Menyingkap Potret Buram Pendidikan Di Indonesia

  • Bagikan

Dunia pendidikan di Indonesia masih saja berjalan di tempat seperti puluhan tahun lalu. Berganti pemimpin, berganti pula menteri, dan auto berganti kurikulum. Entah apa yang mendasari, tapi yang jelas kondisinya beda beda tipis lah, bukan justru membaik, malah terasa mundur.

Sebut saja Budi (bukan nama sebenarnya), siswa kelas VI salah satu SD di Kota Medan beberapa bulan lagi akan tamat dan berlanjut ke jenjang berikutnya. Hal ini seharusnya membuat hati senang karena akan masuk ke tingkat lebih tinggi SMP, namun justru menjadi dilema karena anak ini ternyata tidak bisa membaca.

Menulis namanya saja Ia tidak mampu. Berpikir keras, itulah kondisi saat dirinya disuruh menulis. Menyedihkan sekali, era teknologi informasi sekarang ini masih ada siswa buta aksara.

Di tahun 1990 an ke bawah, bila siswa kelas 1 tidak dapat membaca, maka akan langsung tinggal kelas. Kini, bila ditinggalkelaskan, maka sekolah malu karena peringkatnya akan terlihat jelek dibanding sekolah lain.

Pendiri Sekolah Ilmuan Minangkabau (SIM), Ikhsyat Syukur mencoba menguak tabir sengkarut pendidikan Indonesia ini dalam pertemuan virtual Fellowship Jurnalisme Pendidikan yang diselenggarakan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan yang bekerjasama dengan PT Paragon Technology and Innovation, Rabu (18/5). Kali ini diskusi mengenai Peran Strategis dan Tugas Mulia Wartawan untuk terus serta Memajukan Masyarakat dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Karya Jurnalistik Berkualitas.

Ikhsyat mengawali dengan memaparkan tentang Programme on International Student Assessment (PISA), program yang didesain untuk menilai siswa-siswa dari seluruh dunia di tahun 2000. Negara-negara yang ikut ambil bagian dalam program ini adalah negara yang tergabung dalam Organization for Economic coOperation and Development (OECD).

Sampai hari ini sebenarnya Indonesia tidak termasuk dalam OECD, namun dalam hal PISA, pemerintah saat itu memutuskan untuk ikut. Sehingga dimulailah penilaian itu sejak tahun 2000 bagi negara negara yang mau, dan secara berkala setiap 3 tahun sekali untuk melihat beberapa aspek pendidikan dan implikasinya dalam kehidupan bangsa.

Di Indonesia sendiri baru dimulai assessmen sejak tahun 2018 dan berlanjut Assesmen Nasional tahun 2021. PISA ungkap Ikhsyat ketika pertama melakukan penilaian mengungkap bahwa, dari 41 negara yang dinilai, Indonesia berada di posisi 39, nomor 3 dari bawah. Hal yang dinilai adalah menyangkut tiga aspek, matematika, literasi (membaca), dan sains.

Kemudian di tahun 2015 dari 70 negara yang mengikuti assessmen, posisi Indonesia berada di nomor 62. Berikutnya tahun 2018, PISA terakhir yang yang dilakukan, dari 78 peserta yang dinilai, Indonesia tetap berada di peringkat bawah, yakni nomor 71.

Detailnya, dari segi sain, kita ada di peringkat 71 dari 78 negara, kemampuan matematika siswa kita yang berusia 15 tahun itu peringkat 73 dari 78 negara, dan untuk literasi atau membaca Indonesia berada di nomor 74 dari 78 negara. Tetap di posisi 10 besar paling bawah.

Kemudian kalau dibandingkan antara PISA 2016 dan PISA 2018, terjadi penurunan signifikan. Awalnya kita berharap ada kenaikan, tapi yang terjadi adalah penurunan.

Angkanya, untuk sains dari yang tadinya angka 403 menjadi 371. Matematika dari 386 menjadi 379. Kemudian literasi dari 397 menjadi 371, turun semua. Di tahun 2021 dilakukan PISA lagi, tapi karena covid maka tidak rencananya akan diganti di tahun 2022.

“Prihatin iya, tapi ini adalah gambaran riil kondisi pendidikan di negeri kita, jadi tidak ada lagi datanya sejak 2021, ” ucap Ikshyat Syukur.

Kemudian Pemerintah Indonesia membuat alat ukur sendiri untuk menilai para siswanya bernama Ujian Nasional. Tadinya UN dipakai untuk syarat kelulusan, namun pada akhirnya dipakai hanya untuk pemetaan.

Di tahun 2019 pemerintah mengubah alat ukurnya bernama Assesmen Nasional. AN ini semacam penilaian di tingkat nasional dan bisa dilaksanakan di paruh akhir September atau Oktober 2021.

Dalam AN 2021 itu, ada 3 hal yang dinilai oleh perisetnya yakni, jutaan murid, ribuan sekolah, ribuan kepala sekolah dan guru. Hasilnya, dalam aspek literasi, dari dua orang peserta didik dites, satu siswa belum mencapai kompetensi minimum.

Kemudian dalam hal numerasi, kemampuan berhitung, dari tiga peserta didik, dua siswa belum mencapai kompetensi, hanya 1/3 yang lolos. Kemudian yang menarik adalah kesenjangan pendidikan antara satuan pendidikan Jawa dan luar Jawa terjadi sangat ekstrim sekali. Sekolah terbaik di luar Jawa ternyata nilainya atau posisinya itu di bawah sekolah terjelek di Jawa.

Inilah gambaran secara umum. Kemudian AN 2021 juga melakukan survei karakter karena tujuan utama pendidikan adalah pembentukan karakter. Sehingga harus direkam dengan baik. Apa yang terjadi? dalam hal iman dan kreativitas memang terjadi peningkatan, namun dalam hal kemandirian dan kebhinekaan, global sangat rendah.

Padahal ditemukan juga fakta bahwa semakin baik karakter seorang peserta didik, sebenarnya semakin baik pula kemampuan literasi dan numerasi yang bersangkutan.

Kemudian AN 2021 selanjutnya melakukan survei lingkungan belajar terutama kondisi sekolah dan kepala sekolah. Tapi sayangnya, yang bisa diakses masyarakat cuma persoalan perundungan bullying di sekolah 24,4 persen dan kekerasan seksual 22,4 persen.

Ikhsyat kemudian mengutip apa yang dikatakan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim saat menyampaikan laporan Rapor Pendidikan Indonesia beberapa waktu lalu. Mendikbud menyatakan anak-anak yang menghadapi tantangan numerasi dan literasi, sangat mudah untuk menjadi demotivated, tak punya motivasi lagi dan tentunya akan tertinggal.

Dalam pengantar hasil Asesmen Nasional 2001 yang disebut Rapor Pendidikan Indonesia itu, menyatakan daya saing lulusan Indonesia dalam dunia berbasis teknologi yang terus berubah, akan membuat daya saing yang sangat rendah, sehingga berdampak pada daya saing nasional dan sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

“Jadi, beliau sudah memperkirakan bahwa hasil-hasil ini kalau kita tidak hati-hati akan menurunkan daya saing kita dari sisi SDM,” ucap Ikhsyat.

Kemudian literasi numerasi rendah berdampak besar pada kemampuan memproses informasi secara kritis juga akan sangat rendah. Jadi anak-anak atau siswa yang tidak mempunyai kemampuan literasi dan numerasi, maka daya kritisnya akan menurun, sehingga akan rentan terhadap terpapar hoaks dan manipulasi.

Sehingga Ikhsyat melakukan penelitian dan hasilnya terkonfirmasi semuanya. Pertama terjadi ialah kegagalan pemahaman (logical falsy) atas pelajaran saintek (fisika, kimia, matematika) terutama yang baru naik tingkat.

Kegagalan paham ini contohnya, seorang guru fisika mengajarkan mata pelajaran hukum newton 1 dasar-dasar hukum gerak pertama. Ketika sudah digambarkan kemudian diceritakan dan dijelaskan prosesnya, lalu para siswa ditanya kembali. Apa yang terjadi? hampir semua jawaban anak-anak itu terbalik.

“Mohon maaf tempat penelitian saya ini dilakukan di sekolah terbaik di Sumatera Barat, bukan sekolah-sekolah asal-asalan, bukan papan tengah, bukan papan bawah tapi di papan atas Sumatera Barat,” pungkas Ikhsyat.

Terjadi kegagalan logika. Ikhsyat lalu mengirim pertanyaan kuesioner random ke 9 dari 19 kabupaten yang ada di Sumatera Barat. Gurunya diminta menjawab perkembangannya paska covid-19, terkonfirmasi memang anak-anak itu gagal paham terlebih lagi dirasakan adalah siswa kelas 10 baru pindah dari SMP ke kelas 1 SMA.

Kesimpulan sementara, Pertama, pemahaman yang terjadi di level SMP itu ialah jauh dari memuaskan. Itu salah satu penyebab terjadinya kegagalan logika (logical falsy).

Kemudian kedua, minat belajar menurun drastis ini. Hal ini dampak besar dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau online learning. Hal itu terjadi karena anak-anak itu berprinsip, apapun hasil belajarnya saat dievaluasi di tengah atau di akhir semester, meskipun sangat buruk jauh dari yang diharapakan, mereka akan tetap akan dinaikkan ke kelas berikutnya.

“Maaf kita harus jujur, beginilah potret pendidikan kita, jelek atau buruk, sekolah tidak berani menghukum yang jelek untuk tetap jelek dan tidak dinaikkan tetap dinaikkan, karena khawatir nilai sekolah akan turun, akreditasi sekolah akan buruk, dan guru atau kepala sekolah dianggap tidak mampu mengajar dan atau mengelola sekolah,” pungkas Ikhsyat.

Satu lagi, adanya prinsip siswa sekarang terkait remedial sehingga tidak takut nilainya jelek. Yang jelas minat belajar menurun drastis.

Yang ketiga, para guru-guru itu menemukan para peserta didik tidak beradab lagi, jauh sekali dari sopan santun. Sehingga beberapa sekolah yang peduli dengan ini, sekarang betul-betul melatih kembali dengan konsep satu orang guru mengawasi 30 anak hanya untuk masalah budi pekerti nilai-nilai luhur bangsa sepanjang hari, sejak masuk sampai keluar.

“Budi pekerti luhur yang mestinya sudah ada terpatri di dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia, tapi akhir-akhir ini inilah kenyataannya karakter dan kesantunan menurun,” jelas Ikshyat.

Terakhir kemampuan menganalisa informasi rendah. Hal ini berbanding lurus dengan hasil Asesmen Nasional tadi. Bahwa para siswa susah sekali membedakan mana informasi yang baik dan tidak. Para siswa gampang sekali termakan berita-berita yang sifatnya hoaks, mereka tidak tahu mana berita benar atau salah.

“Anak-anak kita itu setiap pagi di tangannya sudah tersedia makanan dalam bentuk gedget informasi. Mereka tidak tahu membedakan bagus atau tidak sehingga main telan saja,” ucap Ikhsyat.

Saat bangun pagi, anak tersebut buka handphone, semua informasi masuk namun tidak bisa lagi menyaring mana yang baik maupun buruk, benar atau salah. Bisa dibayangkan kalau makan sampah seperti apa nanti hasilnya.

Saat sesi diskusi, ada beberapa pertanyaan yang ditanyakan para peserta. Salah satunya dari Rasudin Sihotang terkait anak kelas VI SD yang tidak pandai membaca di Medan. Kemudian kurikulum terbaik yang diterapkan sejak Indonesia berdiri.

Ikhsyat kembali menegaskan bahwa inilah fakta kemunduran itu. Pertanyaan sederhananya ialah, di saat kelas 1 tidak bisa membaca, kenapa dinaikkan ke kelas berikutnya. Harusnya bisa baca dulu baru dinaikkan. Karena ada standar minimal naik kelas, yang paling mendasar ialah bisa membaca.

“Sekolah tapi engga bisa membaca, inikan fatal, padahal ini hal paling dasar yang setiap orang harus bisa,” ucap Ikhsyat.

Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa bangsa ini tidak sungguh-sungguh mengurus pendidikan ini

Mengenai kurikulum, Ikhsyat menilai tidak ada kurikulum terbaik sejak dahulu sampai yang diterapkan hari ini. Ikhsyat menuturkan, dirinya berteman dengan seorang Atase Pendidikan di Amerika yang kemudian sampai Dia menjadi doktor lanjut jadi Dirjen dan sekarang sudah pensiun.

Ikhsyat lalu bertanya kepada Atase tersebut mengapa sering sekali gonta-ganti kurikulum. Sementara Atase-atase Indonesia itu orang-orang pintar di Kemendikbud karena pernah sekolah dan kuliah di Amerika. Kalau sekolah di Amerika itu ucap Ikhsyat, mata pelajarannya cuma 5 sampai 6 saja.

Atase tersebut lalu menjawab bahwa kalau pulang ke Indonesia terus tidak berbuat sesuatu yang baru, bakal tidak diakui gelar doktornya, sehingga mereka harus menciptakan hal baru.

“Ini jawaban seorang Atase loh, jadi mau berapa tahun lagi kita dibuat kayak kelinci percobaan seperti ini, jadi nyata kan motifnya itu sederhana, pokoknya ada yang baru, bisa ikut 3 tahun sekali, bisa 5 tahun sekali, sehingga kan macam-macam, ada kurikulum 13 kurikulum merdeka, kemaren disebut kurikulum Covid-19 tak berani kan?,” pungkas Ikhsyat.

Para pejabat ini pula ungkap Ikshyat, terkesan enggan mengikuti hal-hal baik yang ditinggalkan oleh pejabat sebelumnya, dan itu terjadi di semua tempat. Untuk merubah hal ini, semua pihak harus berperan untuk mencerdaskan anak bangsa.

Salah satunya, peran wartawan sangat penting untuk merubah nasib bangsa terutama soal pendidikan. Karena media juga sebagai alat pembelajaran yang efektif… (bersambung)

Rasudin Sihotang

Keterangan foto:

Waspada/Rasudin Sihotang

Pendiri Sekolah Ilmuan Minangkabau (SIM) Ikhsyat Syukur.

Menyingkap Potret Buram Pendidikan Di Indonesia
  • Bagikan