Runtuhnya Kemuliaan Wakil Tuhan

  • Bagikan

Peristiwa hukum Hakim Agung sebagai tersangka korupsi adalah menjadi momentum segera melakukan pembenahan konkret di tubuh MA. Kehadiran KY sebagai “state auxiliary body” harusnya memperkuat lembaga yudikatif menjadi benar-benar merdeka, kuat, bersih dan profesional

Runtuhnya Kemuliaan “Wakil Tuhan”. Publik cukup terkejut Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung, SD sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). SD menjadi Hakim Agung pertama yang terjerat kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh KPK.

Ia ditetapkan tersangka bersama sembilan orang lainnya, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara, dan pihak swasta (Kompas.com, 23/9/2022). Memang baru kali ini KPK melakukan OTT terhadap hakim agung. Kejadian ini adalah torehan sejarah baru. 

Ini peristiwa runtuhnya peradilan hukum di Indonesia, seorang Hakim Agung di MA sebagai garda terakhir peradilan di Indonesia yang memiliki jabatan tertinggi ini bisa melakukan pelanggaran hukum. Apakah ini pertanda sempurnanya kehancuran martabat hukum di negara ini?

Sebelum kasus ini, KPK belum pernah berhasil menjerat Hakim Agung di MA terkait kasus dugaan korupsi. KPK hanya pernah menjerat mantan Sekretaris MA, Nurhadi Abdurrachman terkait suap dan gratifikasi penanganan perkara. Nurhadi menjadi tersangka bersama menantunya, Rezky Herbiyono. Tak tanggung-tanggung Nurhadi dan Rezky dinyatakan menerima suap sebesar Rp35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.

Tidak hanya itu, KPK juga masih melakukan penyidikan terhadap Nurhadi terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pengurusan perkara di MA tersebut. Jika merujuk pada data yang dikeluarkan KPK jumlah hakim yang melakukan tindak pidana korupsi (2010-Juli 2022) di lingkungan MA dan lembaga peradilan yang di bawahnya adalah sebanyak 23 orang belum termasuk Hakim Agung SD dan hakim yudisial di MA (databoks, 27/09/20220).

Angka tersebut di luar hakim yang diberhentikan karena tersangkut isu penyuapan atau gratifikasi dalam penanganan perkara melalui mekanisme Majelis Kehormatan Hakim (MKH) oleh MA-KY.

KPK memang pernah menetapkan hakim di luar lingkungan MA sebagai tersangka. Namun saat itu adalah hakim konstitusi. Mereka adalah hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM). Patrialis Akbar terjerat kasus suap judicial review di MK. Akil Mochtar terjerat kasus suap dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di MK (detik.com, 22/9/2022). 

Bagi Imam Wahyudi (2022) tindak pidana yang melibatkan petinggi MK dan MA, bagai memupus harapan bagi pencari keadilan. Mengingkari semangat Trias Politica-nya Montesquieu. Sejatinya, kedua lembaga itu berperan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan undang-undang.

Merespons kejadian penangkapan hakim agung tersebut, KPK menyatakan aparat penegak hukum semestinya menjadi pilar keadilan bagi bangsa-negara. Hanya saja mereka menukarnya dengan uang. Sepatutnya berharap operasi penangkapan terhadap insan hukum ini menjadi yang terakhir?

Masihkah Wakil Tuhan?

Tragedi peradilan yang menyeret Hakim Agung di Mahkamah Agung, menguatkan berlangsungnya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Masalahnya, para penegak hukum itu bukan orang biasa, melainkan wakil Tuhan di dunia. Apalagi seorang hakim agung di Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir keadilan.

Katanya, hakim adalah “wakil Tuhan”. Setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman). Tanpa irah-irah tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa: non-executable.

Artinya, hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekadar bertanggungjawab pada hukum, pada dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan, tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan. Sang pencipta dan pemilik hukum. Hakim hakikatnya hanyalah kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah hukum.

Hakim adalah profesi yang mulia (officium nobile). Di sisi lain, hakim adalah profesi yang sangat berisiko. Saking mulianya, hanya hakim yang berhak mendapat gelar “Yang Mulia”. Tidak ada pejabat lain yang berhak, bahkan presiden sekali pun. Saking berisikonya, Nabi Muhammad SAW menegaskan ada tiga tipikal hakim.

Dari ketiganya, dua masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, serta memutus dengan kebenaran. Lalu, dua tipe hakim tersisa, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran, namun tidak memutus dengan kebenaran dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutus dengan ketidak-benaran itu, maka nerakalah yang siap menampung mereka.

Hakim adalah kawal terakhir penegakan hukum. Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: fiat justicia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh). Ini kodrat hakim! (Ahmad Z. Anam, 2015).

Sejatinya perilaku hakim dipandu Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). KEPPH terbit berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara MA dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang KEPPH. SKB tersebut adalah wujud paduan perjuangan MA-KY menuju peradilan yang merdeka dan imparsial.

Terkait lembaga pengawasan hakim, ada dua bentuk pengawasan. Pertama, pengawasan internal oleh MA, diperankan oleh Badan Pengawasan (Bawas). Pengawasan internal ini diatur oleh Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Kedua, Pengawasan Eksternal oleh KY.

Hal ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 jo Pasal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY. Tidak hanya itu, selain kedua bentuk pengawasan tersebut, tentu masih ada pengawasan yang tidak melekat. Seperti pengawasan oleh publik-media, atau pantauan lembaga penegak hukum lainnya, misalnya KPK.

Panduan perilaku hakim telah ada dan lembaga pengawas juga telah tersedia, tetapi perilaku koruptif tak kunjung berhenti? Jika semua aspek sudah lengkap, lantas upaya apalagi yang dapat ditempuh untuk memberangus tindakan-tindakan koruptif hakim yang mulia? Apa tindakan cepat dan terukur agar jangan sampai runtuhnya kemuliaan wakil Tuhan agar tak semakin sempurna?

Peristiwa hukum Hakim Agung sebagai tersangka korupsi adalah menjadi momentum untuk segera melakukan pembenahan konkret di tubuh MA. Kehadiran KY sebagai “state auxiliary body” harusnya memperkuat lembaga yudikatif menjadi benar-benar merdeka, kuat, bersih dan profesional.

Rekomendasi sanksi KY sepatutnya bersifat eksekutorial. KY pun harus diperkuat. Akuntabilitas dan transparansi harus didudukkan sebagai penyeimbang independensi. Selain itu, profesionalisme hakim saja tidak cukup, sebab ada sisi yang harus dijaga yaitu integritas.

Formula reformasi hukum di lembaga peradilan semakin mendesak termasuk menerapkan konsep shared responsibility (beban pembagian tanggung jawab) untuk mendorong akuntabilitas peradilan.

Begitu pun, sembari menunggu proses tersebut berlangsung perlu pula meresapi makna, Istafti qalbak, al-birr maa ithma’anna ilayhi al-nafs wa athma’anna ilayhi al-qalb wa al-itsmumaa haaka fi al-nafs wa taraddad fi al-shuduur/”Mintalah fatwa pada nuranimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah” (HR. Ahmad dan al-Darimi).

 Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota KY 2015-2020, Dosen UMSU.

  • Bagikan