Ilmu & Pengendalian Hawa Nafsu

  • Bagikan

Oleh Zulkarnain Lubis

Hubungan antara ilmu dan hawa nafsu bisa saling mempengaruhi, kita berharap hawa nafsu yang akan mengikuti ilmu, namun bisa terjadi sebaliknya ilmulah yang mengikuti hawa nafsu. Bila ada seseorang yang justru takluk oleh hawa nafsunya, maka setinggi dan seluas apapun ilmunya, dia akan berubah menjadi jahil, bahkan menyesatkan

Kita telah berpisah dengan Ramadhan dan kita semua paham bahwa salah satu hasil yang mestinya sebagai buah dari puasa pada bulan Ramadhan tersebut adalah kita lebih bisa mengendalikan hawa nafsu kita, walaupun memang hal tersebut sesuatu yang susah dilakukan.

Tetapi sebaiknya kita terus berusaha mengendalikannya sebagaimana telah kita mampu melakukannya selama bulan puasa, yaitu kita mampu menahan lapar dan haus, mampu menjaga syahwat terhadap pasangan yang sah di siang hari, serta mampu menahan hati dan lidah kita dari hal yang menyalah dan menyimpang.

Mampu untuk tidak bergunjing, mampu untuk tidak berghibah, mampu untuk tidak memfitnah, mampu untuk menahan amarah, serta mampu menjaga hati untuk terhindar dari hasad, iri, dengki, dan buruk sangka.

Sesungguhnya, sejak manusia lahir, Allah membekalinya dengan nafsu agar dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup di dunia. Jadi nafsu adalah fitrah manusia, sebagaimana taqwa juga adalah fitrah manusia.

Dengan adanya nafsu dan taqwa ini, manusia memiliki potensi keinginan baik dan keinginan buruk. Kedua keinginan tersebut menunjukkan sifat keseimbangan dalam diri manusia. Hawa nafsu merupakan salah satu bentuk keistimewaan yang dimiliki oleh manusia yang tidak semua makhluk lain memilikinya.

Namun sebagaimana disinggung di atas, hawa nafsu bisa mengarah kepada kebaikan maupun keburukan. Hawa nafsu yang mengarah kepada kebaikan mengandung aspek positif yang mendorong manusia untuk berbuat baik, sehingga dengan bimbingan akal dan kalbu, akan menghasilkan manusia yang berakhlak mulia yang bahkan lebih unggul daripada malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu.

Tetapi justru hawa nafsu pula yang akan menjerumuskan manusia jika tidak mampu mengendalikannya, apalagi hawa nafsu lebih sering mengarah kepada keburukan yang mengandung aspek negatif. Manusia cenderung untuk berbuat dosa dan maksiat.

Jika dihadapkan pada dua pilihan yang baik atau pilihan yang buruk, manusia sering lebih tertarik melakukan pilihan yang buruk. Antara bekerja keras dengan santai, tentunya pilihan bersantai yang lebih menarik, antara melunasi dengan menunggak hutang, tentulah menunggak yang dipilih, antara pergi belajar dan bersenda gurau di café, tentu bersenda gurau di café yang jadi pilihan, begitu juga antara antri dan menyerobot antrian, orang akan memilih menyerobot antrian.

Hawa nafsu yang tidak terkendali bisa mengalahkan pertimbangan akal sehat dan hati nurani, sesuatu yang benar bisa saja dikatakan salah dan sebaliknya sesuatu yang salah bisa saja dinyatakan sebagai kebenaran.

Manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya akan terjerumus ke dalam berbagai bentuk angkara murka, baik terhadap dirinya, manusia lain maupun terhadap lingkungan hidup dan alam sekitar kita, sehingga bisa melebihi kelakuan setan yang memang biang dari segala keburukan.

Pantas saja Al Ghazali mengatakan bahwa dari empat penghalang manusia dalam beribadah, hawa nafsu merupakan yang paling berat dan paling dahsyat dibanding tiga penghalang lainnya yaitu dunia, makhluk, dan setan. Hawa nafsu bagaikan musuh dalam selimut, sangat sukar dihilangkan karena ia berada dalam diri manusia.

Karena itu, kita harus selalu mewaspadai dan jangan gegabah dalam mengambil keputusan yang bisa saja merugikan akibat dorongan hawa nafsu kita. Untuk melawan hawa nafsu ini, Allah SWT telah memberikan akal kepada kita, Allah juga memberikan ilmu kepada kita berupa buah dari akal pikiran kita.

Ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah dan dengan cahaya inilah kita akan mampu memadamkan kegelapan dan menerangi hati, yaitu menaklukkan hawa nafsu yang ada pada diri kita.

Dengan ilmu, kita tahu menempatkan hawa nafsu di area halal atau haram, sehingga ilmu akan menjadi “pupuk” bagi iman, menjadi pemandu dalam beramal, sekaligus menjadi penakluk dan pengendali bagi hawa nafsu.

Tetapi hubungan antara ilmu dan hawa nafsu bisa saling mempengaruhi, kita berharap hawa nafsu yang akan mengikuti ilmu, namun bisa terjadi sebaliknya ilmulah yang mengikuti hawa nafsu. Bila ada seseorang yang justru takluk oleh hawa nafsunya, maka setinggi dan seluas apapun ilmunya, dia akan berubah menjadi jahil, bahkan menyesatkan.

Bagi orang berilmu yang mengikuti hawa nafsunya, ilmunya diamalkan justru bukan karena Allah tetapi terdorong oleh hawa nafsunya. Meskipun mereka orang berilmu, tapi hakekatnya mereka adalah orang jahil. Bungkusnya memang seorang ahli ilmu tapi isinya adalah seorang yang jahil.

Lebih parah lagi, mereka pandai berdalil, mereka lancar menyebut ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, mereka lihai dalam beradu argumentasi, dan mereka hebat berdebat tetapi semuanya mereka lakukan atas dasar hawa nafsu.

Apapun yang muncul dari mereka, baik perkataan maupun perbuatannya adalah untuk kepentingan dunia semata, bahkan mereka sanggup menjual agama dan ayat-ayat kitab suci untuk melampiaskan hawa nafsu mereka.

Mereka pada hakekatnya bukanlah penyembah Allah SWT, tapi penyembah hawa nafsu, amal ibadahnya didasari atas hawa nafsu, bukan berdasarkan ilmu, tentu saja bukan pula karena Allah SWT.  Ibadah dan amal perbuatan mereka yang didasari atas hawa nafsu tersebut menjadikan hawa nafsu sebagai tuan dan tuhan mereka.

Dalam Al Qur’an, Allah berfirman tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya yaitu dalam surah Al Jatsiyah ayat 23 yang berbunyi, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-NYA, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.

Pada bagian lain dalam surah Al Furqan ayat 43, Allah SWT mengingatkan Rasulullah SAW tentang orang yang menjadikan keinginannya (hawa nafsunya) sebagai tuhannya, yang bunyinya, “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?”.

Tentang dahsyatnya hawa nafsu, pada akhirnya setinggi dan seluas apapun ilmu yang dimiliki tidak akan ada artinya dalam mengendalikannya jika tidak diiringi dengan kewaspadaan dan kehati-hatian, serta tidak didasari atas landasan agama, ibarat kata orang bijak, “setetes hawa nafsu dapat merusak lautan ilmu, bagaimana pula bila ilmu yang dimiliki hanya setetes, namun hawa nafsunya seluas lautan”.

Untuk itulah kita dituntut untuk menguasai ilmu yang benar yang tidak bersekutu dengan hawa nafsu dan yang tidak menarik kita kepada maksiat, agar terhindar dari hawa nafsu yang menjerumuskan ke dalam keburukan dan maksiat.

Namun, ilmu saja tidak cukup mengendalikan hawa nafsu, salah satunya adalah dengan berpuasa, sesuai dengan tujuan inti puasa, yaitu al-imsak yang berarti menahan diri atau mengendalikan hawa nafsu. Itulah yang kita lakukan dalam setiap Ramadhan, termasuk Ramadhan yang lalu.

Karena itu, meskipun di luar Ramadhan, kita diharapkan secara teratur terus menjalankan ibadah puasa sunat, agar kemampuan menahan diri dan mengelola hawa nafsu pada diri dapat terus terpelihara, serta selalu muncul kebaikan dan akhlak mulia dari diri kita.

Selain berpuasa, upaya lain yang bisa dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah dengan memperbanyak doa dan istigfar, rajin beribadah, menjaga pikiran dan pandangan dari hal-hal yang memancing bergejolaknya hawa nafsu, serta bergaul dan bertemanlah dengan orang-orang saleh.

Semoga selepas Ramadhan ini, kemampuan kita mengendalikan hawa nafsu dan mengarahkannya kepada kebaikan terus mampu kita pertahankan dalam menjalani kehidupan selanjutnya, dengan terus memperdalam ilmu kita, memperbanyak istigfar kita, berpuasa secara teratur meskipun tidak dalam bulan Ramadhan, berusaha untuk menjaga pikiran dan panca indera kita dari perkara yang membuat hawa nafsu susah terkendali, sembari terus berdo’a kepada Allah SWT agar gerak langkah, aktivitas, pikiran, hati, dan lisan kita selalu terjaga. Amiin Yaa Rabbal Alamiin.

Penulis adalah Guru Besar UMA dan Rektor Institut Bisnis IT&B.

  • Bagikan