Di Balik Koalisi Partai Politik

  • Bagikan

Oleh Dr Warjio

Koalisi partai politik sesungguhnya tugas utamanya adalah mengeksploitasi keuntungan. Di samping itu, untuk meminimalkan atau menghilangkan keuntungan orang lain (William H. Riker, 1962)

Menjelang Pemilu 2004 Indonesia, fenomena upaya koalisi partai politik tidak mengemuka. Pimpinan partai politik bergerak aktif mengkomunikasikan koalisi ini dalam berbagai kesempatan dan keadaan. Setidaknya kita bisa mengklasifikasikannya dalam tiga koalisi besar yang muncul. Pertama, koalisi, Partai Golkar, PPP dan PAN.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bertemu dengan Ketua Umum PAN dan PPP di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (12/5/2022). Usai pertemuan itu, Airlangga menyatakan partainya menjajaki koalisi dengan PAN dan PPP untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Partai Golkar, PAN, dan PPP sepakat membentuk Koalisi Indonesia Bersatu menjelang Pemilu 2024. Koalisi Indonesia Bersatu dibentuk sebagai langkah awal menjelang Pemilu 2024. Komitmen dari tiga partai ini juga menandakan adanya keseriusan untuk membangun ide dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Komitmen kerja sama 3 partai politik, yaitu Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pertemuan tanggal 12 Mei 2022 merupakan langkah awal bagi terbangunnya koalisi bersama partai politik menjelang Pemilu 2024. Ketiga partai politik itu sudah memiliki pengalaman dalam dinamika politik bangsa dan pemerintahan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan membangun Koalisi Indonesia Bersatu.

Ketiga partai politik telah memiliki pengalaman dalam pemerintah dan dalam dinamika politik bangsa. Dengan visi partai yang dimilikinya dan berbagai pengalaman politik, kesemuanya bersepakat untuk menyatukan diri membangun koalisi yang disebut Koalisi Indonesia Bersatu.Berdasarkan lama KPU, dari hasil Pemilu 2019, Partai Golkar memperoleh 12,15% suara, PAN 6,74%, dan PPP 4,51%. Jadi, total peroleh suara koalisi ini 23,4%, melampaui presidential threshold 20%.

Kedua, Koalisi PDIP dan Partai Gerindra, ditambah PKB. Hubungan PDIP dan Gerindra beserta para petingginya diketahui belakangan ini cukup dekat dan harmonis. Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengungkapkan hubungan Gerindra dengan PDIP cukup bagus. Muzani menyebut kondisi hubungan Gerindra dan PDIP menjadi modal untuk membangun koalisi.

Berdasarkan laman KPU, dari hasil Pemilu 2019, PDIP memperoleh 19,91% suara, Partai Gerindra 12,51%, dan PKB 9,72%. Jadi, total perolehan suara jika koalisi ini terjadi adalah 42,14%, melampaui presidential threshold 20%. Namun, PDIP sesungguhnya juga dapat mengusungcapres-cawapressendiri.

Koalisi ketiga, yang diprediksi bakal terbentuk adalah koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS. Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY saat menemui Ketum NasDem Surya Paloh menyebut membuka peluang koalisi. AHY menekankan perlunya membangun komunikasi yang baik di antara partai politik menjelang Pemilu 2024.

Dia menyebut Demokrat dan NasDem memiliki kesamaan tujuan, yakni meningkatkan elektoral dan menyukseskan Pemilu.Hubungan NasDem dengan PKS cukup baik. Diketahui Surya Paloh beberapa kali bertemu dengan Presiden PKS. Sedangkan hubungan Demokrat dengan PKS juga cukup kompak. Kedua partai konsisten sejak 2014 beroposisi dengan pemerintahan Presiden Jokowi.

Berdasarkan laman KPU, dari hasil Pemilu 2019, NasDem memperoleh 8,81% suara, Demokrat 7,64%, dan PKS 8,19%. Jadi, total peroleh suara jika koalisi ini terjadi adalah 24,64% atau melampaui presidential threshold 20%.

Di Balik Koalisi Partai Politik

Rencana koalisi partai politik yang digagas pimpinan partai—jika itu terjadi jelas menunjukkan kepada kita bahwa sesungguh partai politik memerlukan upaya bersama untuk menjadi kekuatan politik yang berujung pada pembentukan pemerintahan setelah proses Pemilu dilaksanakan.

Kebersamaan menjadi kata kunci—di samping tentu saja memenuhi tuntutan praturan undang-undang yang mengharuskan mereka untuk melakukan koalisi.

Namun demikian, secara kritis perlu kita ajukan juga pertanyaan, mengapa koalisi partai politik dibentuk dan apa kepentingan disebaliknya di tengah persoalan dan tantangan praktek politik kita?

Koalisi Parpol sebenarnya adalah perhitungan peluang yang dimiliki setiap pemain (elit partai politik) berdasarkan aturan menduduki posisi penting dalam pembentukan koalisi. Posisi penting didefinisikan sebagai yang ditempati oleh anggota terakhir yang ditambahkan dari koalisi minimal.

Koalisi pemenang minimal adalah koalisi yang tidak lagi ada menang jika salah satu anggota dikurangi. Koalisi partai politik sesungguhnya tugas utamanya adalah mengeksploitasi keuntungan. Di samping itu, untuk meminimalkan atau menghilangkan keuntungan orang lain (William H. Riker, 1962).

Karena itu, koalisi memerlukan manajemen dan reformulasi yang konstan. Faktor ini memiliki pengaruh yang menentukan pada efektivitas pemerintah nasional. Dua aspek pertanyaan—teoretis dan praktis—munculnya partai utama secara nasional, bersaing dengan satu sama lain untuk mengendalikan aparatus kekuasaan negara perlu dieksplorasi secara sistematis. Penekanan di sini adalah pada proses penempaan politik aliansi untuk menyoroti beberapa aspek krusialnya (Paul Wallace & Ramashray Roy, 2011).

Perjalanan rencana koalisi politik, “ tiga aliran” menjelang Pe ilu 2024 di atas masih penuh dinamika. Namun koalis partai menyiratkan keinginan anggota koalisi bukan saja untuk menentukan sikap akan tetapi rencana ke depan yang mungkin akan di dapat.

Jujur—jika pun tiga aliran koalisi Parpol tersebut terbentuk, tidak dengan mudah untuk mereka mengekspresikannya di depan publik, Sebab, alatar belakang ideologi, partisipanyanya dalam pemerintahan serta tuntutan kepentingan internal akan menjadi catatan serius yang perlu diperhatikan. PAN, PPP ataupun Partai Golkar, jelas berbeda dari sisi ideology dan latar belakang pendukung. Demikian juga PKS, Nasdem dan disisi lain Geindra, PKB dan PDIP.

Di sisi lain, politik elektoral di abad ke-20 telah dicerminkan oleh proyek pembangunan didorong oleh sistem dominan satu pihak. Politik sejak tahun 1998 mendefinisikan kembali peran partai politik nasional dan daerah, karena mengubah isi wacana elektoral dan penggunaan ideologis sesuai kenyamanan.

Tradisi ketegangan antara politik negara, politik kerakyatan, dan politik rakyat. Ini juga berkaitan dengan politik “kehadiran” dan “representasi” dalam interaksi mereka dengan demokrasi, otonomi, dan keragaman sebagaimana tercermin dalam Pemilu.

Untuk melakukan tugas ini, ada kebutuhan untuk menangkap spektrum perubahan hubungan interaktif antara partai politik, warga negara, dan pengambil kebijakan dalam merumuskan dan menetapkan agenda pemerintahan. Hubungan interaktif ini membentuk sifat dan tingkat partisipasi politik warga negara, daerah, dan keanekaragamannya.

Semua pertimbangan ini sangat penting implikasi untuk otonomi, sistem pemilihan, dan demokrasi sosial dalam hal taruhan perpecahan sosial dalam pengambilan keputusan politik, dan tingkat inklusivitas sosial dan ekonomi.

Telah dikemukakan bahwa praktik demokrasi memiliki domain pilihan yang terbatas pada mereka yang memerintah dan mereka yang memanfaatkan pemerintahannya. Keduanya telah memasuki hubungan kolaboratif dan muncul sebagai penjaga negara membentuk istilah wacana politik di bawah panji “politik negara”.

Orang-orang di pinggiran, di luar dunia praktik demokrasi membutuhkan sumbangan untuk kelangsungan hidup mereka yang disediakan oleh politik elektoral, yang menjadi andalan mereka, meminjamkan konten untuk apa yang dikenal sebagai “politik populis.”

Ini telah memberikan dominan ruang dalam politik arus utama untuk koalisi kepentingan dalam negasi untuk partisipasi warga negara, keragaman, dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Ketegangan ini telah tercermin dalam hubungan dikotomis antara politik populis dan politik negara.

Selain itu, mereka juga memberikan masukan dan mempengaruhi perumusan kebijakan dan program. Sampai batas tertentu, transformasi dalam nasib partai politik ini terjadi secara bertahap, tapi tidak sedikit. Ini menandakan tidak hanya pola fluktuasi berulang dalam nasib berbagai pihak, tetapi juga kadang-kadang radikal pergeseran pola distribusinya.

Ini memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana pemerintah dibentuk, apa tujuannya, dan untuk apa sejauh itu berhasil. “Politik Kehadiran” telah melampaui politik ide, nilai, dan tujuan. Hasil dari kebimbangan ini adalah bahwa perbedaan ideologi antara partai politik telah kabur sementara perbedaan antara “populis” dan “negara” politik” menjadi lebih nyata.

Kenyataan ini tentu saja akan menjadi latar belakang yang bakal terjadi dan harus dihadapi dalam pementukan koalisi partai sebagaimana adanya keinginan elit partai politik.

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, Fisip USU.

  • Bagikan