Remisi Hadiah Untuk Koruptor

  • Bagikan
<strong>Remisi Hadiah Untuk Koruptor</strong>

Oleh Putri Rumondang Siagian, SH., M.H

Tidak ada kewajiban bagi pemerintah memberikan remisi bagi koruptor. Malah sebaliknya, koruptor harusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal biasa

Remisi hadiah untuk koruptor. Sifat tindak pidana korupsi yang sistemik, endemik yang berdampak sangat luas (systematic dan widespread) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas, membuat korupsi dikenal sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga upaya penindakannya harus secara luar biasa juga.

Penjatuhan sanksi penjara dinilai tak lagi menimbulkan efek jera kecuali jika dijatuhi penjara seumur hidup. Namun jangankan mengharapkan penerapan penjara seumur hidup, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi saja sudah banyak yang ‘didiskon’.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2020, setidaknya ada 14 terpidana korupsi yang mendapatkan pemotongan hukuman oleh MA pada tingkat peninjauan kembali. Tak hanya sampai disitu, pengurangan (remisi) dan pembebasan bersyarat terhadap narapidana koruptor pun diperbolehkan.

Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk para koruptor sungguh memilukan dan mencederai rasa keadilan. Perbuatan ini dipertunjukkan dengan terjadinya fenomena pembebasan bersyarat kepada 23 mantan narapidana korupsi yang hilir-mudik di media massa awal September.

Sebut saja salah satunya adalah Pinangki, terpidana kasus suap bersama Djoko Tjandra yang menuai sorotan karena hukuman yang dipangkas dari yang awalnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara, lagi-lagi menggemparkan jagat raya sebab awal September lalu telah mendapatkan pembebasan bersyarat dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Narapidana korupsi yang bebas bersyarat lainnya yakni mantan Gubernur Banten Ratu Atut Cho siyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, lalu mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadarma Ali, hingga dua terpidana kasus korupsi e-KTP.

Tak pelak pembebasan bersyarakat terhadap narapidana koruptor menimbulkan tanda tanya, sudahkah kita bersungguh-sungguh ingin memberantas korupsi? Masihkah korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa)? Lantas mengapa terhadap narapidananya diperlakukan serupa dengan pelaku tindak pidana lainnya?.

Jika ditelusuri lebih jauh, pemberian remisi terhadap narapidana korupsi sebelumnya telah dipersulit melalui Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 

Dalam PP itu ditegaskan setiap narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) apabila telah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 34 yakni berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Khusus untuk narapidana korupsi juga harus memenuhi Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b PP No. 99 Tahun 2012.

Yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi. Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi maka barulah narapidana korupsi bisa mendapatkan remisi.

Namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Agung secara mengejutkan melalui putusannya No. 28 P/HUM/2021 mencabut ketentuan terkait penegasan syarat pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan dasar pertimbangan; pertama, bahwa eksistensi dari PP No. 99 Tahun 2012 harus sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).

Kedua, hak mendapatkan remisi diberikan kepada warga binaan tanpa terkecuali (kecuali dicabut pengadilan) guna mewujudkan asas equality before the law dan persyaratan remisi tidak boleh diskriminatif.

Ketiga, pemberian remisi harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas. Keempat, syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi seharusnya dikonstruksikan sebagai bentuk reward dengan pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan.

Kelima, pemberian remisi merupakan otoritas penuh lapas yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Pemberian remisi memang hak lapas Tapi apakah ada jaminan bahwa pemberian remisi tidak akan disalahgunakan? Siapa yang bisa mengontrol pemberian remisi itu?

Tampaknya pemerintah melalui Kemenkumham merespons atas putusan mahkamag agung di atas, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Ham (Permenkumham) No. 7 Tahun 2022 yang salah satu unsur terpenting adalah pengahapusan Syarat Justice Collaborator narapidana korupsi.

Melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2011 dijelaskan bahwa justice collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Penghapusan JC ini dituding akan berdampak pemberantasan korupsi akan sulit diberantas hingga ke akarnya.

Kebijakan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat ini membuat publik semakin ragu atas semangat pemberantasan korupsi. Lihat saja pada Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang memuat dengan tegas bahwa remisi menjadi hak narapidana tanpa terkecuali setelah memenuhi persyaratan tertentu. Jelas lah jika pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu hadiah untuk para koruptor.

Tetapi pertanyaannya, walaupun pemberian remisi dibenarkan, apakah remisi wajib diberikan? Jawabannya tidak! Tidak ada kewajiban bagi pemerintah memberikan remisi bagi koruptor. Malah sebaliknya, koruptor harusnya tidak perlu mendapatkan remisi. Koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal biasa.

ICW mencatat rata-rata vonis yang diberikan oleh para koruptor hanya tiga tahun. Hal itu didapat dari data yang diperoleh selama kurun waktu Januari-Juni 2020 atau satu semester. Perhitungan remisi dapat dihitung secara ekonomis oleh koruptor, dan dibandingkan dengan jumlah korupsi yang telah dilakukan, akan membuat terpidana korupsi secara tenang menikmati masa tahanannya karena mengetahui adanya suatu percepatan yang dapat diterimanya.

Perhitungan uang hasil korupsi dibandingkan dengan kerugian selama mendekam dalam masa tahanan tetap saja memberikan keuntungan. Belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan dewasa ini yang memanjakan terpidana korupsi dengan fasilitas hotel berbintang. Maka tidaklah heran bilamana publik meragukan niatan pemberantasan korupsi ini.

Tindak pidana korupsi adalah permasalahan terbesar negara Indonesia yang mungkin tidak akan pernah ada habisnya. Sehingga melalui syarat-syarat pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi hendaknya diperketat bukan malah diobral. Perihal inkonsistensi sikap MA selaku tempat bernaungnya para ‘wakil tuhan’ di bumi membuat kita bertanya apakah kita sudah cukup serius memberantas tindak pidana korupsi, lantas mengapa tak kunjung memberikan efek jera terhadap pelaku?

Apakah upaya ‘murah hati’ aparat penegak hukum kepada pelaku tindak pidana korupsi menjadikan ‘hilangnya’ kesan korupsi sebagai tindak pidana luar biasa yang mestinya ditindak secara luar biasa pula. Begitu juga terkait alasan kelakuan baik selama berada di penjara tidak dapat digunakan untuk memberikan remisi. Betapapun para koruptor memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara, alasan tersebut tidak dapat menghapus kejahatan korupsi yang telah dilakukannya.

Menghukum koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara. Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera apabila berbagai kemudahan terus diberikan.

Penulis adalah Dosen Fak. Hukum USU.

Penulis: Oleh Putri Rumondang Siagian, SH., M.H
  • Bagikan