Strategi GeoEkonomi Teknologi

  • Bagikan

Geopolitik dan geostrategi kini lebih didasarkan pada fungsionalisme geografi (geographic functionality) dari pada lokasi geografi semata-mata

Strategi geoekonomi teknologi. Teknologi telah menghapus rentang geografi fisik pelaku non negara merupakan ancaman tanpa asal usul terhadap keamanan nasional.

Dua hal itu membentuk fenomena baru ruang tanpa batas, sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan teori-teori geopolitik Wesphalian.

Revolusi Industri pada abad 17-19 masih memerlukan penguasaan teritorial, termasuk di antaranya melalui kolonialisme, untuk mewujudkan pergumulan demi kekuasaan.

Inggris maupun Amerika Serikat tetap memerlukan kapal-kapal dagang dan kapal perang sekalipun menguasai Terusan Suez dan Terusan Panama. Teknologi memainkan peranan penting yang mengubah makna suatu wilayah geografis.

Namun peranannya sampai paruh kedua abad ke-20 tampaknya masih terbatas pada memperpendek jarak geografis dan mempercepat perpindahan dari satu titik ke titik lainnya.

Revolusi industri, berikut berbagai konsekuensi material yang dihasilkannya dalam bentuk transportasi, senjata, dan alat komunikasi mengubah kondisi geografi yang semula tak lebih dari memiliki makna politik, menjadi memiliki makna strategis.

Sulit membayangkan kalau kolonialisme akan mejadi lebih efektif kalau saja Teusan Suez tidak dibuka. Tidak mungkin Amerika tumbuh dengan cepat menjadi kekuatan militer dunia kalau saja Terusan Panama tidak secara efektif menghubungkan dua kawasan ekonomi besar di Atlantik dan Pasifik, kemewahan yang tidak dengan mudah dapat dimiliki rekan-rekan Amerika sendiri seperti Inggris dan Prancis.

Sebelum ada terobosan seperti itu, fiksasi geografis sudah sejak lama memainkan peranan kunci. Iskandar Agung menjelajah Asia Tengah dan mendekati India sampai megalahkan Kaisar Darius dari Persia dengan lebih dulu menguasai Sela Khaibar (Khyber Pass).

Pedagang pedagang China dan Eropa menggunakan Khaibar untuk berdagang dengan rekanan mereka diseberang batas geografi.

Sama seperti Terusan Suez dan Panama, Khaibar menghubungkan dua bentangan anak benua. Seperti halnya kedua Terusan tersebut di atas, Sela Khaibar memungkinkan pertukaran arus barang semakin cepat.

Namun berbeda dari Sela Khaibar, Terusan Suez dan Panama hadir ketika negara negara bangsa sudah memiliki batas batas teritorial yang sah, seperi antara lain dikukuhkan melalui Perjanjian Westphalia (1648).

Karena bentangan daerah tak bertuan di kedua sisi Khaibar, pertarungan kekuasaan pada waktu itu lebih merupakan pertarungan atas akses dari pada atas asset yang menandai sistem Westphalian.

Perkembangan yang terjadi sejak paruh kedua abad ke-20 merupakan tantangan serius terhadap sistem Westphalian. Teknologi material, elektronika, dan kabel-kabel bawah laut menimbulkan revolusi informasi dan komunikasi.

Rezim-rezim perdagangan internasional, misalnya dalam bentuk kawasan pasar bebas (free trade area) menyebabkan penguasaan aset secara langsung melalui penguasaan wilayah menjadi relatif tidak penting.

Bersamaan dengan itu, teknologi komunikasi dan informasi juga mengurangi kecemasan Clautzewitzian  tentang kekaburan mandala perang (the fog of war), karena kemampuannya lebih cermat untuk memperhitungkan kekuatan lawan.

Teknologi satelit dan ruang angkasa, misalnya dalam skenario Perang Bintang awal dasawarsa 1980an, menghapus perbedaan strategis (strategic difference) antara penyerangan (offensive) dan pertahanan (defensive). 

Teknologi di bidang penginderaan dan pengawasan (surveillance and reconnaissance) mengubah paradigm “menyerang sebagai pertahanan paling baik” menjadi sebaliknya, kecenderungan untuk menunggu serangan dan kemudian melancarkan serangan balasan (retaliasi)

Salah satu konsekuensi penting dari semua itu adalah bahwa posisi geografi menjadi relatif kurang penting dibanding fungsinya untuk menghubungkan satu titik dengan titik lainnya. 

Geopolitik dan geostrategi kini lebih didasarkan pada fungsionalisme geografi (geographic functionality) dari pada lokasi geografi semata-mata. Keinginan untuk menguasai aset melalui penguasaan geografis juga menyusut, tergerus oleh kehendak untuk menguasai akses.

Dalam konteks itu, Turki yang menghubungkan Asia dan Eropa dengan dinamisme ekonomi yang luar biasa, tampaknya akan jauh lebih strategis dibanding.

Misalnya Indonesia yang masih bersandar pada sumber daya alam daripada sebagai penghubung antara Asia Timur dengan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika dan Eropa.

Indonesia memang betul berada di antara dua samudera dan dua benua. Namun bagian selatan dan tenggaranya hanya terdiri dari negara-negara dengan kemampuan ekonomi dan militer yang terbatas, dengan perkecualian Australia dan Selandia Baru.

Dari pengalaman-pangalaman itu tampaknya bisa disimpulkan bahwa teknologi merupakan variabel independen yang hampir selalu muncul di setiap penggal sejarah. Teknologi pula yang dapat menembus fiksasi geografi, dan oleh sebab itu mempengaruhi makna geopolitik ataupun geostrategi.

Karena teknologi pula, pemaknaan geografi bergeser dari sekedar geografi politik menjadi geografi fungsional.

Seberapa besar kondisi geografi memiliki makna geopolitik, dan lebih dari itu geosrategis, amat tergantung pada ada atau tidaknya akses, sumberdaya (resource) dan konektivitas dari ruang geografi itu.

Perkembangan teknologi hadir bersamaan dengan munculnya institusi institusi non negara seperti organisasi terorisme, satuan pengamanan privat (private security companies) dan organisasi organisasi kriminal internasional lainnya.

Baik teknologi maupun terorisme tampaknya merupakan ancaman kembar terhadap teoriteori geopolitik klasik.

Di bagian lain tulisan ini sudah dijelaskan bagamana teknologi memiliki watak ganda, antara di satu sisi mengatasi restriksi geografi, tapi di sisi lain juga membuka ruang untuk memungkinkan terjadinya kontraksi geografis.

Teknologi menghapus jarak-jarak fisik, dan karena itu juga kalkulasi geostrategis.

Sifat transnasional dari teroris semacam Al Qaeda menyebabkan gagasan-gagasam fundamental, radikal, bahkan ekstrimisme agama mudah berkembang ke tempat-tempat lain. Lebih dari sekedar konstraksi geografis atau watak ganda dalam peperangan, kini teknologi, khususnya teknologi digital, semakin memperkuat watak asimetri dalam hubungan antar kekuatan.

Memastikan kedaulatan negara menjadi amat sulit. Salah satu fenomena yang penting untuk dicatat adalah apa yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai “inverted colonialism”, ketika negara-negara kolonial juga terpengaruh atas segenap dinamika di negara-negara pinggiran.

Kemiskinan di negara-negara terbelakang, revivalisme ideologi tradisional, termasuk keagamaan seperti di beberapa negara Timur Tengah, konflik negara dan masyarakat seperti terjadi di Chechnya dengan amat mudah menebar maut di berbagai belahan dunia yang lain.

Hal yang sama tentu terjadi sebaliknya, ketika perubahan gaya hidup di negara-negara Barat menjalar dengan cepat ke negara negara berkembang, dan dikhawatirkan akan menggerus budaya lokal, atau lebih dari itu bahkan kepribadian nasional.

Ancaman terhadap kedaulatan negara juga menjadi pertanyaan dengan hilangnya saling-kepercayaan (mutual trusts) bahkan di antara negara-negara yang secara resmi bernaung di bawah payung aliansi militer.

Special Collection Service CIANSA memasang jaring-jaring pengawasan (surveillance) di 80 negara, termasuk di Inggris dan Jerman yang merupakan rekan karib Amerika di Eropa.

Singapura, yang merupakan anggota ASEAN, juga dikabarkan menyadap informasi penting dari pusat-pusat pemerintahan Malaysia dan Indonesia, yang juga sesama anggota ASEAN.

Singapura, melalui perusahaan telekomunikasi SingTel, merupakan salah satu “mata” Amerika di Asia Tenggara. Tentu, gaung perubahan geopolitik berlainan di berbagai tempat.

Negara bangsa memiliki sejarahnya sendiri, dan untuk sebagian negara, termasuk Indonesia, pertimbangan geografi tampaknya memegang peran artifisial, sekurang kurangnya tertutup oleh pengalaman sejarah.

Kolonialisme Belanda, misalnya, menjadi pengalaman sejarah paling mudah diingat bagi seluruh budaya strategis pasca kolonial Indonesia. Perang gerilya, tekad perjuangan sebagai center of gravity, dan kecurigaan terhadap negara asing adalah tema-tema yang selalu muncul dalam setiap penggal sejarah Indonesia.

Dilupakan bahwa gerilya lebih merupakan taktik operasi melawan musuh yang sudah berada dalam wilayah nasional, dan memiliki sistem persenjataan yang lebih kuat, dan oleh sebab itu, pada tataran strategis gerilya merupakan bagian dari strategi asimetrik.

Karena itu dapat dimengerti jika sejumlah konsep tentang komponen cadangan dan pendukung masih mengandalkan pada keikutsertaan warganegara secara fisik, misalnya melalui latihan dasar kemiliteran dan berbagai simbol patriotisme, dari pada keikutsertaan kemampuan teknologikal atau industrial yang berada pada diri warganegara itu.

Kesulitan muncul ketika relevansi terhadap peperangan modern (modern warfare) diletakkan sebagai kebutuhan taktis, misalnya dalam bentuk peperangan elektronik (electronic warfare), bahkan dalam konteks yang kini semakin mendesak adalah peperangan siber.

Berbagai diskusi tentang peperangan siber umumnya diletakkan dalam konteks strategi defensif.

Pilihan itu sangat mungkin tidak cukup memadai mengingat waktu peringatan (warning time) yang berada pada hitungan detik.

Namun demikian, agak terasa janggal ketika diskursus perang modern tidak memperhatikan perbedaan antara tahap taktikal, yang esensinya merupakan non-konvensionalitas, dari tahap strategis yang lebih bertumpu pada multidimensionalitas perang, termasuk perang ideologi.

Kerancuan ini yang antara lain menyebabkan fenomena perang proksi (proxy war) kerap dibicarakan dalam ruang yang sama dengan berbagai bentuk fenomena kontemporer seperti pornografi, radikalisme, dan gaya hidup modern.

Ketidakselarasan kebutuhan taktikal dan strategis itu tampaknya menghilangkan kesadaran ruang geografis Indonesia sebagai negara maritim.

Perdebatan tentang pengamanan wilayah maritim hanya berkisar tentang apakah hal itu merupakan fungsi perlindungan kedaulatan atau penegakan hukum.

Selain itu, istilah maritim juga dikaburkan dengan istilah laut atau kelautan, sehingga kemaritiman seakan akan identik hanya dengan pengelolaan sumber daya laut dan fungsionalitas laut sebagai penghubung antar pulau.

Penutup

Lemahnya kesadaran ruang itu pula yang menyebabkan kekuatan udara jauh lebih lemah dari yang seharusnya diperlukan untuk melindungi kedaulatan udara Indonesia.

Sejarah kolonialisme Belanda juga meninggalkan jejak yang amat kuat pada bagaimana Indonesia memahami keragaman identitasidentitas primordial yang dibingkai dalam wilayah nasional.

Keragaman budaya sebagai salah satu persoalan serius bagi proses bina bangsa memang sebagian diantaranya terkait dengan fetihisme geografis, namun lebih kerap muncul dalam konteks kerapuhan terhadap intervensi asing.

Tanpa faktor faktor sejarah seperti gerakan-gerakan federalis yang dianggap memecah “negara kesatuan”, sentimen regionalisme dan politik identitas mungkin juga tetap akan ditafsirkan dalam kerangka “bhinneka tunggal ika” yang lebih mencerminkan semangat integrasi dari pada disintegrasi.

Akibatnya, kesatuan negara sebagai hubungan vertikal antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat kerap dirancukan dengan “persatuan nasional” yang mengasumsikan hubungan egalitarian antar berbagai suku bangsa.

Penulis adalah Sekretaris Umum PGMI Sumut, Wakil Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Sumut;  Staf Keuangan pada SMK Putra Kualuh Kabupaten Labuhanbatu Utara Sumut.

  • Bagikan