Hilirisasi Industri Minyak Goreng

  • Bagikan

Oleh Haris Zaky Mubarak, MA

Karena melihat keuntungan bisnis itulah maka banyak perusahaan swasta dalam negeri dan asing yang berlomba membangun sistem oligopolistik terhadap dunia industri kelapa sawit. Sayangnya industri minyak goreng di dalam negeri tak seluruhnya didukung oleh kebun sawit sendiri

Sejak Januari 2022, gonta-ganti aturan kebijakan telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dalam rangka menstabilkan stok dan harga minyak goreng dalam negeri.

Di antaranya melalui kebijakan minyak goreng bersubsidi, minyak goreng satu harga, kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri dan kebijakan harga eceran tertinggi (HET).

Namun, faktanya semua lika liku masalah tak kunjung teratasi. Harga minya goreng masih mahal. Adanya kebijakan larangan ekspor memberi dampak yang serius bagi para petani sawit skala kecil, yang mengelola kurang dari 4 hektar. Mereka juga tidak memiliki sumber pendapatan lain selain dari komoditas kelapa sawit.

Ironisnya para petani sawit kecil ini tidak terhubung dengan perusahaan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Tak pelak situasi itu membuat mereka setiap hari harus menjual ke tengkulak atau pengumpul buah sawit.

Dalam kondisi ini terjadi persaingan usaha yang tidak sehat karena terjadi penguasaan rantai pasok hulu-hilir yang menyingkirkan koperasi dan juga pelibatan petani sawit, serta pengaturan harga sepihak yang merugikan petani sawit kecil.

Tentu menjadi sangat kontraproduktif saat penerapan kebijakan larangan ekspor, terjadi penurunan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang sangat signifikan. Sejak adanya pengumuman pertama larangan ekspor mencapai 30-70 persen,

Upaya penegakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Pekebunan cukup sulit untuk diimplementasikan.Anjloknya harga TBS kembali menjadi dilema bagi para petani sawit.

Karena di saat harga TBS anjlok mereka juga tak dapat melakukan peremajaan sawit. Pasalnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) sampai saat ini masih sebatas wacana karena adanya kendala terhadap izin kawasan yang menjadi lokasi peremajaan sawit merupakan kawasan hutan yang memiliki status hukum.

Akses Implementasi

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan RI), realisasi peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2021 hanya 15,41 persen dari target 180.000 hektar. (Kementan RI, 2021). Ini menunjukkan lambatnya program PSR.

Pada posisi ini, Pemerintah dituntut cepat untuk dapat melaksanakan peremajaan sawit rakyat, mengingat total kebun rakyat yang ditanam sawit hampir setara dengan areal tanam perusahaan besar swasta.

Secara rasional dapat dikatakan jika kebijakan stabilisasi pasokan minyak goreng saat ini lebih bersifat program jangka pendek. Dalam program jangka panjang, pemerintah dinilai perlu cepat menerapkan kebijakan strategis lain agar mampu menciptakan kestabilan harga minyak goreng.

Satu kebijakan potensial adalah melaksanakan hilirisasi produk olahan sawit, dapat tercapai. Sampai saat ini, pemerintah belum tegas dan berani dalam mengatasi struktur pasar oligopoli dalam industri kelapa sawit.

Kelompok pedagang besar sejak dulu telah mendominasi perdagangan CPO serta mengintegrasikan diri secara vertikal. Mulai dari akses pemasaran produk hingga di industri pengolahan, bahkan sampai ke perkebunannya.

Dalam implementasi praktis, pemerintah harus turun tangan sejak proses hulu, salah satunya meningkatkan kapasitas petani sebagai pelaku pengelola kebun sawit yang utama agar kinerja produktivitas dan kualitas dapat terjaga.

Pemerintah juga harus berinisiatif memberikan akses lahan bagi petani serta insentif berupa harga dasar bagi sawit yang dihasilkan dari perkebunan rakyat. Di sisi lain, petani rakyat merupakan populasi yang beragam sehingga jika mau mengintervensi, perlu ada pendekatan yang lebih terencana sesuai kondisi petani sawit di hulu.

Kebijakan strategis pemerintah untuk melibatkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) setidaknya menjadi alternatif rasional untuk mengurangi terjadinya struktur oligopolistik dalam industri kelapa sawit

Sistem Sertifikasi

Dalam kajian ekonomi global, komoditas minyak sawit merupakan komoditas ekspor utama di dunia. Peran besarnya bahkan sanggup menyumbang 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp429,7 triliun.

Karena melihat keuntungan bisnis itulah maka banyak perusahaan swasta dalam negeri dan asing yang berlomba membangun sistem oligopolistik terhadap dunia industri kelapa sawit. Sayangnya industri minyak goreng di dalam negeri tak seluruhnya didukung oleh kebun sawit sendiri.

Dalam aksesnya mereka harus membeli bahan baku, minyak sawit mentah dari produsen CPO lain, yang kebanyakan melalui kontrak jual bukan kontrak harga jangka panjang. Setiap terjadi kenaikan harga di pasar dunia faktanya hal tersebut turut mendorong peningkatan ekspor CPO hingga mengurangi pasokan kepada pabrik minyak goreng dalam negeri.

Di sisi lain, pabrik minyak goreng biasanya bukan pemilik bisnis distribusi, apalagi sampai pada pengecer. Sementara itu, dalam kondisi normal, tidak ada mekanisme untuk mengatur setiap sistem pengalokasian CPO dalam negeri.

Sebagai regulasi, pemerintah hanya terpaku pada sistem pajak ekspor sebagai usaha dalam memberi perlindungan industri dalam negeri. Berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mendorong pelaku pasar agar memperhatikan stabilitas minyak goreng di dalam negeri faktanya tak mampu menata sistem ekonomi besar yang telah dijalankan banyak perusahaan swasta dalam negeri dan asing.

Intervensi pasar melalui kegiatan operasi pasar hanya menjadi implementasi praktis yang berjalan pada sisi muara dari besarnya kerusakan sistem. Pemerintah sejatinya harus masuk dalam kewenangan kontrol menata sistem kelola industri secara transparan.

Dalam jangak panjang, pemerintah harus melakukan audit negara dalam sistem industri kelapa sawit Indonesia. Semua penataan sistem perkebunan, pengolah CPO, maupun distributor perlu diarahkan supaya dapat berjalan seimbang antara kepentingan bisnis dan keuntungan konsumen dalam negeri.

Pembangunan industri kelapa sawit Indonesia harus dibangun melalui sistem pendekatan yang lebih memprioritaskan keseimbangan banyak aspek. Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia yang melaksanakan program pembangunan berkelanjutan, sebagaimana telah diatur secara khusus dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Dalam RPJMN 2020-2024, pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai salah satu aspek pengarusutamaan, yang bertujuan memberikan akses pembangunan yang adil dan inklusif, serta menjaga lingkungan hidup, sehingga menjaga kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dengan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan maka hal ini akan berkontribusi signifikan terhadap pencapaian nilai Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam rasional ini, pemerintah semestinya dapat lebih mengoptimalkan implementasi Perpres No.44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, yang dikenal Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Karena peraturan ISPO mewajibkan seluruh tipe usaha kelapa sawit seperti Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta dan Perkebunan Rakyat Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, sebagai jaminan praktik produksi yang dilakukan telah mengikuti prinsip dan kaidah keberlanjutan pembangunan.

Di tengah harga minyak goreng yang belum stabil, publik sangat berharap jika pemerintah Indonesia melakukan audit sistem sertifikasi secara ketat supaya meningkatkan keberhasilan usaha, akuntabilitas dan transparansi perusahaan industri kelapa sawit secara profesional agar memberi manfaat yang besar bagi sistem ketahanan pangan nasional.


Penulis adalah Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia.

  • Bagikan