Kebijakan Politik Regenerasional

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Kebijakan Politik Regenerasional. Memobilisasi dukungan mahasiswa untuk kepentingan oligarki adalah hal yang secara politik sangat strategis dan berpeluang besar. Tak hanya untuk mengawal kepentingan mempertahankan jabatan kepresidenan Joko Widodo yang terus diteriakkan untuk mundur

Mahasiswa selalu dapat menjadi kekuatan kreatif dan sumber inovasi dinamis. Jika mereka selalu hadir, berkontribusi, dan bahkan berusaha mengkatalisasi perubahan penting, apa pun risikonya, maka sejarah akan selalu memandangnya sebagai keniscayaan fungsional belaka.

Sejarah juga menuntun kemampuan mereka memilih dengan akurat sasaran tembak untuk diruntuhkan. Dalam kasus-kasus berisiko besar semisal perombakan sistem politik, koreksi pembagian kekuasaan, dan juga penciptaan peluang distribusi ekonomi berkeadilan, sebagaimana jamak terjadi di berbagai negara, pengorbanan mereka sangat luar biasa.

Selalu indah untuk dicatat, baik sebagai sejarah lokal maupun monumen heroisme universal yang terus membimbing moral dan nalar. Karena sifatnya yang selalu potensil menginterupsi kekuasaan itu, model partisipasi dewasa usia muda selalu menjadi salah satu pusat perhatian krusial di seluruh dunia.

Berbagai kecenderungan kebijakan yang dikhususkan untuk penciptaan ruang partisipasi khusus bagi mereka kerap lebih diboboti kepentingan politik yang berayun di antara dua ufuk diametral.

Pada satu ufuk mereka harus dijejali harapan untuk lebih siap menjawab tantangan masa depan dibanding generasi yang akan mereka gantikan.

Tetapi, paradoksnya, pada ufuk lain, kebijakan kerap lebih menekankan pentingnya obsesi generasi pembuat kebijakan untuk pengabadian kekuasaan. Peran fungsional dan subjektif dalam sejarah perdaban dengan keniscayaan pendobrakan bahkan sama sekali tak dihitung oleh kebijakan.

Karena itu pelembagaan dan sarana partisipasi politik mahasiswa kerap menjadi mekanisme berintikan pencabangan tak resmi kekuasaan politik yang sangat potensil menjauhkan dari realitas kehidupan yang mestinya menjadi identitas mereka.

Tetapi di samping kebijakan itu memiliki tingkat keberhasilan tertentu berkat jejaring pengendalian yang luas, selalu ada kemungkinan variasi atensi, panggilan dan loyalitas, atau bahkan pembangkangan serius, mulai dari yang bersifat sembunyi-sembunyi sampai yang akhirnya mengkristal dengan keberanian berterus terang.

Keberanian membangkang mengotomasisasi pengkategorian mereka sebagai kelompok istimewa. Kemewahan nilai utama mereka adalah pada fakta tidak memajukan kepentingan adhock dan pribadi meski pun peluang menegosiasikannya sangat terbuka (Jurgen Habermas, Toward A Rational Society Student Protest, Science, And Politics” Beacon Press, Boston, 1969)

Pilihan kebijakan bipolar and segmentation process (politik belah bambu) adalah hal yang amat popular sepanjang masa meski banyak kegagalan penerapannya.

Jurgen Habermas melihat sebuah alasan yang masuk akal dalam kegagalan itu, yakni legitimasi.  Sistem politik yang tidak cukup meyakinkan sangat menonjol dan mereka pun sangat sadar akan diabadikan sebururuk apa kelak oleh sejarah.

Tak hanya rasionalitas yang berbicara, tetapi juga, terutama, idealisme. Dalam berbagai kasus protes mahasiswa yang ditelaah Jurgen Habermas, saat memperbandingkan program etalatif dan karitatif pengganti konsepsi negara kesejahteraan untuk pelestarian ideologi borjuis yang bobrok dan sekaligus mengandaikan status dan orientasi pencapaian tertentu yang dipandang sangat tak mulia, misalnya, resistensi meluas.

Berkat pengalaman sejarah, mahasiswa ini akhirnya sangat mahir menghindari konflik antar kelompok, sebuah capaian yang mengkonfirmasi tingkat keprihatinan yang mengkondisikan kemunculan solidaritas.

Mereka terlatih memahami bahwa irama perjuangan tidak dikendalikan oleh ancaman yang tak terperikan. Juga bukan oleh bayangan imbalan-imbalan sosial, ekonomi dan politik dari penguasa.

Obsesi generasi pembuat kebijakan kerap ditentang meski mereka lazim terbelah. Sebagiannya dapat menjadi komponen hipokrit. Lama kelamaan mahir menyembunyikan fakta-fakta menyimpang, berapologi merasionalisasi pengingkaran atas idealitas. 

Titik-titik genting transisi sejarah politik dan kekuasaan Indonesia selalu ada kelompok mahasiswa yang berbicara atas nama dan untuk kepentingan kekuasaan. Bahkan dapat dalam bentuk penyertaan dan pengukuhan kekuasaan baru dengan legitimasi yang terbukti lemah atau terus melemah sesuai perjalanan waktu. Tujuan rekrutmen mahasiswa sebagai prasyarat legitimasi selalu bermakna kooptasi yang berakhir deviatif.

Jika analisis diperluas, fenomena-fenomena transisi kekuasaan politik di Indonesia hanyalah bagian dari lakon kekuasaan imperialisme global sebagaimana ditegaskan Alvin Y So (Social Change and Development: Modernization, Dependency, and World-System Theories, Sage, 1990).

Ketika Amerika Serikat menjadi negara adidaya setelah Perang Dunia II, para ilmuwan sosial dengan pembiayaan sangat besar ditugasi mempelajari masalah-masalah pembangunan Dunia Ketiga. Hasilnya menjadi awal bagi mazhab modernisasi yang mendominasi wacana pembangunan pada 1950-an. Transisi ini menandai berakhirnya Pax Britanica oleh hegemoni Pax Americana.

Pax Americana menawarkan program modernisasi. Segera mendapat tantangan dari Amerika Latin yang sejak era 1960-an tercatat menjadi awal kemunculan mazhab ketergantungan neo-Marxis. Mazhab yang sangat kritis ini terus menuding mazhab modernisasi tak lebih dari rasionalisasi dan apologi tak bermoral atas kemaharajalelaan imperialisme.

Ketika pertengahan 1970-an pertempuran ideologis antara mazhab modernisasi dan mazhab ketergantungan mulai mereda dan perdebatan pembangunan Dunia Ketiga menjadi kurang ideologis dan emosional, Immanuel Wallerstein (1964; 1967; 1979; Ragin dan Chirot 1984) mengembangkan perspektif baru Sistem Dunia (Wolrd-System Perspective).

Dengan kritik tajam atas paradigma keilmuan sosial yang menjajah, Wallerstein berusaha merebut imajinasi generasi baru sosiolog dan memberikan dampak mendalam pada disiplin sosiologi (Chirot dan Hall, 1982).

Dalam perubahan besar dunia itu Indonesia terus menjadi bagian penting dari perbenturan tanpa kemampuan memberi alternatif yang lebih menjanjikan bagi kemaslahatan dunia sebagaimana misi pendirian negara tahun 1945 (hapuskan penjajahan, lindungi penduduk dan wilayah, majukan kesejahteraan umum, cerdaskan kehidupan bangsa dan jangan absen dalam upaya diplomasi perdamaian dunia).

Malah Indonesia menyambut imperialism baru itu antara lain dengan mengadopsi gagasan WW Rostow tentang perencanaaan pentahapan pembangunan (1960) melalui sejumlah mahasiswa yang setelah kembali ke Indonesia dijuluki sebagai Mafia Berkley (1970-an). Kebijakan politik regenerasional.

Telah sejak etape-etape awal pasca Perang Dingin (Cold War) Pax Americana ditantang oleh kemunculan fenomena ekonomi baru ke arah pembentukan Pax Sinica dengan kehadiran negara-negara pengalter dari Timur, khususnya China.

Tetapi China dengan “program new khilafahnya” One Belt One Road (OBOR) yang kemudian berubah menjadi Belt and Road Inisiative (BRI) itu terbentur oleh wabah borderless, Covid-19. Mereka letih, jika tak babak belur.

Dengan kesulitan itu ada perlambatan perluasan dan cengkeraman “program new khilafah BRI China”. Namun Indonesia tetap canggung memainkan kualitas loyalitas di antara Pax Americana yang meredup dan Pax Sinica yang bergeliat, apakah melalui ASEAN, G20 dan instrument-instrumen tersedia lainnya.

Di tengah ketidakmenentuan polarisasi dunia terlebih setelah serbuan Rusia ke Ukrainia tanpa mengindahkan kewibawaan NATO, fenomena baru Pax Covidica terlihat sebagai keniscayaan belaka pascawabah yang merontokkan tatanan dunia itu. Tetapi perubahan apapun pastilah akan menjadi tema pergulatan baru untuk ditunggangi sesuai kepentingan negara pendikte.

Oligarki adalah kekuatan siaga dalam menata dunia. Bisa hadir berbicara atas nama kemanusiaan, kesetaraan, pluralitas, keadilan dan kemaslahatan. Rapih menyembunyikan motif, oligarki bisa mengikat semua harsat dalam simpul dan kemasan keluhuran demokrasi.

Mereka gandrung membiakkan pemberontak-pemberontak lokal yang lucu-lucu, dengan penyakit kesenangan mencaci diri sendiri, sejarah dan nenkmoyang sendiri. Semua untuk mainan baru oligarki berkedok demokrasi.

Pax Covidica sebagai wadah strategis oligarki akan terus menegaskan tatanan  baru. Untuk Indonesia, bergelantung di antara hegemoni Pax Americana yang meredup dan Pax Sinica yang rontok premature, digantikan oleh arena baru Pax Covidica, adalah sebuah tantangan sejarah dan heroisme sekaligus.

Terasa usul pengabadian terbatas jabatan Presiden Joko Widodo dan atau pertambahan masa jabatan seorang Presiden melalui amandemen UUD 1945, diakui atau tidak, adalah bagian serius dari perbenturan dikte pengaruh Pax Americana, Pax Sinica dan Pax Covidica sekaligus.

Kebijakan politik regenerasional. Memobilisasi dukungan mahasiswa untuk kepentingan oligarki adalah hal yang secara politik sangat strategis dan berpeluang besar. Tak hanya untuk mengawal kepentingan mempertahankan jabatan kepresidenan Joko Widodo yang terus diteriakkan untuk mundur, tetapi pelembagaan kemahasiswaan sebagai mekanisme saluran resmi politik kekuasaan negara adalah sebuah catatan baru dalam sejarah politik dunia.

Mengapa begitu khas dinamika periode kedua Joko Widodo? Banyak keterangan untuk itu. Tetapi Indonesia sangat penting bagi oligarki dunia dan oligarki lokal yang ingin keabadian bagi status istimewa yang mereka nikmati semasa kolonial. 

Dilahirkannya Partai Mahasiswa Indonesia adalah penjelasan yang amat baik tentang dewasa muda yang hanyalah sebuah penamaan generasional sarat bobot politik. Jika sebagian mereka berekspresi kontra idealis, sebaiknya sejarah pun mengabadikan.

Bagaimana interaksi mereka dengan kekuasaan dominan yang kemudian mampu merubah kelompok penyimpangan ini menjadi musuh keadilan, semestinya harus selalu dicatat oleh sejarah sebuah bangsa.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan