Buya Berhati Lapang (Resensi Buku)

  • Bagikan

Oleh Darwin Salim Sitompul

Judul : BUYA HAMKA, Serangkai Makna di Mihrab Ulama
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2022
Tebal Buku : xxii + 338 halalam
Dimensi Buku : 13,5 x 20,5 cm
ISBN : 978-623-279-137-4

“Karena kau adalah ulama, Malik, bukan orang politik. Ulama tak boleh berdekat-dekat dengan penguasa, apalagi penguasa yang penjajah. Itu menyakiti perasaan rakyat” (hlm. 54).

Peringatan itu diberikan kepada Buya Hamka oleh ayahnya ketika beliau – sebagai konsul Muhammadiyah Sumatera Timur – memilih untuk berkolaborasi dengan Jepang.

Itu cuplikan dari novel sejarah/biografi yang ditulis dengan menarik sekali oleh Akmal Nasery Basral mengenai kehidupan salah seorang pahlawan nasional, Buya Hamka. Buku ini adalah buku kedua dari dwilogi. Buku pertama berjudul “BUYA HAMKA; Setangkai Pena di Taman Pujangga”, juga diterbitkan oleh penerbit yang sama (2020) yang berkisah tentang kehidupan buya sejak lahir hingga berusia tiga puluh tahun. Buku kedua ini menuturkan kisah sepak terjang sang ulama-pujangga dari umur 31 tahun hingga wafatnya pada tahun 1981.

Pada kurun waktu itu, terjadi paling tidak lima babak sejarah di Indonesia, mulai dari masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa perjuangan kemerdekaan, masa pemerintahan orde lama, dan masa orde baru. Bagaimana peran Hamka di setiap babak itu dituturkan penulis dengan referensi yang jelas. Sehingga, dengan membaca buku ini, kita seperti sedang membaca sejarah Indonesia yang dituturkan dengan bahasa yang renyah, bahasa novel.

Karena itu kita lebih mudah memahaminya. Bahkan, penulis justru mengemukakan berbagai informasi yang, paling tidak bagi saya, sulit didapatkan dari sumber lain. Di antaranya adalah, bahwa kaum komunis di Indonesia juga pernah melakukan pemberontakan di Silungkang, Sumatera Barat, pada 1 Januari 1927. Para penggerak pemberontakan itu sebagian dihukum gantung di bulan Maret 1927 di penjara Sawahlunto dan sebagian lagi dibuang ke Digul.

Sementara sebagian lain penggerak dan penanggung dana tak tersentuh, rakyat Silungkang yang tidak ikut gerakan itu justru menanggung siksaan, ditembak mati, dan semakin ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda (hlm. 12-16). Yang menarik juga adalah informasi yang dikemukakan oleh Hamka mengenai alasannya tidak bersedia untuk hadir pada acara penyambutan kenegaraan kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia pada tahun 1970 (hlm. 233-234).

Tak kalah menariknya adalah informasi bahwa buya Hamka, pada waktu kunjungannya ke Amerika Serikat tahun 1952 melihat di Gedung Pengadilan New York City, pada atap gedung Divisi Banding yang merupakan bagian dari Mahkamah Agung, berdiri patung pualam dari 10 sosok historis dalam bidang penegakan hukum, satu di antaranya adalah “patung yang menyimbolkan umat Islam, yakni patung yang dianggap melambangkan nabi Muhammad”.

Patung-patung telah berdiri sejak tahun 1902 untuk menghormati umat Islam. Padahal dalam ajaran Islam wajah nabi tidak boleh digambar apalagi dibuatkan patungnya. Buya meminta Duta Besar Indonesia pada waktu itu, yakni Ali Sastroamijoyo, untuk memajukan protes. Buya menyadari bahwa pengetahuan orang-orang Amerika tentang Islam masih sangat dangkal.

“Sekarang saya tahu bahwa bangsa Amerika ini sebetulnya tidak punya maksud menghina umat Islam. Mereka justru ingin mendekati dan bersahabat dengan umat Islam. Namun, karena pengetahuan mereka masih sedikit, apa yang mereka niatkan sebagai penghormatan itu justru bisa merusak tujuan yang ingin dicapai (hlm.111-115). Baru pada tahun 1953, KBRI memajukan protes dan meminta agar patung itu ditiadakan. Protes yang sama juga dimajukan oleh Kedutaan Besar Mesir dan Pakistan. Pada tahun 1955 gedung itu selesai direnovasi dan patung itu tidak lagi dipajang. Hal itu menjadi salah satu arti penting kunjungan Hamka ke Amerika Serikat (hlm. 116-117).

Namun, yang membuat novel ini menjadi sangat menarik adalah cukilan-cukilan kehidupan pribadi buya sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah, dan sebagai seorang kakek. Bagaimana dalam kehidupannya yang super-sibuk, dia masih punya waktu mengajarkan pada cucunya cara memakan pangek ikan bandeng tanpa terganggu oleh durinya (hlm. 300).

Begitu juga, dalam mengambil keputusan-keputusan penting ia selalu menanyakan dan menghargai pendapat isterinya Siti Raham. Termasuk ketika harus memilih apakah akan berhenti sebagai pegawai negeri atau berhenti menjadi politikus partai, akibat keluarnya peraturan Presiden Soekarno yang mengharuskan pegawai negeri golongan F tak boleh merangkap sebagai anggota partai politik (hlm. 141-143).

Bagaimana kerendah-hatian Buya serta kemampuan silatnya dituturkan dengan manis pada sebuah peristiwa ketika buya dan anaknya pulang dari satu kegiatan di Bandung memilih untuk naik bus umum, dan ketika istirahat untuk sholat di sebuah mushala, mereka diancam tiga berandal dengan pisau untuk merampas dompet buya. Tapi apa yang terjadi? Dalam usia yang sudah cukup tua itu, dengan kesigapan seorang pesilat kawakan, sang berandal malah sudah ditaklukkan buya dalam sekejap mata (hlm. 127-128).

Hamka juga adalah tokoh yang berhati lapang, dan berjiwa besar. Meskipun dia pernah dipenjarakan Soekarno, ketika sang proklamator itu wafat dia bersedia memenuhi permintaan Soekarno untuk mengimami sholat jenazahnya. Presiden Soeharto mengirim asisten pribadinya menjemput buya untuk menjadi imam shalat jenazah Bung Karno di Wisma Yaso, yang menurut pak Harto adalah atas permintaan Bung Karno sendiri (hlm. 222-223).

Begitu juga, meskipun Muhammad Yamin bermusuhan dengannya, namun buya tetap bersedia mendampingi Yamin menghadapi saat-saat ajalnya dan setelah meninggal dunia mengantarkannya ke Talawi, Sumatera Barat, untuk dimakamkan sesuai dengan permintaan almarhum (hlm. 166-169). Pada waktu buya menjadi anggota konstituante, dia berpidato mewakili partai Masyumi. Isi pidatonya itu membuat Prof. Mr. Muhammad Yamin murka dan sangat membencinya bahkan “menolak berdekatan dengan Hamka dengan selalu menjaga jarak” (hlm. 139).

Bahkan, ‘musuh besar’-nya dalam dunia sastra, Pramudya Ananta Toer, ketika anaknya akan menikah, meminta buya Hamka yang membimbing calon suaminya menjadi muallaf. Dan, buya memenuhinya. Padahal, Pramoedya adalah orang yang getol sekali menuduh bahwa karya besar buya Hamka yakni “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” adalah karya plagiasi. Tuduhan itu memang dengan telak disanggah oleh HB Jassin (hlm. 163-165 dan hlm. 169-171).

Buya Hamka juga bukan orang yang suka memperoleh jabatan, pangkat, atau kedudukan. Penulis buku ini, Akmal Nasery Basral, dengan tegas menuturkan bahwa buya menolak ketika ditawari jabatan sebagai duta besar untuk Arab Saudi (hlm. 235). Dia juga menolak ketika Jenderal A. H. Nasution bermaksud menganugerahinya pangkat Mayor Jenderal Tituler (hlm. 237). Penolakan-penolakan ini juga dilakukan buya setelah berkonsultasi dengan isterinya, Siti Raham.

Sungguh, ini adalah novel biografi yang sekaligus novel sejarah yang sangat direkomendasikan untuk dibaca sekarang ini.

Peresensi adalah Pensiunan Guru Besar USU.

  • Bagikan