Peran Strategis Dan Tugas Mulia Wartawan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

  • Bagikan

Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sangat banyak yang perlu dibenahi. Berbagai orang tentu terlibat dalam ‘proyek’ besar mencerdaskan anak bangsa.

Tentunya wartawan sebagai sosial kontrol memiliki peran besar sebagai penyebaran informasi yang positif, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan. Wartawan juga sekaligus sebagai kontrol sosial terhadap berbagai isu pendidikan dimulai dari tataran kebijakan pusat sampai pelaksanaan di daerah harus diawasi dengan baik.

Lalu apa tugas mulianya wartawan? Pendiri Sekolah Ilmuan Minangkabau (SIM) Ikhsyat Syukur mengenang angkatan tahun 90 ke bawah sangat hapal luar kepala Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “menciptakan perdamaian dunia dan turut mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata kuncinya ikut serta mencerdaskan bangsa lewat pendidikan, bukan yang lain.

Itu adalah ijtihad para pendiri republik ini. Tentang tujuan bernegara salah satunya itu yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.

“Jadi hari ini kita harus menerima kenyataan bahwa tingkat kecerdasan rata-rata bangsa Indonesia nomor 71 dari 78 negara bangsa-bangsa lain di dunia,” ucap Ikhsyat.

Wartawan katanya tidak boleh diam, harus ada langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki kondisi riil. Dengan ikut serta membantu mengembangkan peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini, maka pada dasarnya wartawan sedang meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Sehingga pada saatnya bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Itulah yang dimaksud dengan peningkatan daya saing bangsa. Jika tidak, bangsa Indonesia hanya jadi penikmat atau pembeli saja, baik itu produk berupa teknologi atau apapun.

“Kawan-kawan wartawan, inilah kesempatan yang sangat mulia berbuat sesuatu untuk negeri ini,” kata Ikhsyat.

Pendidikan katanya menjadi tanggung jawab setiap warga negara terdidik di negeri ini. Selain untuk memenuhi janji kepada pendiri republik seperti termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, juga sebagai pembayaran utang atau dharma bakti kepada ibu Pertiwi.

Kenapa bayar utang? Karena semua anak bangsa adalah penikmat pendidikan di republik ini mulai dari kelas TK, SD, SMP, SMA, sampai kuliah. Pernahkah berfikir bahwa sebenarnya biaya yang dikeluarkan tidak seberapa dibandingkan dengan biaya yang dibayar negara.

Ada selisih yang sangat besar dikeluarkan oleh negara berupa subsidi pemerintah guna membantu pendidikan anak bangsanya.

“Untuk bisa hadir di ruang ini, menjadi orang terdidik, menjadi orang pintar, menjadi wartawan yang berkualitas, harus pintar, lewat pendidikan, kita harus akui kita berutang, dan inilah kesempatan untuk membayarnya,” tegas Ikhsyat.

Wartawan bisa membayar utang tersebut dengan membuat berita yang baik dan ikut serta memotivasi anak-anak dan guru-guru di daerah masing-masing serta mendorong untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antar daerah.

Wartawan Harus Cerdas

Ikhsyat Syukur pun menanggapi mentor GWPP HM Nasir tentang pertanyaan pengembangan diri wartawan. Ikhsyat menyatakan wartawan haruslah cerdas dan menguasai informasi.

Dulu ada sebuah kasus di tahun 90 an, seorang narasumber yang merasa dirinya pejabat negeri ini bergelar doktor, profesor, dan menguasai banyak masalah. Saat pejabat tersebut mengadakan konferensi pers, Dia memberikan rilis asal-asalan.

Dia mengira wartawan tidak mengerti soal tentang apa yang dirilisnya itu. Saat sesi tanya jawab, seorang anak muda angkat tangan. Dia serbu habis habisan rilis dan pernyataan pejabat itu.

Sang narasumber pun gelagapan, merah padam dan itu terekam dengan baik dan menjadi catatan wartawan pada saat itu, karena apa yang disampaikan oleh anak ini benar. Selidik punya selidik, wartawan muda ini ternyata bekerja di media ternama, dan lulusan universitas terkenal di Indonesia, dan sekali lagi, orangnya memang cerdas.

Usaha untuk meningkatkan kecerdasan itu tentu tidak ada kata lain yakni banyak membaca, banyak bertemu, dan berdiskusi dengan orang lain. Di Amerika, para analis baik politik, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya, berlatarbelakang wartawan, bukan profesor doktor dari perguruan tinggi.

Kenapa? karena wartawan itu setiap hari menemukan hal-hal baru. Dengan bekal inforasi baru itu, wartawan dapat melakukan analisa terhadap fenomena itu sehingga kecerdasannya dapat semakin meningkat.

“Wartawan di Amerika menjadikan analis sebagai profesi lanjutan, karena dengan wartawan Dia dapat informasi dari berbagai pihak, dan dengan kecerdasannya Dia bisa menganalisa banyak hal,” kata Ikhsyat.

Profesor dan doktor baru menjadikan buku teori ilmu pengetahuan lima tahun kemudian. Sedangkan Wartawan, sebut saja salah satunya, Thomas Friedman sudah langsung membuat bukunya tanpa perlu menunggu waktu lama.

Contoh lain ialah Fareed Zakaria. Pria kelahiran India ini saat menerima berita sudah melakukan analisa dan besoknya sudah muncul di kolom opini. Para doktor dan profesor baru beberapa tahun menerbitkan buku dan sudah telat.

Inilah betapa strategis dan menantangnya profesi jurnalis itu. Wartawan jangan sampai kalah dengan narasumber. Namun fakta saat ini, terlihat di sejumlah forum, ketika ada wawancara dengan narasumber, pertanyaan wartawan kebanyakan tidak bermutu.

“Padahal itu kesempatan, mari terus belajar, kalau tidak bisa sama dengan narasumber, kecerdasan para wartawan itu paling nggak lebih sedikit lah, sehingga betul pertanyaan itu kritis,” kata Ikhsyat mengakhiri. (selesai)

Rasudin Sihotang

Keterangan foto:

Waspada/Rasudin Sihotang

Pendiri Sekolah Ilmuan Minangkabau (SIM), Ikhsyat Syukur (kiri) menjadi narasumber Fellowship Jurnalisme Pendidikan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan.

Peran Strategis Dan Tugas Mulia Wartawan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
  • Bagikan