Golput & Partai Mahasiswa Indonesia

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Mayoritas mahasiswa Indonesia yang dahulu memimpin gerakan Golput, dan mahasiswa Indonesia saat ini, rasanya dapat setuju pendapat John F. Kennedy. Golput, apalagi Golput Ideologis, pasti membengkak di tengah kepercayaan kepada sistim yang terus memburuk dan ketakpastian nasib bangsa semakin menjadi-jadi

Masih ingat Golongan Putih (Golput)? Sebuah penamaan atas gerakan protes mahasiswa dan dewasa muda menentang pelaksanaan Pemilu 1971 (Pemilu pertama era Orde Baru). Diksi “putih” bermakna dorongan mencoblos bagian putih pada surat suara di luar gambar Parpol peserta Pemilu saat berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Jenis Golput dipilah menjadi Golput Teknis, Golput Pemilih Hantu, Golput Pragmatis, Golput Politis, dan Golput Ideologis. Golput Teknis ialah kegagalan menyalurkan hak pilih karena tidak bisa datang ke TPS, keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah, atau nama pemberi suara tidak terdaftar sebagai pemilih.

Disebut Golput Pemilih Hantu (ghost voter) karena nama-nama yang ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak memenuhi syarat (sudah meninggal, terdaftar ganda dan sudah mencoblos di tempat lain).

Golput Pragmatis dimaksudkan ketika orang tidak ikut mencoblos karena menganggap Pemilu tidak memberi manfaat langsung. Juga karena merasa tak akan berpengaruh atas perubahan yang didambakan.

Jenis Golput Politis dengan karakteristik umum percaya pada negara dan Pemilu, meski tak merasa memerlukan berhubung kandidat-kandidat kontestatif dinilai tidak mampu memahami aspirasi mereka.

Golput Ideologis tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang berlaku. Dalam pandangan kelompok ini negara lebih menunjukkan diri sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan kedaulatan rakyat hanya hiasan semantik belaka.

Fenomena Golput sama sekali tak dapat dilepaskan dari konteks sejarah protes mahasiswa global sekitar tahun 1960-an yang letusannya diakui semua pihak (Martin Klimke, The Other Alliance: Student Protest in West Germany and the United States in the Global Sixties, 2010).

Laporan Central Intelligence Agency (CIA), “Restless Youth: The CIA, Socialist Humanism, and Yugoslavia’s 1968 Student Protests” yang terbit September 1968 juga menyatakan hal yang sama. Kerusuhan di Berlin Barat, Paris dan New York, dan aksi duduk di lebih dari dua puluh negara lain selama beberapa bulan, mengglorifikasi aktivis mahasiswa dalam perhatian besar dunia.

Dewasa muda memberontak terhadap apa yang mereka lihat sebagai nilai-nilai dan praktik politik tradisional yang sudah ketinggalan zaman, sembari mengungkapkan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Gerakan tahun 1960-an bahkan melampaui tembok tebal pembatas ideologis perang dingin, karena bukan hanya “Dunia Pertama” kapitalisme Barat yang menjadi sasaran, tetapi juga “Dunia Kedua” dari blok Komunis dan “Dunia Ketiga” di Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

Menggambarkan protes tahun 1960-an sebagai sebuah revolusi dalam sistem dunia, Martin Klimke mengutip ucapan pemimpin mahasiswa Prancis (Daniel Cohn-Bendit): “Paris, Berlin, Frankfurt, New York, Berkeley, Roma, Praha, Rio, Mexico City, Warsawa, semua tempat itu adalah arena pemberontakan yang membentang di seluruh dunia dan merebut hati dan impian seluruh generasi.

Tariq Ali, pemimpin mahasiswa dari Inggeris, bahkan menyamakan dampak gerakan protes tahun 1960-an itu dengan badai, yang melanda dunia tak terkecuali banyak negara di Asia, Eropa, dan Amerika.

Ingatlah ketika 26 Oktober 1963, di Amherst College, John F. Kennedy berkata bahwa “orang-orang yang menciptakan kekuasaan memberikan kontribusi yang sangat diperlukan bagi kebesaran bangsa. Tetapi orang-orang yang mempertanyakan kekuasaan memberikan kontribusi yang sama pentingnya. Karena merekalah yang menentukan apakah kita menggunakan kekuasaan atau kekuasaan menggunakan kita”.

Mayoritas mahasiswa Indonesia yang dahulu memimpin gerakan Golput, dan mahasiswa Indonesia saat ini, rasanya dapat setuju pendapat John F. Kennedy. Apalagi Golput Ideologis, pasti membengkak di tengah kepercayaan kepada sistim yang terus memburuk dan ketakpastian nasib bangsa semakin menjadi-jadi.

Betul bahwa gerakan protes mahasiswa penuh dengan ancaman keselamatan diri. secara tegas tak menafikannya. “Anda (wahai penguasa, pen) bisa membuat percikan api di mana saja (menentang gerakan, pen). Ada pengertian universal yang fantastis bahwa apa pun yang kami lakukan benar, bahwa kami berhak menang…. . rasa kemenangan yang tak terhindarkan atas Kekuatan Lama dan Jahat. . . . Kami memiliki semua momentumnya; kami berselancar di atas puncak ombak yang tinggi dan indah” (Hunter S. Thompson, Fear and Loathing in Las Vegas, 1971).

Ucapan bernas dari Rudi Dutschke saat wawancara TV, 3 Desember 1967 tampaknya memiliki bumi berpijak di hati mahasiswa Indonesia hari ini: “Kami bukan idiot sejarah yang putus asa…. kami dapat menciptakan dunia yang belum pernah dilihat sebelumnya; dunia yang membedakan dirinya dengan tidak mengenal perang lagi, dengan tidak lapar lagi, di seluruh dunia. Ini adalah kesempatan bersejarah kita”.

Karena itu terpaan yang diterima oleh gerakan mahasiswa Indonesia justru akan dapat mempertinggi motivasi juang meski bagian ini benar-benar merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh bagian lain yang berhasil dibujuk masuk ke Partai Mahasiswa Indonesia (PMI).

Dewasa muda yang kecewa, dan bahkan terkadang merasa harus mengorganisasikan kemarahan, tidak mungkin mempertimbangkan pilihan politik ketika mereka merasa sistim sudah begitu buruk. Dalam kasus Indonesia nyaris tiadanya partai politik yang terpercaya yang malah menyerahkan pengabadian nasib buruk demi koalisi, cukup signifikan membentuk resistensi jika bukan perlawanan.

Problem keterbelahan mahasiswa Indonesia saat ini berakar pada pragmatisme yang bisa dibentuk oleh kekuasaan pada kubu yang sesungguhnya begitu terkejut ketika mendadaksontak merasa telah bisa dengan begitu mudahnya naik kelas menjadi calon-calon penguasa yang (berharap) tak lama lagi akan berkolaborasi dengan oligarki.

Jurgen Habermas (Toward A Rational Society Student Protest, Science, And Politics” Beacon Press, Boston, 1969) menawarkan tiga penjelasan yang secara metodologis memungkinkan untuk lebih memahami mahasiswa sebagai warga negara istimewa karena protes mereka.

Pertama, mahasiswa yang protes adalah kelompok istimewa di tengah masyarakat dan zamannya. Mereka tidak memajukan kepentingan yang dapat saja dinegosiasikan. Sebagian besar tidak berasal dari golongan mahasiswa yang bergerak ke atas.

Kedua, untuk alasan yang masuk akal, legitimasi yang ditawarkan oleh sistem politik tampaknya tidak cukup meyakinkan kelompok ini. Program pengganti negara kesejahteraan untuk ideologi borjuis yang bobrok mengandaikan status dan orientasi pencapaian tertentu.

Justru, jika dibandingkan dengan mahasiswa lain, para aktivis mahasiswa ini kurang tertarik pada karir profesional dan masa depan keluarga.

Prestasi akademik mereka, yang cenderung di atas rata-rata, dan asal-usul sosial mereka tidak mempromosikan cakrawala harapan yang ditentukan oleh urgensi yang diantisipasi dari angkatan kerja.

Aktivis yang relatif lebih sering terbiasa dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, cenderung kebal terhadap kesadaran teknokratis karena, meskipun untuk berbagai motif, pengalaman mereka dalam karya intelektual mereka sendiri tidak sesuai dengan asumsi teknokratis dasar yang digembar-gemborkan.

Ketiga, di antara kelompok ini, konflik tidak dapat pecah karena luasnya disiplin dan beban yang diemban. Mahasiswa tidak berjuang untuk ketakutan yang lebih besar dan imbalan sosial dalam kategori umum, karena pada sisi tertentu protes mereka malah lebih ditujukan terhadap kategori penghargaan itu sendiri.

Ada pendapat bahwa jumlah kekayaan sosial yang dihasilkan oleh kapitalisme industri maju dan kondisi teknis dan organisasional tempat diproduksinya semua kekayaan itu membuat semakin sulit untuk menghubungkan penetapan status dengan cara yang meyakinkan secara subjektif dengan mekanisme evaluasi pencapaian individu.

Karena itu, dalam jangka panjang, protes mahasiswa dapat secara permanen menghancurkan ideologi pencapaian yang runtuh ini. Dengan demikian juga sekaligus meruntuhkan dasar legitimasi kapitalisme maju yang sudah rapuh.

Mengetahui mendadaksontak dan begitu rapih pendirian partai ini sebagai metamorfosis Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, tentu saja sah untuk dicurigai bahwa “tangan besar” di balik proses pasti telah memikirkannya dengan cermat dan matang. Akankah mereka berhasil? Tergantung pada bagaimana derajat integritas Pemilu dilaksanakan nanti.

Karena itu PMI sebagai sebuah etalase baru untuk memicu partisipasi politik dewasa muda khususnya mahasiswa memang dalam Pemilu akan terbentur oleh idealisme yang tetap terpelihara dan terutama karena tak merasa yakin ada partai mahasiswa yang dapat menyamai partai-partai para konglomerat atau jejaring sosial besar (keumatan, misalnya) dan bagi mereka semua itu bukan bagian dari proses demokratisasi.

Kecurigaan seperti itu memang tidak akan merata di antara warga, tetapi tensi tertingginya pasti dirasakan oleh kalangan mahasiswa idealis.

Selain itu menyimak berbagai ekspresi gerakan yang tak terbatas pada kalangan mahasiswa belakangan ini, keberhasilan mahasiswa “menularkan” motivasi gerakan benar-benar semakin terlihat.

Golput yang digerakkan oleh kalangan dewasa muda Indonesia dengan mahasiswa sebagai pelopor itu sesungguhnya tidak pernah sirna meski sistim demokrasi dan Pemilu begitu banyak memberi perhatian yang salah untuk berbagai upaya pelibatan (partisipasi) tertentu.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan