Pilih-Kasih Tersangka Wanita Beranak

  • Bagikan

Tentulah ironi jikalau penangguhan penahanan terhadap wanita beranak diperuntukkan secara tebang pilih. Menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen Pas) saat ini 63 bayi di Lapas dan Rutan tinggal bersama ibunya

Pilih-kasih tersangka wanita beranak. Fenomena tidak ditahannya istri Ferdy Sambo (Putri Chandrawati) eks Kadiv Propam yang merupakan tersangka atas dugaan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menuai polemik ‘pilih-kasih’ di tengah masyarakat.

Bagaimana tidak, alasan peniadaan penahanan terhadap PC yang juga berstatus tersangka dikarenakan alasan kemanusiaan, akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait alasan kemanusiaan itu.

Alasan kemanusiaan sebagai bagian dari tidak ditahannya tersangka wanita yang memiliki anak apalagi salah satu isu yang berkembang karena yang bersangkutan memiliki anak berusia 1,5 tahun sehingga direkomendasikan tidak ditahan.

Bahkan dianggap sebagai terobosan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Maka tak heran jika sebagian masyarakat menuding sebagai upaya ‘pilih-kasih’ terhadap tersangka wanita beranak lainnya.

Sebab bilapun alasan tidak ditahannya yang bersangkutan karena alasan memiliki anak yang masih kecil, tidak berlaku untuk tersangka wanita beranak lainnya seperti Baiq Nuril, Vanessa Angel, Angelina Sondakh dll.

Sebenarnya dalam hukum acara pidana dikenal adanya asas setiap orang baik tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum atau equality before the law, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan mendapatkan perlakuan pelindungan yang sama atau equal protection on the law dalam rangka mendapatkan perlakuan adil yang setara.

Sehingga jikalau ada anggapan bahwa tidak ditahannya wanita yang beranak karena alasan kemanusian maka hendaknya diperlakukan serupa terhadap tersangka atau terdakwa wanita beranak lainnya tanpa terkecuali. Hanya saja apa yang kita harapkan bersama belum tentu dapat terwujud nyata.

Penahanan terhadap tersangka adalah salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang.. Dalam penahanan terdapat pertentangan antara dua asas.

Yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.

Untuk itu aparat penegak hukum tidak boleh ‘gegabah’ dalam menahan seseorang, sebab jikalau orang tersebut dinyatakan tidak bersalah maka yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan ganti kerugian berupa uang sebagai akibat pengekangan kebebasan itu.

Menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan dasar bagi diperkenankan suatu penahanan terhadap seseorang harus ada dasar menurut hukum dan dasar menurut keperluan.

Dasar menurut hukum adalah harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan bahwa ancaman pidana terhadap tindak pidana itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana-tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.

Dasar menurut hukum saja tentulah tidak cukup untuk menahan seseorang sebab di samping itu harus ada dasar hukum menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau merusak/menghilangkan bukti, atau akan mengulangi tindak pidana.

Sifat dari alasan menurut keperluan adalah alternative yakni cukup terpenuhi salah satu alasan keperluan saja. Menurut Hari Sasangka sebenarnya dalam praktik alasan menurut keperluan tidak hanya terbatas sebagaimana tersebut di atas saja.

Alasan penahanan menurut keperluan misalnya sangat dibutuhkan terhadap : (a) Seorang tersangka yang tidak mempunyai tempat tinggal tidak tetap (T-4). (b) Seorang tersangka telah mengancam seorang saksi.

Adapun mengenai alasan penahanan dalam berbagai literatur sering dibagi menjadi dua bagian, yakni : Pertama, alasan objektif. Disebutkan sebagai alasan objektif karena undang-undang sendiri yang menentukan tindak pidana mana yang akan dikenakan penahanan. Yang termasuk alasan objektif adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Yaitu: – Perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 331 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 huruf a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP.

Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Kedua, alasan subjektif. Adalah alasan yang muncul dari penilaian subjektif pejabat yang menitikberatkan pada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri. Adapun yang termasuk alasan subjektif ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu :

(1) Adanya dugaan keras bahwa tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; (2) Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka terdakwa akan melarikan diri; dan (3) Adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Perintah penahanan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (2 alat bukti yang sah).

Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan meiarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Tentulah ironi jikalau penangguhan penahanan terhadap wanita beranak diperuntukkan secara tebang pilih. Menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen Pas) saat ini 63 bayi di Lapas dan Rutan tinggal bersama ibunya.

Hal ini sesuai UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang memperbolehkan anak tinggal bersama ibunya paling lama sampai berusia tiga tahun.

Meskipun begitu, tentulah aturan tersebut harus dicermati lebih jauh dengan mengutamakan kepentingan si anak.

Jangan sampai tujuan untuk mendekatkan si anak dengan ibunya di lapas mempengaruhi kondisi psikologis si anak karena berada di dalam lapas.

Tidak ditahannya PC sebagai tersangka atas dugaan pembunuhan tersebut, tentu melanggar alasan objektif penahanan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, karena tuduhan tindak pidananya dijatuhi sanksi lebih dari lima tahun penjara.

Aroma ‘diskriminatif’ pun muncul seirama dengan tindakan aparat yang tidak melakukan penahanan padahal dalam perkara tindak pidana yang melibatkan wanita beranak toh juga ditahan. Sejarah akan mencatat perlakuan ‘pilih-kasih’ ini jikalau masih tetap berlanjut.

Mungkin saja hari ini untuk mantan istri petinggi propam, lalu selanjutnya untuk siapa lagi?. Sekalipun begitu, kita juga harus mengedepankan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) terhadap para tersangka sebelum dijatuhinya hukuman oleh hakim.

Penulis adalah Dosen Fak. Hukum USU.

  • Bagikan