Manajemen Sufi Untuk Kesalehan Profesional

  • Bagikan

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma” (HR. Turmizi)

Prinsip manajemen sufistik dalam dunia kerja untuk meraih kesholehan profesional adalah dengan menyadari bahwa kerja adalah ibadah dan ibadah menjelma dalam bentuk kerja, bekerja bersama Allah secara kreatif, menyadari adanya pengawasan Allah SWT, dengan mengedepankan ilmu, pengalaman dan kearifan.

Ada beberapa manajemen sufi untuk meraih kesholehan profesional itu yang meliputi: Pertama, ash-Sholah (melakukan yang terbaik dan bermanfaat). Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. al-An’am [6]: 132).

Kedua, al-Itqan (kemantapan atau perfectness). Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Allah SWT, kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami. Rahmat Allah SWT telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, mencapai standar ideal secara teknis.

Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat.

Karena itu, melepas atau menelantarkan keterampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada hasil yang banyak namun kurang bermutu.

Ketiga, al-Ihsan (melakukan yang terbaik atau lebih baik lagi). Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yakni: Ihsan berarti “yang terbaik” dari yang dapat dilakukan.

Di sini pengertian ihsan sama dengan itqan. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan. Ihsan berarti “lebih baik” dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya.

Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin.

Keharusan berbuat yang lebih baik lagi juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain, bahkan idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik ketika membalas keburukan orang lain, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS.Ar-Rahman: 60).

Bekerja secara ihsan berarti melakukan seluruh tugas yang dibebankan dengan sungguh-sungguh hingga melampaui keharusannya atau mencapai hasil paling sempurna (sebagai ciri dari sifat ketuhanan) artinya tidak asal-asalan. Karena ketidaksempurnaan seseorang dalam melakukan tugas atas apa yang dibebankan menunjukkan butanya mata hati yang berimplikasi pada kegagalan.

Keempat, al-Mujahadah (kerja keras, kerja cerdas dan optimal). Dalam banyak ayatnya, al-Quran meletakkan kualitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. al-Maidah: 35).

Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti didefinisikan oleh para ulama adalah “istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya.

Sebab, sesungguhnya Allah SWT. telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum taskhir, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (QS. Ibrahim: 32 -33).

Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan hasil akhirnya pada keputusan Allah SWT (QS. Ali-Imran: 159, QS. Hud: 133).

Kelima, Tanafus dan Ta’awun (kompetisi dan tolong-menolong). Al-Quran dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shaleh. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Quran yang bersifat “amar” atau perintah.

Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan, QS. al-Baqarah: 108). Begitupula perintah “wasari’u ilaa maghfiratin min Rabbikum wajannah” Jalannya adalah melalui kekuatan infak, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (QS. ali-Imran: 133 – 135).

Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan syurga, tempat segala kenikmatan (QS. al-Muthaffifin: 22 – 26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (QS. al-Hujurat: 13).

Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan yang sehat dalam kualitas kerja. Keenam, Mencermati nilai waktu. Jika kita lihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khattab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid:

“Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.”

Saat ini waktu dan masa saling berdekatan (yataqaarabuzzaman), waktu yang berlalu terasa begitu singkat, apalagi tidak diisi dengan kebaikan, hidup menjadi semakin jauh dari keberkahan, banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa aktivitas ibadah yang bermanfaat.

Padahal waktu semakin dekat menuju pintu-pintu gerbang kematian, inilah orang yang paling merugi dalam perjalanan waktu hidupnya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3).

Perjalanan waktu terasa singkat, dari waktu ke waktu hampir tiada terasa, ini kah tanda akhir zaman? Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma” (HR. Turmizi). Semoga Allah SWT menjadikan kita kaum profesional yang senantiasa hidup bersama Allah SWT. WASPADA

Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU Medan

  • Bagikan