaga-lembaga lain. 

Mari kita perluas wawasan. Negara agraris seperti Indonesia dengan tingkat ketakadilan distribusi sumberdaya seperti tanah menyebabkan kesenjangan luar biasa. Padahal dengan kekayaan yang seyogyanya distributif dalam hal kepemilikan tanah ini, umat Islam yang mestinya mayoritas bergelut dalam sektor agraria, akan sangat banyak menunaikan zakat dari hasil pertaniannya sendiri.

Akan sangat berbeda dengan kondisi sekarang ketika masyoritas rakyat hanya menjadi buruh pada lahan pertanian dan industri kalangan minoritas yang mendikte pemerintah.

Memang mesti diakui bahwa di beberapa daerah mungkin ada niat yang belum tercapai dalam investasi pada sektor produktif seperti pertanian itu. Kematangan dan kemahiran dalam pengelolaan investasi bukanlah sesuatu yang mudah bagi bangsa bekas jajahan seperti Indonesia.

Tetapi jika rakyat Indonesia memiliki akses atas warsan yang sangat luas itu, kesejahteraannya akan terjamin dan mereka akan menjadi pembayar zakat yang setia. Karena itu Baznas dan pemerintah dapat mulai berimajinasi bahwa zakat bisa digunakan untuk membeli sebanyak mungkin lahan (pertanian) untuk dikelola oleh masyarakat.

Terasa sekali bahwa budaya pengellaan zakat memerlukan pandangan politik yang kritis dan tajam serta keterlibatan para ahli yang tak hanya sangat faham nash-nash yang ada tentang kewajiban menunaikan zakat.

Ijtihad Besar

Selain terus mencari pengaturan yang seadil-adilnya bagi wajib zakat dan wajib pajak, ijtihad lainnya untuk Indonesia ialah usaha mengawinkan ketentuan-ketentuan imperatif zakat berdasarkan dalil naqli yang ada dengan urusan dan kewajiban negara dan pemerintah terhadap warga.

Indonesia didirikan dengan 5 tujuan utama, yakni menghapuskan segala bentuk penjajahan; melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut dalam usaha ketertiban dunia.  

Peta permasalahan bangsa lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam kompromi ini ialah titah-titah yang terdapat di dalam batang tubuh UUD 1945 (kewajiban memelihara fakir miskin  dan anak yatim, kewajiban memberi pekerjaan, kewajiban memberikan pendidikan dan lain-lain).

Dengan demikian, sejumlah perhatian penting untuk masalah ini setidaknya dapat dipetakan sementara sebagai berikut: pertama, hal-ihwal yang terkait dengan pembebasan warga negara dari berbagai bentuk penjajahan.

Kedua, hal-ihwal perlidungan warga negara dan pertahanan (kedaulatan). Ketiga, hal-ihwal terkait taraf kesejahteraan warga negara. Keempat, hal-ihwal terkait pencerdasan kehidupan warga negara.

Kelima, hal-ihwal khususnya terkait dengan nasib umat Islam di berbagai negara.

Memang, jika dirujuk kepada sejarah kolonial, tentulah urusan seperti ini tidak dikehendaki oleh penguasa karena dapat dinilai mengalter tugas dan kewibawaan semestinya dari pemerintahan.

Sebuah simulasi diberikan di bawah ini. Pada bulan FebruarI 2021 terdapat 7,48 juta angkatan kerja di daerah ini dengan 449.000 orang pengangguran. (https://sumatra.bisnis.com/read/20210528/534/1398923/pengangguran-di-sumut-capai-449000-orang-ini-yang-dilakukan-disnaker.) Dari jumlah itu sekitar 67 persen tentulah umat Islam (300,830 jiwa).

Jika semua penganggur itu diberi pekerjaan pada sektor pemerintahan dengan upah Rp 2.000.000 per bulan maka dana yang diperlukan ialah Rp 7,219,920,000,000 setiap tahun. Baznas melalui Gubernur perlu mencari rumus tentang pembagian beban bersama pemerintah Kabupaten dan Kota se-Sumatera Utara.

MUI secara nasional bersama semua ormas Islam dapat memberi fatwa bahwa pengadaan lapangan pekerjaan adalah tanggung jawab pemerintah, tanpa harus menanti investor dari berbagai negara dengan segala macam motif mencari keuntungan yang kerap pula berkedudukan sebaliknya, yakni outvestor.

Semua kekuatan kelembagaan Islam itu malah harus menantang pemerintah bahwa investor dan modal itu ada di sini, di Indonesia yang tak boleh “dijajah kembali” oleh siapa pun, selamanya.

Pekerjaan adalah martabat yang bukan saja untuk penyambung hidup hari demi hari. Karena itu orientasi ke hulu masalah perlu menjadi perhatian penting bagi Baznas.

Penutup

Masalah zakat tak terlepas dari sejarah, politik dan budaya yang dalam banyak tampilannya kerap sangat bertolak belakang dengan kaedah-kaedah jitu yang dikandungnya. Ijtihad besar sangat diperlukan.

Mungkin pandangan kontroversial berbagai pemerintahan soal agama di negerinya akan terus berlangsung ke depan (Few Research Centre, In 2018, Government Restrictions on Religion Reach Highest Level Globally in More Than a Decade).

Rivalitas agama yang tersamar dalam konten perjuangan politik selalu menjadi modus, baik dalam tataran global maupun lokal (E.J. Frettingham, 2019).

Dalam kondisis itulah kekuatan dan kewibawaan sosial politik umat melalui organisasi yang mereka miliki wajib berijtihad dan mencerahkan pemerintahan untuk tepat peran, fungsi dana rah kebijakannya. Mereka memiliki modalitas yang tak terbantahkan dalam mendirikan Indonesia merdeka.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan