Etika Berpolitik

  • Bagikan

Oleh M Ridwan Lubis

Apabila model transaksi berpolitik masih berbeda antara permukaan dan di bawah meja, kehidupan masyarakat tidak akan semakin membaik. Karena masyarakat mulai dilanda sikap apatis terhadap ketulusan etika berpolitik berdemokrasi

Masyarakat tradisi adalah kumpulan pribadi yang mengikatkan dirinya kepada tradisi budaya pada masa lalu. Masyarakat tradisi melihat alam sekelilingnya didasarkan kepada suasana harmoni alam bergerak menurut alurnya masing-masing sehingga tidak terjadi gesekan antara satu dengan yang lain.

Dan dalam kultur tradisi itulah bersemai nilai-nilai keberagamaan yang ditandai antara lain terbentuknya keserasian lingkungan. Keserasian lingkungan tidak hanya terjadi di dalam flora tetapi juga fauna. Kelompok fauna yang bertebaran masing-masing berupaya sekuat tenaga agar bisa bertahan hidup di tengah persaingan dengan sesama fauna baik jenis yang sama  maupun yang berbeda.

Tuhan menciptakan fauna dalam berbagai bentuk disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Belum tentu kelompok fauna yang besar bentuk fisiknya akan bisa secara sendiri menjadi raja yang memonopoli seluruh sumber daya. Karena betapapun fauna yang besar juga memiliki kelemahan dibanding hewan yang lebih kecil postur tubuhnya.

Demikian juga kehidupan flora yang penuh keragaman baik bentuk maupun corak warnanya. Namun semua keragaman flora akan saling menopang dan memperkuat. Bahkan bukan hanya keserasian bentuk tetapi juga corak warna yang berbeda semuanya menunjukkan suasana keserasian warna sehingga saling melengkapi keragaman bunga pada  sebuah taman dan akhirnya keragaman jenis maupun warna bunga kemudian dijuluki sebagai taman perdamaian.

Namun sejalan dengan terjadinya proses transformasi masyarakat dari tradisi-agraris menuju masyarakat industri-modern akan berpeluang terjadi perubahan cara pandang terhadap format etika berpolitik. Sudah menjadi naluri setiap warga masyarakat memiliki acuan terhadap konfigurasi nilai-nilai yang mencakup nilai-nilai dengan pasangannya masing-masing seperti nilai agama-seni, ilmu-teknik, dan ekonomi-politik.

Ketika masyarakat diikat kultur agraris-tradisional, etika masyarakat diliputi semangat kebersamaan dalam berbagai urusan sosial sebagai akibat dari dominasi solidaritas mekanik dalam kehidupan masyarakat. Kultur solidaritas mekanik adalah  integrasi nilai-nilai spiritualitas terhadap kepemimpinan masyarakat.

Seorang yang dipilih menjadi pemimpin berpandangan bahwa bobot dari tugas mengemban kepemimpinan  lebih dipandang sebagai beban kewajiban sehingga pemimpin yang diliputi kultur yang demikian berupaya menggerakkan semua komponen masyarakat terlibat aktif dalam proses misi kepemimpinan. Hal itu didasarkan bahwa masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai pemilik saham setiap struktur kepemimpinan.

Tetapi dengan terjadinya perubahan kultur masyarakat menjadi industri-modern, pola pemikiran masyarakat mengalami perubahan. Solidaritas yang menjadi dasar kepemimpinan berubah menjadi solidaritas organik yang didasarkan kepada profesionalitas sehingga menghasilkan kepemimpinan kelompok.

Atas dasar itu, masyarakat terpilah antara kelompok lingkaran pemimpin dan lingkaran luar struktur kekuasaan. Kelompok lingkaran pemimpin berupaya menghimpun semua potensi sumber daya sebaliknya kelompok yang berada di luar berupaya mengambil hati massa dengan menyuarakan kepentingan massa.

Karena kepemimpinan pada mulanya dibangun secara solidaritas organik maka rakyat yang dipimpin juga ikut mengalami perubahan. Mereka menyadari bahwa mereka ikut memiliki saham dalam proses terjadinya peralihan kepemimpinan. Sebenarnya saham itu juga terdapat pada masyarakat agraris-tradisional yang harus dibayaroleh seorang pemimpin.

Pada solidaritas mekanik, imbalan keberhasilan adalah setelah pemimpin menduduki singgasana kepemimpinannya. Dan juga, proses pembayaran bukan kepada pribadi tetapi terwujudnya program pembangunan yang dinikmati secara bersama oleh rakyat.

Sebaliknya pada masyarakat industrial-modern juga meminta imbalan kontribusi mereka terhadap seorang pemimpin yang terpilih namun bentuknya bukan pada program pembangunan akan tetapi imbalan secara tunai dari pribadi yang menjadi pemimpin.

Ketika masyarakat mulai mengalami proses transformasi dari masyarakat tradisi menjadi modern, maka terjadi pula perubahan pada tokoh yang dipandang menjadi representasi masyarakat. Ketika pada masyarakat agraris, tokoh representasi masyarakat biasanya diwakili para tokoh agama dan budaya karena memiliki kharisma.

Kharisma diperoleh melalui ketokohan mereka  melalui dua wibawa yaitu kekuatan spiritualitas (spiritual power) dan keterampilan profesional (temporal power). Dua kekuatan ini merupakan nilai andalan yang menempatkan mereka sebagai sumber referensi sosial.

Maka tidak jarang kepemimpinan mereka diberi label baru yaitu demokrasi yang berciri ketuhanan (teo-democracy). Mereka dengan tulus menyumbangkan dukungan kepada seorang calon yang diperjuangkan menjadi pemimpin dengan titipan harapan agar nilai-nilai demokrasi ketuhanan yaitu kejujuran, keadilan dan persamaan bisa terwujud sehingga kehidupan masyarakat lebih aman, damai dan sejahtera.

Ketika beralih kepada kehidupan modern, terjadi perubahan dasar pertimbangan kepemimpinan tradisional-agraris. Pola berpikir masyarakat berubah menjadi semakin pragmatis dalam kegiatan berpolitik yaitu pertimbangan untung-rugi. Karena itu apabila sebelumnya partisipasi dalam kegiatan politik didasarkan pertimbangan etika yang luhur kemudian berubah. Karena etika hanya basa-basi di atas permukaan sedang transaksi sesungguhnya ada di bawah meja  sebagai imbalan dukungan dari jumlah suara.

Apabila model transaksi berpolitik masih berbeda antara permukaan dan di bawah meja, kehidupan masyarakat tidak akan semakin membaik. Karena masyarakat mulai dilanda sikap apatis terhadap ketulusan etika berpolitik berdemokrasi. Karena itu, sudah waktunya direnungkan kembali untuk mengembalikan kultur etika berdemokrasi kepada tujuan semula yaitu menempatkan semua warga masyarakat berada pada kedudukan, hak dan tanggung jawab yang sama.

Dasar pertimbangan menetapkan pilihan kepada seorang calon pemimpin semata-mata untuk kemaslahatan seluruh warga masyarakat yang akan dipimpinnya bukan hanya  kepentingan segelintir masyarakat.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • Bagikan