Al-Birr

  • Bagikan

Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada Al-Birr (kebajikan), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Mahamengetahui” (QS. Ali-Imran : 92)

Jika ditelusuri lebih jauh, lafadz Al-Birr (kebajikan) ditemukan setidaknya sebanyak delapan kali di dalam Al-Qur’an. Sedangkan jika merujuk pada turunan kata Al-Birr atau derivasinya, ditemukan setidaknnya sebanyak tiga puluh dua kali dalam bermacam konteks makna.

Para ulama menyatakan bahwa kata Al-Birr (kebajikan) yang terdapat pada ayat diatas mengandung tiga unsur utama. Ketiganya merupakan kesatuan atau simpul yang kuat. Saling terkait dan menjadi satu paduan yang tidak bisa dipisahkan.

Terkumpulnya sifat-sifat luhur ini pada diri seseorang, menandakan sungguh ia telah sampai pada kedudukan mulia Al-BirrDan sangat relevan disebut sebagai Abroor (Orang-orang yang berbuat baik). Karena telah terhimpun pada dirinya sekaligus tiga kebajikan utama yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

Adapun ketiga unsur utama dalam konteks Al-Birr tersebut adalah : Pertama, kebajikan hamba dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (Hablum minallah). Hal ini merujuk pada kebajikan seseorang dalam berakidah yang lurus.

Jauh dari segala bentuk tahayul, syirik, khurafat dan dosa-dosa besar (kezaliman) lainnya. Akidahnya murni sebagaimana akidah para nabi, sahabat, shiddiqin dan salafussaleh. Hal ini sejalan dengan firman Allah Ta’ala:

Kebajikan itu bukanlah (sebatas) menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tetapi (kebajikan) itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 177).

Adapun Asbabun nuzul dari ayat diatas adalah ketika datang seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi terkait makna Al-Birr. Maka Nabi memberi penjelasan dengan turunnya ayat 177 surah Al-Baqarah. Bahwa Al-Birr itu adalah beriman dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat dan seterusnya.

Kedua, kebajikan yang dilakukan seseorang kepada diri dan keluarganya (Husnul khuluq). Hal ini mencakup semua kebajikan atau kemampuan seseorang menjaga diri dari perkara haram. Seseorang dikatakan bertakwa atau takut kepada Allah manakala ia tidak berani bermaksiat ketika sendiri.

Seseorang juga bisa disebut baik akhlaknya, manakala mampu berbuat yang terbaik untuk keluarganya. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang berbuat baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik bagi keluargaku” (HR. At-Tirmidzi).

Ketiga, kebajikan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain serta lingkungannya (Hablum min an-naas). Seseorang yang memiliki kepedulian sosial tingkat tinggi. Memberi manfaat kepada manusia.

Mereka ampu menyelami dan merasakan penderiataan orang lain. Sehingga tergerak hatinya membantu atau meringankan beban penderitaan saudaranya. Bahkan dengan cara menginfakkan harta yang paling dicintainya sekalipun.

Demikianlah Al-Qur’an mengabadikan kisah-kisah terbaik dari orang terdahulu. Ingatlah kisah persahabatan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka (Muhajirin) lebih mengutamakan dalam memberikan harta yang paling dicintainya bagi saudaranya.

Notabene mereka juga orang yang membutuhkan dan bukan orang yang hidup serba berkecukupan. Inilah makna firman Allah, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Anshar), sekalipun mereka (sangat) memerlukan” (QS. Al-Hasyr: 9)

Bahkan mereka yang banyak berbuat Al-Birr (kebajikan) ini juga adalah orang yang mampu berinfak tatkala senang dan susah. Firman Allah Ta’ala, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit…” (QS. Ali-Imran: 134)

Definisi lafadz Al-Birr  sangatlah luas cakupannya. Sehingga berkaitan maknanya dengan lafadz Al-Barr.  Sifat Al-Barr ini bisa disandarkan kepada AllahTetapi bukan bermakna bahwa manusia bisa menandingi kebajikan sebagaimana kebajikan Allah yang tanpa batas.

Tetapi ini bermakna bahwa Allah adalah dzat yang Maha Sempurna dalam kebajikannya serta tidak terbatas bagi makhluk ciptaannya. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya kami menyembah-Nya sejak dahulu, Dialah yang Mahamelimpahkan Kebajikan, Mahapenyayang” (QS. At-Thur: 28).

Makna kata Al-Barr lainnya juga bisa menjelaskan terkait orang yang mampu berbakti serta bersabar dalam mengurus orang tua. Dimana kebajikannya termasuk Al-Barr. Sebagaimana Allah Ta’ala yang mengisahkan Isa as dalam berbakti kepada ibunya:

“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku orang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam : 14). Selain itu disebutkan dalam ayat lain, “Dan sangat berbakti kepada kedua orangtuanya, maka dia bukan termasuk orang yang sombong, (bukan pula) orang yang durhaka” (QS. Maryam : 14).

Selain itu, lafadz Al-Barr juga bisa dimaknai dengan pahala. Sehingga Allah lah yang memiliki kebajikan sempurna dalam membalas pahala kebajikan hamba-Nya Secara sederhana, Al-Birr bermakna segala bentuk kebajikan terhimpun iman atau tauhid yang murni, kepasrahan diri dalam ketaatan untuk beramal saleh (Islam dan Ihsan).

Serta disempurnakan dengan akhlak terbaik ketika berinteraksi dengan manusia (Ahsanuhum Khuluqomeliputi kemampuan memberi dari harta yang paling dicintai walau dalam keadaan susah sekalipun. Itulah ketiga pondasi penting yang bisa menghantarkan seorang hamba sampai pada derajat Al-BirrMereka yang berbuat Al-Birr (kebajikan) ini pulalah yang benar (imannya) serta paling bertakwa (QS. Al-Baqarah : 177)

Mudah-mudahan Allah menjadikan kita hambanya yang mampu mengerjakan Al-Birr, sehingga kita termasuk golongan orang yang benar imannya serta berhak mendapat predikat takwa. Aamiin. (Wakil Divisi Penjamin Mutu Pendidikan/PMP di Pesantren “Darul Mursyid”, Tapanuli Selatan)

  • Bagikan