Universitas Harapan Umat Dunia

  • Bagikan
Universitas Harapan Umat Dunia

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Dalam setiap proses budaya, usaha mendefinisikan tipe ideal adalah pertarungan kebenaran dan kemungkaran. Pemenangnya tergantung pada kekuasaan aktual

Universitas Harapan Umat Dunia (UHUD) berdiri melengkapi pengesahan asa dan menyertai konsolidasi peradaban yang lama terkurung oleh dikte-dikte imperatif  ganas. Langah-langkah sporadis sekaligus menjelaskan para aktor yang selalu terpaksa puas pada peran yang lebih terkesan tak berkesempatan berijtihad

UHUD lebih kerap rabun, tak nalar membedakan dua Timur (masyriqayn) dan dua Barat (maghribayn). Tetapi hasrat ujicoba mandat dalam proyeksi peradaban terus mendesak, dan hasilnya selalu terbukti hanya pertanggungjawaban ringan di depan peradaban. 

UHUD terus terlempar jauh dari pusaran inti, menjadi penerima nasib sebagai agensi perbenturan; bukan sebuah hasil kompromi terbaik dalam ketakjelasan garis-garis tipis demarkasi peradaban yang terus berubah, apalagi dirijen penentu arah bangsa. 

Keringat di UHUD paling hanya mampu mengantar kafilah tiba pada pengarusutamaan legitimasi kecil. Sesuatu yang dapat hanya berupa selembar kertas (bermuatan keterangan batas alokasi posisi politik, marginalitas dan  keterangan lain tentang status) bernarasi pendek.

UHUD Di Tengah Anomie Peradaban

Setiap bangsa memiliki cita-cita budaya khas. Betapa pun tak selalu mudah disepakati, lazimnya cita-cita budaya harus dilihat sebagai kompromi proyeksi tentang masa depan (yang relatif) berjangka panjang. 

Tetapi tidak semua bangsa dapat membuktikan keberhasilan mencapai cita-cita budayanya. Selain karena setiap orang di dalam suatu bangsa selalu berkeinginan beroleh keuntungan dari pengabdian orang lain, dengan cara sah atau melawan semua keterangan tentang prosedur dan kualitas pengesahan, sebuah bangsa pun selalu potensil menjadi mangsa bagi bangsa lain.

Pemimpin terkecil hingga terbesar dapat serempak berkata, dengan kadar kejujuran atau ketakjujuran tertentu, tentang nasib di tengah terpaan peradaban global, sembari terus berharap seluruh kekuatan terbuhul untuk perjuangan harkat dan martabat. 

Tetapi pengembangan kapasitas semua pranata tak selalu selaras dengan nilai. Pada galibnya “persandiwaraan” nasional akan selalu diperlukan untuk mewadahi mekanisme ini. 

Pranata-pranata (politik, ekonomi, budaya) yang terus mengalami kegagalan akan selalu mendesak pengesahan korban untuk dipersalahkan. Pemaksaan rasionalisasi pengesahan pembelahan berdasarkan konsep kepentingan “kita” dan “mereka” akhirnya dipandang menjadi urgensi nasional.

Alasan untuk penciptaan sarana penghukuman diiringi obral cap pembangkang yang menjadi wacana harian seiring degradasi konstruksi harkat dan martabat yang dahsyat.

Ini memang sebuah tragedi besar. Dulu Robert King Merton (Strain Theory of Deviance, 1968) memberanikan diri untuk memberi penjelasan atas malapetaka ini. Pertanyaan Merton adalah “jika masyarakat terdiri dari dua aspek inti.

Yakni budaya dan struktur sosial, bagaimanakah nilai, keyakinan, tujuan, dan identitas dikembangkan dalam ranah budaya, yang terbentuk sebagai respon terhadap struktur sosial yang ada dan yang secara ideal seharusnya menyediakan sarana bagi halayak untuk mencapai tujuan dan menjalani identitas positifnya?”

Merton sangat sadar atas kenyataan bahwa sesungguhnya seringkali orang tidak memiliki sarana untuk mencapai tujuan yang bernilai budaya dan yang selalu diinginkan. Hal ini akan terus melahirkan frustrasi. Ketegangan selalu dapat menyebabkan kekalahan dan ketundukan pada godaan perilaku menyimpang. 

Meski selalu terdapat keniscayaan penggabungan pandangan seseorang tentang tujuan budaya dan cara konvensional yang disepakati untuk mendapatkannya, dan ia berusaha menyesuaikan dirinya dalam posisi itu dengan niat menjadi warga tanpa masalah (konform) dalam konteks sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya, tetapi selalu saja beberapa penyimpangan terlalu sulit dihindari. 

Mengapa begitu? Pertama, posisi individu dalam struktur sosial mempengaruhi pengalaman penyimpangan dan konformitasnya. Pencurian sepasang sandal jepit, misalnya, adalah tragedi yang setara dengan tantangan yang dihadapi oleh pelaku yang secara faktual memerlukan sepasang sandal jepit dan yang karena itu memaksanya membuat orang lain mengalami kerugian.

Dampak sandal jepit berbeda dengan dampak perilaku menyimpang tokoh lain yang menduduki posisi penting dalam struktur sosial seperti (tanpa mendahului keputusan peradilan) Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa. Keduanya tidak mungkin mencuri sepasang sandal jepit seperti seseorang melakukannya karena desakan kebutuhan saat peluang terbuka persis di batas suci halaman masjid.

Tetapi Teddy Minahasa dapat saling mempertukarkan peran dan saling memperkuat posisi dengan Ferdy Sambo (katakanlah soal judi online dan peredaran narkoba) karena tempat mereka dalam struktur sosial memberi kemungkinan untuk itu.

Hilangnya sepasang sandal jepit mungkin dapat bernilai moral keumatan. Tetapi andai pun berjuta pasang hilang bersamaan (saat shalat Jumat, misalnya), itu tak akan pernah memiliki dampak yang mampu menyamai dampak tembakan mematikan ke tubuh Brigadir Joshua Hutabarat dan dampak mematikan peredaran narkoba bagi suatu bangsa oleh ulah para “penguasa hukum” powerfull seperti Teddy Minahasa.

Kedua, penyimpangan itu terkait dengan fakta bahwa cita-cita budaya selamanya tak serta-merta mampu menyediakan pranata pencapaian yang diperlukan.

Begitulah kemungkinan pada satu segi gugatan sosial rakyat dapat memiliki kesamaan nada dalam struktur sosial masing-masing di antara para kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan sama-sama hadir pada forum G 20 nanti di Bali.

Tentu saja cita-cita budaya antar negara telah dianggap bertemu pada satu kalimat pendek sesuai urgensi diplomatis global, yakni recover together, stronger together.

Meski begitu, kalimat yang sama memiliki artikulasi berbeda di negara  berbeda. Selain itu tak tertutup kemungkinan potensialitas kenyataan bahwa tak seluruh rakyat di dunia sepakat dengan semangat G20, sejalan dengan dugaan kemungkinan forum dibangun atas tebakan concern yang menyederhanakan aspirasi milyaran penduduk dunia.

Jika  recover together, stronger together adalah deskripsi agregatif, maka rakyat di negara berbeda dapat sedang mengalami penderitaan khas masing-masing.

Rakyat Indonesia dapat sedang risau nasib yang terlalu tergantung atas peran pemangsaan negara lain dan seberapa besar dampak dikte imperatif negara-negara kuat atas nasib ke depan melalui entry point pemilu 2024 yang mengagendakan pemilihan Presiden yang secara cengeng sudah diributkan oleh partai-partai itu.

Sedangkan pada saat bersamaan rakyat di negara lain dapat merasakan urgensi ekpansi eksploitasi atas nama neoliberalisme dan perdagangan bebas tanpa hirau intensitasnya sebagai mekanisme lanjutan penghinaan dan penghisapan panjang atas rakyat di negara-negara lemah.

Dengan begitu, maka, ketiga, perilaku menyimpang (orang dan institusi) pun akan selalu potensil menjadi keniscayaan belaka, tersahkan mekanisme dan proses legitimasi tertentu. 

UHUD tak hadir dalam kerumitan seperti ini. Suara komplementatifnya selalu diposisikan untuk tak perlu didengar. Padahal seyogyanya UHUD tersinggung ketika muncul kasus seperti yang baru-baru ini viral dalam video pendek “gugatan rakyat” terhadap Mahathir Mohammad dari Malaysia yang bersikeras menyalahkan budaya bangsanya atas tragedi persaingan akses terhadap sistem-sistem sumber vital seperti tanah. 

Mahathir mengulangi tesis usang: mitos pribumi malas. Padahal kebijakan hak milik atau jual beli tanah adalah otoritas negara. Di lain tempat seperti Kerala (India Baratdaya) atau Bali misalnya, dengan segenap tantangannya, tanah keluarga tidak boleh diperjualbelikan. 

Profesor Antropologi BA.Simanjuntak belum lama ini dengan percaya diri menceramahkan dalam sebuah forum betapa tinggi nilai budaya soal pengelolaan tanah di kalangan pendukung budaya Dalihan Na Tolu. Tetapi ia lupa tragedi-tragedi proyek-proyek padat modal di Tapanuli. 

Sejumlah pemuda yang marah telah berangkat ke istana dengan berjalan kaki belum lama ini. Beroleh kata putus yang adil untuk cara menata distribusi dan penentuan hak atas tanah adat diinginkan dari Presiden Joko Widodo.

Air mata terus mengucur. Apa sikap pemerintah sebetulnya telah terjawab dari ketentuan baru oleh Menteri Pertanahan baru.

Presiden Joko Widodo telah bersenada niat dengan mantan Panglima TNI ini bahwa di Ibu Kota Negara, misalnya, seseorang penguasa modal dapat difasilitasi beroleh hak penguasaan lahan untuk jangka waktu 160 tahun, hampir separoh dari masa penjajahan di bawah pergiliran kebengisan 6 bangsa penjajah.

Mahathir Mohammad identik kebijakan neoliberal, terutama menguntungkan siapa, yang semua orang di dunia tahu kebanyakan dari kalangan mana. Itulah pangkal masalah.

Singapura itu dulu ditransaksikan karena intrik politik Raffles (1819). Setelah terpisah dari Malaysia (1965), warga Melayu atau Arab dipaksa menyerahkan tanahnya walaupun wakaf kepada negara dengan alasan kepentingan halayak.  Marginalisasi terus dirasionalisasi dengan pengesahan cita-cita budaya bangsa.

Tetapi UHUD tak mampu hadir dalam kerumitan seperti ini, mencampuri masalah dengan otoritas akademiknya.

Penutup

Dalam setiap proses budaya, usaha mendefinisikan tipe ideal adalah pertarungan kebenaran dan kemungkaran. Pemenangnya tergantung pada kekuasaan aktual.  

Apa yang harus dipikirkan UHUD? Ke depan layaklah menimang optimisme tanpa terpengaruh pasang surut air laut di bibir pantai. Sebuah deskripsi komprehensif untuk harapan khas orang-orang kalah (bekas jajahan ratusan tahun) dalam asa paling dalam yang tak pernah diindahkan, sangat diperlukan kehadirannya. 

Selalu ingin mengisi hari-hari dengan harapan penuh inspirasi menyertai dinamika peradaban dunia yang terus dalam ancaman jatuh bangun, adalah obsesi normal. 

Tetapi UHUD harus terus mencari Allah dan Rasul-Nya, mungkin sembari menyelesaikan pencarian di mana masyriqayn  dan di mana maghribayn terletak dan diletakkan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Penulis: Oleh Shohibul Anshor Siregar
  • Bagikan