Kongres Mengevaluasi Demokrasi

  • Bagikan

…upaya paling awal memisahkan agama dari pemerintah dan membayangkan domain sipil yang netral mungkin dilakukan di antara kaum Protestan di koloni-koloni Amerika Utara

Kongres mengevaluasi demokrasi. Kongres Umat Islam Sumatera Utara II (KUI II) 26-28 Agustus 2022 di Asrama Hajj Medan dengan tema “Menata Ulang Indonesia” memunculkan aneka perspektif tentang banyak hal yang menjadi pokok sorotan.

Karena itu sangat diperlukan kecermatan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan narasi yang mengemuka. Apalagi para narasumber tak selalu duduk dalam penjadwalan forum simultan satu meja, usaha untuk mengidentifikasi pokok pikiran mereka benar-benar memerlukan kehati-hatian.

Tulisan ini berusaha merangkum gagasan KUI II yang bertalian dengan demokrasi politik. Sebagian mengisyaratkan moderenisasi politik, yang lain memusatkan perhatian pada kompatibilitasnya, dan tak sedikit yang berfikir lebih radikal, memberlakukan kembali UUD 1945 yang asli.

Tidak ada pembicara yang secara verbal mengetengahkan moderenisasi politik meski esensi pembicaraan cukup riuh tentang ini. Diketahui moderenisasi itu selalu difahami sebagai sebuah proses linear dengan tanpa mengenal jalan pulang ke asal.

Selain itu karakteristiknya sendiri selalu memiliki permusuhan dengan keanekaragaman karakteristik lokal. Moderenisasi memang memiliki kecenderungan memandang sebelah mata  atas tradisi lokal, termasuk agama.

Dengan penekanan pada politik Eropa Barat dan Amerika Utara, Samuel P. Huntington (1966) yakin moderenisasi politik melibatkan rasionalisasi otoritas, diferensiasi, dan peningkatan partisipasi.

Rasionalisasi otoritas menempatkan pemerintah hanyalah produk manusia, bukan hadiah dari alam atau Tuhan, dan masyarakat yang tertata baik harus memiliki sumber sosial yang menentukan otoritas final. Kepatuhan atas hukum positif lebih diutamakan daripada kewajiban lainnya.

Rasionalisasi wewenang mengekspresikan kedaulatan eksternal negara-bangsa terhadap pengaruh transnasional. Juga kedaulatan internal pemerintah nasional terhadap kekuatan lokal dan regional. Karena itu integrasi nasional dan sentralisasi atau akumulasi kekuasaan dalam lembaga pembuat hukum nasional terus dipupuk.

Pengembangan struktur yang kompatibel dengan berbagai fungsi terdifferensiasi sejalan dengan berbagai kompetensi khusus. Dengan sendirinya semua relatif menjadi terpisah dari ranah politik. Organ otonom yang terspesialisasi dengan posisi dan skala lebih rendah, muncul untuk melaksanakan tugas-tugas baru itu.

Ini meniscayakan hirarki administratif menjadi lebih kompleks, dan diasumsikan lebih disiplin. Jabatan dan kekuasaan lebih banyak didistribusi melalui pencapaian (achievement) dibanding dengan klausul lain, hak-hak istimewa (ascribed) misalnya.

Peningkatan partisipasi yang diikuti pengembangan lembaga-lembaga politik baru seperti partai politik dan asosiasi kepentingan meniscayakan kompleksitas lain. Partisipasi lebih luas dalam politik diyakini meningkatkan kontrol rakyat atas pemerintah.

Otoritas yang dirasionalisasi, struktur yang berbeda, dan partisipasi massa dengan demikian membedakan politik moderen dari politik sebelumnya. KUI II memberi kesan pro dan kontra serius atas masalah-masalah ini, terutama ditinjau dari fiqh siasah.

Timothy Fitzgerald (2015) dalam Critical religion and critical research on religion: Religion and politics as modern fictions menegaskan upaya paling awal memisahkan agama dari pemerintah dan membayangkan domain sipil yang netral mungkin dilakukan di antara kaum Protestan di koloni-koloni Amerika Utara.

Seperti Roger Williams yang menolak negara-gereja Inggris yang tidak toleran dan teokrasi Puritan yang sama-sama tidak toleran. Dapat dibayangkan bagaimana resistensi KUI II terhadap data di atas, dan barangkali akan sangat terperangah sekiranya ada yang mengemukakan penegasan Timothy Fitzgerald berikut:

Pertama, dibaptis, mungkin dalam beberapa hal dianalogikan dengan menjadi warga negara, negara bangsa moderen, akta kelahiran dan paspor, yang memberikan identitas hukum, dan tanpanya seseorang tidak berarti apa-apa, bukan pribadi dan diasingkan ke api penyucian, atau dalam istilah hari ini, seorang pengungsi tanpa negara, dikutuk untuk penahanan tanpa batas waktu tanpa tuduhan atau proses hukum.

Kedua, wacana ini belum mati dan kini mengungkapkan dirinya dalam perilaku kebijakan luar negeri AS, dalam mengejar kepentingan perusahaan swasta, dan dalam bahasa dan pemikiran beberapa organisasi misionaris Protestan.

Bahkan dalam arti tertentu tetap ada di bawah selubung wacana ilmiah moderen.., karena model standar “sebuah agama” sering kali merupakan versi deistik dari “iman Kristen”.

Ketiga, agama dan politik sebagai abstraksi generik datang ke dunia pada momen sejarah yang sama di akhir abad ke-17. Meskipun telah dikonstruksikan secara retoris sebagai perbedaan yang esensial, di sepanjang poros berbagai binari atau biner (keduanya adalah agama atau politik, iman atau akal, roh atau materi), tidak dapat secara sah menjadi keduanya pada saat bersamaan.

Keempat, begitu penting memerhatikan perbedaan esensial antara “agama” dan “pemerintahan” atau masyarakat politik yang dibuat oleh William Penn (1680) dan John Locke (1689, 1690).

Wacana tentang politik adalah argumen yang berkelanjutan tentang perlunya domain pemerintahan yang secara tegas dipisahkan dari domain lain yang disebut agama. Kedua legislator dan penulis Bills of Rights ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap para Founding Fathers.

Pengaruh Locke khususnya disampaikan di Amerika Utara pada abad ke-18 melalui sumber-sumber berpengaruh seperti Cato’s Letters dan juga Commentaries on the Laws of England karya Sir William Blackstone.

Locke dan para pendukung pencerahannya memberikan pengertian “politik” yang paling kuat berkembang di dunia moderen, yaitu pemerintah yang mewakili dan melindungi kepentingan dan hak milik pribadi (laki-laki).

Kelima, ide-ide ini adalah tantangan bagi cita-cita Persemakmuran Kristen, tetapi telah lama menjadi ortodoksi liberal baru. Agama dan politik muncul dalam retorika moderen, tidak hanya sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi sebagai dua ranah berbeda yang ditentukan oleh fungsi, tujuan, dan atribut yang berbeda satu sama lain.

Keenam, dalam banyak contoh wacana yang lebih luas, agama dan politik adalah dua entitas terpisah, agama atau politik; tidak bisa keduanya. Jika agama dan politik bercampur, maka terjadilah reaksi kekerasan, dan negara sekuler yang cinta damai dan kedermawanannya yang murah hati harus mempertahankan diri melawan fanatik agama irasional yang mengacaukan dan mencampuradukkan apa yang harus dipisahkan.

Ketujuh, dalam wacana moderen, kodrat yang sebenarnya dikonstruksikan sebagai batin dan pribadi, berbeda dengan politik, yang bersifat luar dan publik. Salah satu tentang iman di dunia gaib, yang lain tentang pengetahuan di dunia ini.

Salah satu tentang supranatural dan yang lainnya tentang alam. Salah satu adalah metafisika, yang lain pertemuan empiris dengan dunia nyata.

Dalam teks-teks akademis dan populer, politik dan negara direpresentasikan sebagai pada dasarnya tentang dunia nyata dari hubungan kekuasaan, sedangkan agama (atau seharusnya) berkaitan dengan hal-hal selain kekuasaan.

Seperti dewa, keselamatan, pencerahan mistik, dunia leluhur, “spiritualitas” individu, tidak berbahaya dan dengan demikian menoleransi nostalgia untuk “tradisi”, dan nilai-nilai serta praktik kuno yang tidak menantang pasar.

Dalam tingkat penerimaan yang berbeda kedalaman tentang demokrasi itu, tidak banyak yang menyadari perkembangan buruk yang begitu mencemaskan sehingga keterandalannya untuk harapan umat manusia ke depan begitu kecil.

Manifesto yang diadopsi oleh Kongres Jeunesse Européenne Fédéraliste (JEF) di Berlin pada tahun 1977, dan diyakini sebagai penggunaan frase “defisit demokrasi” pertama yang tercatat menegaskan banyak hal negatif yang terjadi di Eropa (Andrzej Wielowieyski, 2008), meskipun fenomena yang sama bersifat universal dapat dikonfirmasi dari banyak ilmuan politik dunia.

Kongres JEF berminat menjembatani kesenjangan antara warga negara Uni Eropa (UE), dan UE dengan lembaga-lembaganya yang menderita defisit demokrasi itu melalui pengenalan praktik demokrasi baru konsultasi warga negara Eropa.

Pertama, masalah atau krisis legitimasi dalam konteks tatakelola UE yang tampak pada fakta kesenjangan demokrasi antara UE dan warganya yang semakin melebar karena kompleksitas yang melekat pada sistem pengambilan keputusannya, krisis legitimasi dalam konteks  transformasi pemerintahan,  defisit komunikasi, menonjolnya defisit kepercayaan dan keterlibatan UE pada warganya.

Kedua, upaya mempersempit kesenjangan antara UE dan warganya adalah melalui penekanan reformasi kelembagaan, reformasi dalam praktik konsultasi, pengembangan kewarganegaraan, dan transformasi kebijakan komunikasi negara-negara anggota dan mendorong munculnya eksperimen partisipatif di tingkat UE.

Ketiga, memberdayakan warga negara UE melalui praktik demokrasi baru. Dalam kondisi partisipasi efektif semua warga negara adalah pengembangan Ruang Publik Eropa, seperti disarankan Jürgen Habermas.

Dirasakan bahwa warga negara UE kurang memiliki rasa pemberdayaan. Berbeda dengan politik nasional mereka merasa bahwa mereka memiliki pengaruh yang kecil terhadap kebijakan UE. Sangat penting untuk mengembangkan perasaan berada di jantung kebijakan UE dan ikut memimpin proses integrasinya di antara warga negara Eropa.

Orang-orang KUI II bertekad memengaruhi kekuasaan politik. Tetapi jelas KUI II bukanlah jembatan emas instan. Jika ada semangat yang terpacu dari KUI II, itu tak berarti pekerjaan yang amat berat serta-merta akan lebih mudah, termasuk ketika berpikir untuk berusaha kembali ke UUD 1945 yang asli.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan