Parpol Belum Berkomitmen Mengawal Keterpilihan Perempuan Di Parlemen

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Partai Politik belum sepenuhnya mengawal keterpilihan Perempuan di Parlemen, sehingga pencalonan kaum perempuan dalam Legislatif tampak hanya sekedar memenuhi kewajiban dalam UU Pemilu.

Komitmen parpol menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan keterwakilan dan pemberdayaan perempuan dalam perpolitikan di Parlemen.

Pengamat Politik Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini melihat regulasi dan komitmen parpol merupakan sarana untuk membuka akses partisipasi perempuan bisa duduk dalam banyak jabatan strategis dan terlibat dalam pengambilan kebijakan negara.

Meski UU telah mengakomodir 30% kuota keterwakilan perempuan namun keterpilihan perempuan sangat tergantung kepada pemilih dalam menentukan pilihannya di pemilu. Hal itu karena paradigma dan cara pandang pemilih yang tidak berubah terhadap banyak hal sosok pemimpin dari kalangan perempuan.

“Maka agak sulit merekonstruksi pandangan-pandangan yang bias tadi. Jadi satu sisi kita berupaya dengan pendekatan formal yaitu regulasi,” ujarnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Politik di Kawasan’ di Media Center Parlemen Jakarta, Kamis (3/8).

Soal kuota ini, Titi menambahkan tantangan di Pemilu 2024 adalah adanya regulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang komitmennya justru menurun.

Dia mencontoh, dalam daftar caleg di setiap dapil, sekarang berpotensi kurang dari 30% karena ada kebijakan pembulatan ke bawah. Yaitu adanya pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023. Saat ini, sejumlah aktivis perempaun sedang mengajukan uji materi PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.

Kalau prosentase 30 % desimalnya kurang dari 0,50 maka dibulatkan ke bawah. Dalam catatan Titi ada sekitar 600-an peluang perempuan untuk jadi caleg akhirnya tergeser karena perubahan kebijakan itu.
Komitmen partai politik juga sangat penting sebagai pintu masuk bagi perempuan bisa menjadi caleg di DPR dan DPRD yang menurut Titi, juga menjadi salah satu tantangan di Pemilu 2024.

Padahal, tambah Titi mengatakan bangsa ini membutuhkan keseimbangan politik di parlemen, sehingga kebijakannya pun diwarnai oleh paradigma yang adil dan ramah gender, sehingga komitmen dan perjuangan parpol terhadap afirmasi perempuan mestinya tidak sekedar menggugurkan kewajiban amanat UU Pemilu tapi harus juga memperjuangkan keterpilihan perempuan duduk di parlemen.

“Harapan kita partai politik itu bukan hanya menghadirkan perempuan di daftar calon, tetapi juga punya komitmen untuk mengawal keterpilihan,” tegas Titi.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan untuk membuka kesempatan penuh kepada perempuan dalam partisipasi politik perlu membuat sistem yang didesain yang memudahkan perempuan bisa masuk dalam dunia politik.

“Untuk meningkatkan itu, pertama sekali aturan. Yang kedua dari sistem kepartaian itu sendiri, apakah memang mengadopsi 30% (kuota keterwakilan perempuan). Tapi keterpilihannya ternyata meskipun kita sudah 30%, keterpilihan kita belum mencapai maksimum. Itu masih sekitar 21%. Indonesia termasuk negara yang ke 110 posisinya di antara 193 negara yang masih 21% keterwakilan perempuan dalam politik,” ujar Anggota Komisi X DPR RI.

Anggota Fraksi PKB DPR RI yang juga Sekjen Kaukus Parlemen Indonesia Luluk Nur Hamidah secara virtual menyatakan sepakat bahwa partai politik juga harus memiliki tanggung jawab yang sangat besar, karena sepenuhnya harus function untuk bisa memastikan apakah keterwakilan perempuan itu bisa mencapai lebih dari sekedar angka yang tidak terlalu progresif 20%.

Menurut Luluk, akhir-akhir ini kalau kita lihat proses rekruitmen dan kemudian pendaftaran dan kandidat termasuk nomor urut sangat silent.

“Benar juga, Karena kita nggak mengerti apa yang terjadi tetapi seolah-olah ada kesepakatan di antara semua partai politik untuk melakukan kerja secara diam-diam dan bahkan caleg yang bersangkutan ini tidak mendapatkan hak sepenuhnya untuk tahu seperti apa nasibnya,”ungkapnya.

Bahkan, kata Luluk lagi, ada temuannya, misalnya caleg tertentu yang mendaftar di daerah pemilihan tertentu, tetapi kemudian dia mendaftar di JawaTengah tetapi kemudian dia mendapat surat kalau namanya itu ada di Jawa Barat.

“Ini menurut saya sangat mengecewakan dan menurut saya sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Jangan sampai kemudian isu yang terkait dengan keterwakilan perempuan ternyata di sikapi oleh partai politik menjadi beban,”ujarnya.

Luluk berpandangan, sudah waktunya penggiat pemilu membuat semacam penilaian kepada parpol yang terkait dengan semua proses dari pra sampai masa-masa pemilu, sampai kampanye yang terkait dengan komitmennya terhadap keterwakilan perempuan.

“Intinya memaksa agar partai politik untuk tidak lagi menggunakan sewenang-wenang dana APBN itu kecuali secara pasti ini dipakai untuk mendorong juga memunculkan lebih banyak perempuan bisa terpilih di parlemen,”ujar Luluk.(j04)

  • Bagikan