Al-Qur’an, Prestasi & Masyarakat Bermartabat

  • Bagikan

Sungguh Al-Qur’an adalah kitab suci yang mengusung visi kemanusiaan yang bermartabat. Manusia dalam potensinya (ilham), memiliki dua (2) peluang yakni menusia yang bermartabat tinggi bahkan sebaik-baik makhluk (ahsan al-taqwim) (QS. Al-Tin: 4), namun di sisi lain manusia mempunyai peluang menjadi manusia hina dina bahkan lebih hina dibanding binatang ternak sekalipun (QS. Al-‘Araf: 179).

Dalam konteks inilah, Al-Qur’an diturunkan Allah ke permukaan bumi melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw. sebagai guidance untuk menjadikan manusia bermartabat. Barang siapa yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an dipastikan menjadi masyarakat bermartabat.

Sebaliknya, barang siapa yang tidak mengikuti petunjuk Al-Qur’an maka akan menunggu saat kehancuran. Lalu, bagaimana konsep Al-Qur’an tentang manusia bermartabat, relevansi dan kontekstualisasi pada saat ini?

Paling tidak, dasar pemikiran itulah yang menjadikan panitia Seminar Al-Qur’an dalam rangkaian kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XXXVIII Provinsi Sumatera Utara Tahun 2022 yang dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, 20-30 Maret 2022.

Al-Qur’an dan Visi Kemartabatan

Visi kemanusiaan adalah konsekwensi dari makhluk yang paling mulia. Paling tidak, terdapat dua (2) ayat yang secara tegas menjelaskan tentang kemuliaan manusia.

Pertama, terdapat dalam Surah Al-Isra’ 70, Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (QS. Al-Isra’:70).

Sedangkan ayat kedua, terdapat dalam surah Al-Tin: 4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Pada surah pertama, sebagian ulama menafsirkan, bahwa Allah memuliakan manusia tidak hanya dengan tubuh yang bagus, lengkap dan serasi, namun kemuliaan manusia terdapat dari kemampuan berpikir, kebebasan berkehendak, dan ilmu pengetahuan”.

Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menekankan pada aspek fisik, namun juga pada kemampuan berkreasi disebabkan kebebasan berkehendak dan potensi ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Sedangkan pada Surah yang kedua (Surah Al-Tin: 4) penekanannya pada lanjutan ayat tersebut, ayat 6 yakni beriman dan beramal sholeh.

Dengan demikian, manusia yang bermartabat paling tidak ditandai dengan keimanan, orientasi kehidupan pada hal ilmu pengetahuan dan daya kreatifitas manusia. Tidak hanya itu, manusia yang bermartabat adalah manusia yang secara ril telah mampu berbuat untuk manusia dalam alam sekitarnya yang dibuktikan dengan bekas-bekas (atsar) peradaban yang ditinggalkannya (Lihat QS. Yasin: 12) dengan cara menyebut asmaNya (QS. Al-‘Alaq: 1)

Orientasi terhadap terhadap ilmu pengetahuan seharusnya menjadikan umat Islam sebagai ummat pembelajar. Seluruh ruang dan waktu digunakan untuk mempelajari ciptaaan Tuhan yang terdapat pada alam semesta.

Lebih dari itu, pembelajaran yang dilakukan bukan hanya untuk sekedar memuaskan hasrat fikiran tentang apa yang dilihat, ilmu pengetahuan yang explore seharusnya membuat dan menambah keyakinannya terhadap siapa yang menciptakan seluruh alam, yakni Allah Swt. Sampai di sini, ilmu harus berdampak terhadap keimanan dan akhlak manusia.

Lebih lanjut, konsekwensi dari ilmu dan iman terwujud dalam kerja nyata (amalu al-shalihat). Kerja nyata dapat dilihat dari tingkat kemakmuran manusia di bumi. (QS. Hud: 61). Memakmurkan bumi dapat terwujud dengan melakukan manajemen sumber daya manusia, dan sumber daya alam serta merawatnya dengan baik tanpa merusaknya.

Orientasi Prestasi

Dalam konteks inilah, tema MTQN Tingkat Provinsi Sumatera Utara “Dengan Al-Qur’an Kita Raih Prestasi Emas Menuju Sumatera Utara Bermartabat” relevan untuk diusung. Betapa tidak, martabat manusia tergantung pada seberapa besar prestasinya dalam kehidupan ini.

Prestasi yang dimaksud adalah prestasi mewujudkan kebaikan, kedamaian, ketentraman, kesejukan yang merupakan konsekwensi dari tugas dan fungsi kekhalifahan di muka bumi (QS. Al-BAqarah: 30).

Saat ini umat Islam dituntut untuk membuat sejumlah prestasi saat kondisi kehidupan manusia diterpa dengan berbagai persoalan yang semakin akut saja. Sebut saja dari persoalan Pandemi yang terus berantai dan berkepanjangan, peperangan antar negara telah dimulai, lain lagi persoalan kemiskinan dan kemelaratan, tidak hanya itu persoalan kekerasan atas nama agama juga masih mengemuka.

Dengan orientasi prestasi, umat Islam diharapkan menjadi garda dalam menggali ilmu pengetahuan untuk meretas dan mengantisipasi penyakit yang meluluhlantakkan kehidupan. Saat Covid-19 dengan “segala turunannya” mengamuk, maka seyogyanya umat Islam bergiat untuk mencarikan obat dan amtibodinya.

Umat Islam seyogyanya menjadi pionir terdepan dalam perdamaian manusia dimana kondisi peperangan telah dimulai di berbagai belahan dunia.

Dalam konteks isu nasional misalnya, umat Islam harus mampu mengukir prestasi dalam menjadikan bumi pertiwi bumi yang damai dan akur-akur saja. Rekatan keharmonisan di antara anak bangsa seharusnya semakin dieratkan.

Lebih dari itu, umat Islam dituntut menjadi negarawan yang mampu membawa bangsa ini keluar dari persoalan-persoalan domestik menuju masyarakat aman, damai dan sejahtera di bawah ampunan Allah SWT (Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur).

Untuk meraih prestasi dan masyarakat bermartabat, kembali kepada Al-Qur’an adalah kata kuncinya. Petunjuk Al-Quran harus menjadi nafas kehidupan kita dimanapun dan kapanpun. Karenanya, momentum MTQN yang telah menjadi agenda nasional setiap tahunnya harus dijadikan momentum kebangkitan prestasi ummat Islam.

MTQN harus berdampak terhadap pembentukan karakter manusia pembelajar (learning society), yang mempunyai semangat untuk selalu mengukir prestasi-prestasi yang membanggakan. Semoga dengan MTQN ke 28 tingkat Sumatera Utara, keberkahan Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dengan terwujudnya masyarakat bermartabat. Amin. WASPADA

Penulis adalah Dosen UIN SU.

  • Bagikan