Skenario Energi Terbarukan Aceh

  • Bagikan

Kalau tergantung teknologi asing, kita tidak dapat berkembang secara mandiri. Ketergantungan kepada teknologi asing malah akan menyedot devisa negara. Sehingga jika kita memiliki teknologi sendiri bersifat lokal kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut lebih leluasa…

Skenario energi terbarukan Aceh. Dalam hal kebijakan energi, Aceh setidaknya sedikit lebih maju ke depan. Aceh telah memiliki Qanun tentang energi, yaitu Qanun no. 4 tahun 2019.

Qanun (atau Perda untuk daerah provinsi lain di Indonesia) ini mengatur dengan sistematis tentang penjaminan ketahanan energi Aceh. Di dalamnya berisikan arah kebijakan pengelolaan energi dan pengembangannya ke depan.

Ini suatu langkah maju dibandingkan dengan daerah lain yang baru beberapa provinsi saja yang memiliki Perda tentang energi.

Hal ini menjadi penting karena Indonesia sudah bersiap menghadapi isu global di bidang energi. Terutama dalam hal transisi energi dari penggunaan energi fosil ke implementasi energi baru dan terbarukan (EBT).

Indonesia telah merancang transisi energi dari energi fosil ke penggunaan EBT dengan tahapan-tahapan bauran energi primer hingga mencapai pemakaian EBT sepenuhnya pada tahun 2060.

Yaitu tahun 2025 Indonesia merancang penggunaan EBT sebesar 23% dalam bauran energi primer dan kemudian 31,5% EBT pada tahun 2050.

Aceh juga telah mencanangkan target bauran energi primer level daerah dengan angka bauran yang lebih tinggi dibandingkan dengan target nasional. Hal ini menunjukkan pemerintahan Aceh cukup percaya diri akan kemampuan implementasi EBT di wilayahnya.

Dalam Qanun tahun 2019 itu disebutkan juga target EBT Aceh untuk tahun 2025 sebesar 25,5% dan 41,3% pada tahun 2050. Suatu target yang cukup optimistis, dan menjadi tantangan besar untuk dapat diwujudkan.

Bagaimana sebenarnya posisi EBT di Aceh? Secara potensial Aceh memiliki cadangan EBT yang cukup melimpah. Keanekaragaman jenis EBT juga tinggi, mulai dari energi matahari, angin, air, biomassa dan panasbumi. Potensi maksimalnya mencapai 23GW.

Namun, faktanya kelimpahan cadangan EBT ini belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam implementasinya.

PLTA yang aktif sekarang baru mencapai 88MW, itupun sedang dalam tahap pengerjaan yang dijadwal beroperasi tahun 2023.

Energi angin dan matahari dapat dikatakan belum beroperasi sama sekali. PLTP juga sama, walau sudah sejak lama ditemukan sumber panasbumi yang besar di beberapa tempat, seperti Seulawah, Jaboi, dan dataran tinggi Gayo.

Eksplorasi dan eksploitasi EBT Aceh sudah saatnya mulai digerakkan. Dirasakan sangat perlu suatu Badan khusus yang mengelola sektor ini.

Pemerintah Aceh perlu membentuk sebuah task-force yang profesional dan bergerak cepat, menyusun road-map implementasi EBT Aceh yang nyata.

Tugasnya adalah sebagai kepanjangan tangan pemerintah Aceh dalam mengelola implementasi EBT Aceh dari A sampai Z.

Artinya lembaga ini berada di bawah kendali Gubernur Aceh dan bekerja secara profesional dalam menyusun rencana pengembangan EBT Aceh dan implementasinya.

Bidang-bidang tugasnya meliputi menginventarisir seluruh potensi EBT yang ada di Aceh. Mengkaji dan memilih jenis EBT yang paling potensial dan layak untuk dikembangkan.

Mengatur mekanisme investasi EBT dengan berperan sebagai regulator dalam menerbitkan izin-izin kelayakan investor.

Merancang pengembangan inovasi dan penelitian berkaitan dengan EBT yang menghasilkan temuan-temuan teknologi baru dalam bidang EBT.

Jadi secara garis besar ada 3 tugas utama lembaga EBT Aceh ini, yaitu mengkaji jenis-jenis EBT yang dimiliki Aceh, mengatur mekanisme perizinan investasi EBT, serta mendukung upaya inovasi teknologi EBT yang dikembangkan oleh tenaga lokal atau nasional.

Jenis EBT Aceh

Setidaknya ada lima jenis EBT utama yang dimiliki oleh Aceh. Yaitu energi matahari, energi angin, energi air (PLTA), biomassa dan energi panasbumi. Kesemua jenis EBT ini harus benar-benar dikuasai dengan melakukan mitigasi potensi secara menyeluruh.

Sehingga potensi EBT yang sebenarnya dapat dideteksi secara benar dan real adanya. Divisi yang membawahi bidang ini perlu dikelola oleh sosok yang menguasai seluk beluk pengelolaan dan pemanfaatan semua jenis EBT.

Inventarisir jenis EBT dan lokasi semua jenis EBT di Aceh dilakukan dengan sistematis, dan datanya selalu diperbarui sesuai dengan hasil survei terbaru dan kajian akademik.

Regulator; Untuk jenis EBT tertentu yang telah dieksekusi sebagai pilihan maka perlu dilakukan tender kepada pihak investor yang akan mengelola implementasinya.

Divisi regulator berperan menelaah tawaran investor dan memutuskan pemenang tender berdasarkan kriteria kelayakan yang telah disusun sebelumnya.

Divisi ini juga bertugas mengawasi dan mengontrol pelaksanaan implementasi yang dilakukan oleh pemenang tender.

Inovasi dan Litbang EBT

Divisi Litbang (penelitian dan pengembangan) perlu ada dan menjadi tulang punggung lembaga ini. Karena EBT adalah ilmu baru dan terus berkembang. Kerjasama perlu dilakukan dengan PT baik itu dalam negeri maupun luar negeri.

Inovasi dan penemuan teknologi baru di bidang EBT yang bernuansa lokal sangat penting bagi hak kekayaan intelektual, karena menyangkut royalti dan kekayaan nasional juga.

Kalau kita tergantung pada teknologi asing, maka kita juga tidak dapat berkembang secara mandiri. Ketergantungan kepada teknologi asing malah akan menyedot devisa negara.

Sehingga jika kita memiliki teknologi sendiri bersifat lokal kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut dengan lebih leluasa dan tidak tergantung kepada negara lain.

Di samping itu selain menghemat devisa juga malah dapat menambah devisa, jika ada pihak luar yang memanfaatkan teknologi yang kita miliki.

Jika lembaga pengelolaan EBT Aceh ini dapat direalisasikan tentu akan banyak manfaat dan peluang yang terbuka di masa depan bagi kemajuan Aceh sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan.

Pengembangan EBT yang diinisiasi oleh Aceh ini dapat berkontribusi kepada upaya pengembangan EBT nasional.

Visi Pemerintah Aceh tentang ketahanan energi telah jelas. Semuanya telah disistematiskan dalam bentuk pasal-pasal di dalam Qanun tahun 2019 tersebut. Kini tinggal lagi bagaimana pemerintah Aceh mewujudkan visi tersebut dalam bentuk nyata.

Stakeholder atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini adalah kalangan pemerintahan, parlemen Aceh, akademisi, praktisi energi, dan masyarakat yang peduli akan energi perlu dilibatkan dan duduk bersama dalam merumuskan susunan komposisi lembaga ini.

Sehingga nantinya lembaga yang terbentuk ini benar-benar mencerminkan visi Aceh dalam memajukan upaya ketahanan energi baru dan terbarukan untuk masa depan Aceh.

Pihak pemerintah Aceh meliputi unsur dinas ESDM, dinas PUPR, serta dinas terkait lainnya perlu dilibatkan dan menjadi tulang punggung dalam lembaga ini.

Kalangan akademisi dilibatkan perannya berkontribusi dalam hal pengembangan dan penelitian serta penemuan inovasi dalam produk-produk peralatan EBT yang mutakhir.

Pendanaan

Unsur yang paling krusial adalah pendanaan lembaga. Saya mengusulkan bahwa keuntungan besar yang diperoleh dari pemanfaatan Migas Aceh disisihkan sebagian besar untuk menggerakkan aktivitas lembaga ini.

Sehingga hasil yang diperoleh dari pemanfaatan energi fosil dapat dioptimalkan sepenuhnya untuk mendukung pengembangan EBT Aceh.

Di samping itu, DOKA atau Dana Otonomi Khusus Aceh yang selama ini dikucurkan pemerintah pusat bisa juga dialokasikan untuk menjadi sumber pendanaan.

Jika program pengembangan EBT Aceh dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan profesional, maka dapat dijadikan sebagai bargaining kepada pemerintah pusat untuk terus mengucurkan DOKA yang akan berakhir pada tahun 2027.

Sehingga pengajuan perpanjangan kucuran dana DOKA oleh pemerintah Aceh memiliki pembenaran yang sangat rasional dan layak.

Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin dan Industri – Universitas Syiah Kuala (USK).

  • Bagikan