Menakar Efektivitas Sidang Online

  • Bagikan

Pada dasarnya pembuatan PERMA khusus terkait sidang pidana online tidak sepenuhnya dapat
menjawab kekosongan hukum acara yang ada

Menakar efektivitas sidang online. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada akhir tahun 2019 lalu membawa dampak besar bagi dunia. Covid-19 ini telah memakan banyak korban di sejumlah negara tak terkecuali Indonesia yang memiliki jumlah korban terinfeksi dan meninggal terbanyak di Asia Tenggara.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2020) Virus Covid-19 menular salah satunya melalui droplet orang yang terinfeksi. Pastinya Covid-19 dan segala ikutannya telah menimbulkan hambatan di sejumlah aktivitas yang bersifat tatap muka, termasuk dalam penegakan hukum di Indonesia.

Selama ini proses persidangan pidana dilakukan dihadiri para pihak hadir secara langsung seperti ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saat KUHAP diundangkan, KUHAP dinyatakan sebagai “karya agung”.

Karena merupakan suatu unifikasi hukum yang diniatkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan keseimbangannya dengan kepentingan umum (Umi Falsafah, dkk, 2016).

Pandemi Covid-19 ini telah mengganggu penerapan norma KUHAP mengingat pengadilan adalah tempat orang berperkara datang-bertatap muka untuk menyelesaikan konflik-sengketa masalahnya dan mencari keadilan.

Selain itu, untuk perkara pidana para terdakwa yang ditahan dalam rumah tahanan (Rutan) perlu datang ke persidangannya secara langsung.

Tentu keadaan itu dapat menjadikan pengadilan sebagai tempat yang berpotensi memicu persebaran Covid-19. Bahkan juga dapat memicu persebaran dari tahanan kepada tahanan lainnya di dalam Rutan ataupun Lembaga Permasyarakatan (Lapas).

Atau pun persinggungan tatap muka antara sesama aparat penegak hukum juga berpotensi menularkan Covid-19.

Untuk mengatasi hal tersebut, lembaga penegak hukum pada awalnya telah mengeluarkan berbagai macam surat edaran untuk memutus mata rantai penularan virus Covid-19 di lingkungan instansinya masing-masing.

Lembaga penegak juga berbenah untuk menutup ruang terjadinya potensi stagnasi proses persidangan di pengadilan.

Bahkan tahun 2020 karena pandemi Covid-19 belum mereda, pimpinan MA, Kejagung dan Kemenkumham membuat Momerandum of Understanding (MoU) tertuang dalam perjanjian kerjasama antara MARI, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham Nomor 402/DJU/H.01.1/4/2020, Nomor KEP-17/E/Ejp/04/2020, Nomor PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference.

Kehadiran MoU ini membawa banyak perubahan dalam proses hukum acara persidangan yang ada di pengadilan. Proses persidangan yang semula dilakukan secara langsung/tatap muka di ruang sidang pengadilan diubah bentuknya menjadi secara elektronik-online.

Perubahan yang cukup signifikan persidangan pidana di masa pandemi Covid-19 adalah antara hakim, jaksa, advokat, terdakwa maupun saksi jika tidak memungkinkan untuk hadir di sidang pengadilan dapat melaksanakan sidang dari tempatnya masing-masing. Proses persidangannya pun didukung oleh alat-alat dan aplikasi penunjang teleconference, seperti aplikasi Zoom.

Sebenarnya dalam sejarah peradilan pidana pemeriksaan saksi secara teleconference pertama kali dilakukan pada tahun 2002. Saat itu, MA memberi izin kepada mantan Presiden BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung.

Pemeriksaan saksi via teleconference itu adalah momentum sejarah dalam persidangan pidana dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sarana pembuktian dan penegakan hukum.

Khairi (2021) mencatat secara faktual pada sidang online, penggunaan teleconference tidak hanya pada saat agenda keterangan saksi, tapi meliputi persidangan agenda lainnya, -dari awal sampai akhir persidangan-. Tentu ini menimbulkan problematika jika merujuk Pasal 154 dan Pasal 196 KUHAP yang mewajibkan terdakwa hadir.

Selain Terdakwa, KUHAP juga memberi mandat komponen persidangan lainnya seperti saksi dan ahli untuk hadir di sidang pengadilan. Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan diatur dalam KUHAP. Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Pasal 230 KUHAP menyebut secara detail sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang dengan hakim, penuntut umum, penasihat hukum, dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atributnya masing-masing.

Karena itu, pada dasarnya hukum acara pidana mensyaratkan kehadiran secara fisik dari masing-masing pihak di pengadilan. MA memang telah mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

PERMA ini mengisyaratkan adanya pergeseran domisili hukum menjadi domisili elektronik maupun pergeseran yurisdiksi. Akan tetapi, PERMA itu juga tidak mengharuskan persidangan dilaksanakan secara elektronik, tetapi sebatas memberi landasan hukum dan pedoman kapan persidangan dapat dilaksanakan secara elektronik beserta tata caranya.

Pembuatan PERMA ini harusnya juga tetap memperhatikan ketentuan Pasal 3 KUHAP dan asas-asas yang ada dalam KUHAP. Pasal 3 adalah pagar pembatas yang kukuh sebagai “asas legalitas’ berlakunya penerapan KUHAP. Karena itu pada dasarnya pembuatan PERMA khusus terkait sidang pidana online tidak sepenuhnya dapat menjawab kekosongan hukum acara yang ada.

Bagi Luhut MP Pangaribuan (2020) penggunaan teknologi teleconference dalam sidang pengadilan untuk masa depan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi penerapan sidang perkara pidana secara online secara tergesa-gesa dapat mengurangi (mengenyampingkan) ketentuan hukum acara pidana, khususnya standar pembuktian.

Sebab itu jika persidangan pidana secara online terus digelar bakal mengganggu prinsip fair trial (peradilan jujur dan adil). Sebab, jika infrastruktur untuk mendukung peradilan online yang kurang memadai potensial mengurangi keabsahan proses pembuktian.

Kajian HC Wangka (2021) menyatakan masalah utama dalam pelaksanaan sidang online pidana adalah berkaitan dengan (1) Adanya kendala sinyal sehingga dapat mengganggu kelancaran pemeriksaan perkara dan penggalian fakta di sidang;

(2) Sarana-prasarana untuk mendukung persidangan antara di Pengadilan, LAPAS, Kepolisian Resor (Polres), Kepolisian Sektor (Polsek) dan Kejaksaaan tidak sama sehingga kualitas gambar dan suara tidak sesuai;

(3) Keaktifan hakim dalam memeriksa melalui prosedur lisan (Mondelinge Procedure) berkurang; (4) Penasihat hukum tidak dapat secara leluasa memberikan bantuan hukum pada terdakwa; (5) Hak terdakwa dalam sidang berkurang, dan (6) Terdapat perbedaan dengan KUHAP.

ST Burhannudin (2021) Jaksa Agung RI mengusulkan untuk mengkaji pelaksanaan persidangan online karena dinilai kurang aktif dalam hal pembuktian (https://katadata.co.id/, 3/9/2021).

Karena begitu banyak hambatan yang terjadi selama proses daring (virtual online) tersebut berakibat pada penggalian atas fakta di muka persidangan tidak dapat berjalan secara maksimal. Bagi Herman Sitompul (2021) keberadaan PERMA Sidang Pidana Online tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena PERMA tersebut bertentangan dengan KUHAP.

Bentuk persidangan pidana secara elektronik seperti pisau bermata dua karena dapat mencegah penularan virus dan sebagai suatu terobosan hukum acara pidana. Tetapi adanya inkonsistensi hukum acara yang berlaku dapat membuat sulit dicapainya tujuan hukum yaitu untuk mencari dan mendapatkan (minimal mendekati) kebenaran materiil (Didik Endro Purwoleksono, 2015).

Daftar ragam masalah sidang online berpengaruh pada kualitas pemeriksaan dan pembelaan terdakwa dalam proses persidangan. Pasal 181 KUHAP pada prinsipnya menyebutkan majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti. Sedangkan beberapa persidangan saat ini barang bukti hanya diperlihatkan melalui virtual. Tidak terpenuhinya hal ini dalam sidang secara online, dapat mengurangi objektivitas hakim dalam memutus perkara.

Temuan HC Wangka (2021) menyatakan sidang online perkara pidana dinilai “kurang efektif”. Masalah utamanya adalah sidang di masa Covid-19 harus tetap berjalan guna merespons kegelisahan para pencari keadilan, sebab begitu banyak terdakwa yang terikat masa penahanan.

Namun pada penerapannya banyak menemui kendala karena untuk infrastruktur penunjang sidang online perkara pidana masih kurang hingga membuat sidang tidak berjalan baik. Ketika Covid-19 mereda tentu proses sidang online sudah harus dinormalkan agar sakralitas prosesi sidang kembali menemukan ‘ruh”nya.

Penulis adalah Founder Ethics Care, Anggota KY 2015-2020, dan Dosen UMSU.

  • Bagikan