Kenapa Ade Armando Babak Belur (Tinjauan Psikologi Massa)

  • Bagikan

Oleh Dedi Sahputra

Ketika pertama kali melihat foto wajah Ade Armando yang babak belur, pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya adalah kemana kacamatanya. Karena orang yang mengenakan kacamata tebal pasti sangat tergantung pada benda tersebut

Ade Armando babak belur. Foto-foto, video dan beritanya langsung berseliweran di media sosial. Dalam hitungan saya, berita pertama yang muncul sekitar 50 menit sejak peristiwa itu terjadi—bahkan lebih cepat lagi. Tapi peristiwa itu memang eye catching.

Kondisi pria ini mengenaskan. Bukan cuma wajahnya yang bonyok, tapi pakaiannya pun tak lagi menutupi tubuhnya dengan sempurna, celananya hilang entah kemana, dan celana dalamnya pun melorot. Dia benar-benar dalam kondisi dipermalukan oleh entah siapa. Maka perasaan secara umum semestinya memandang iba kepadanya. Kasihan…

Tapi begitu pun tidak sedikit yang mensyukuri penderitaan pria ini. Lihatlah komentar netizen di media sosial. Penderitaan Ade Armando dengan setengah mati hanya untuk bernafas normal, tak membuat banyak orang menaruh empati padanya.

Psikologi Massa

Baiklah. Cukup soal penderitaan dosen Universitas Indonesia (UI) itu. Saya ingin melihat peristiwa ini dari tinjauan psikologi massa. Adalah Gustave Le Bon yang pertama kali memperkenalkan psikologi massa sebagai cabang ilmu psikologi yang lahir di abad ke-19.

Jika psikologi didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang proses mental dan perilaku manusia, maka massa adalah kumpulan individu yang di dalam kumpulan tersebut tidak adanya interaksi serta tidak ada struktur. Dalam kumpulan orang yang disebut massa itu pada umumnya berjumlah banyak orang dan berlangsung lama.

Le Bon merumuskan bahwa kelompok massa ini memiliki beberapa sifat, di antaranya. Pertama, implusif, atau gampang bereaksi terhadap rangsangan yang datang dan sangat mudah tersinggung. Kedua, sugestibel atau terbuka dan mudah menerima sugesti dari luar dirinya.

Ketiga, irrasional, atau tidak berada dalam kondisi yang rasional dalam merespons rangsangan. Keempat, memiliki social facilitation, istilah ini merujuk pada adanya semacam penguatan aktivitas yang mana berasal dari aktivitas individu lain.

Karena sifat massa seperti ini sehingga orang-orang dalam kelompok ini akan cenderung menunjukkan karakteristik baru yang sangat berbeda dari individu sehari-hari. Menurut Le Bon di dalam kelompok massa ada yang disebut dengan hukum kesatuan mental (law of mental unity). Maknanya bahwa di dalam kelompok massa terdapat kesatuan pikiran, dan kesatuan jiwa.

Dengan kata lain, karakteristik individu dalam kelompok massa akan cenderung lebur ke dalam karakteristik massa yang impulsif, sugestibel, dan irrasional tersebut. Maka jangan heran, orang yang sehari-harinya kalem dan pemalu, akan dapat berubah reaktif bahkan beringas ketika berada di dalam kelompok massa.

Kasus Ade Armando

Sebelum dipukuli oleh massa di arena demonstrasi mahasiswa menolak tiga periode Jokowi dan menolak penundaan Pemilu di Jakarta tersebut, Ade Armando terlihat berdebat dengan para pengunjuk rasa—di antaranya emak-emak. Baik Ade Armando maupun emak-emak sama-sama terlihat ngotot. Tapi siapa emak-emak yang berada di barisan mahasiswa itu? Ini agak terdengar aneh.

Drama singkat saling ngotot tersebut kemudian berlanjut dengan pemukulan bertubi-tubi terhadap pria yang sedang memasuki masa tuanya ini. Muncul pertanyaan, apakah Ade Armando tidak memahami psikologi massa sehingga dia dengan sukarela mendekati bahaya di tengah massa?

Jika melihat latar belakangnya sebagai dosen ilmu komunikasi di universitas mentereng sekelas UI, rasanya mustahil dia tidak tau. Pria yang kabarnya sempat berproses menjadi guru besar (professor) ilmu komunikasi ini pasti tahu betul masalah prikologi massa ini.

Karena pengetahuan tentang psikologi massa ini adalah ilmu pengetahuan wajib yang diajarkan di disiplin ilmu komunikasi. Setidaknya diajarkan sebagai sub bahasan dalam mata kuliah public opinion atau mass communication. Lantas kalau dia tahu soal ini, mengapa masih nekat bikin ulah di tengah massa?

Dengan pendekatan psikologi massa, saya mencoba beberapa teori untuk menjelaskan soal ini. Pertama, Ade Armando merasa sebagai bagian dari para mahasiswa dan masyarakat yang berunjukrasa hari itu. Pasalnya dia juga memiliki sikap yang sama seperti tuntutan para demonstran.

Perihal sikap ini dikatakannya sendiri dalam wawancara yang sempat dilakukan dengan para wartawan sebelum peristiwa pemukulan terjadi. Wawancara di tengah demonstran? Soal wawancara di tengah demonstran ini saya kira juga terasa aneh, seolah dia sedang mengumumkan keberadaannya di tempat itu. Apalagi wawancara itu dilanjutkan dengan saling ngotot dengan emak-emak.

Kembali lagi ke soal anggapan Ade Armando merasa bagian dari mahasiswa. Jika memang begini anggapannya, dia pasti melupakan efek dari statement yang sering dilontarkannya yang sering menyerang secara agresif pihak di luar kelompoknya.

Bahkan sebelum aksi demo mahasiswa 11 April 2022, si Ade Armando ini berkomentar sumir tentang mahasiswa di akun Medsosnya. Begini tulisannya yang bernada provokatif: “BEM (yang konon) seluruh Indonesia akan gelar demo turunkan Jokowi, 11 April. Apa gak haus ya? Gak laper ya? Atau memang gak puasa?”

Dia juga tampaknya seolah gagal menghubungkan kecenderungan latar belakang pengunjukrasa dengan isu sensitif yang sering disentuhnya. Singkatnya, Ade Armando tidak memperhitungkan bahwa mereka yang berunjukrasa hari itu adalah orang-orang yang menjadi sasaran acak dari serangannya yang selalu keluar dari mulutnya. Atau orang yang selalu dimusuhinya.

Teori kedua, Ade Armando memang faham psikologi massa dan karena itu dia datang ke sana dan untuk itu dia berdebat dengan para wanita yang “mengidentifikasi” diri sebagai kelompok massa. Selanjutnya dia menempatkan dirinya berada di dalam situasi sebagai korban—babak belur dihajar massa.

Kamerawan Cokro TV, Indra Jaya Putra yang ikut bersama Ade Armando kepada media menyatakan kesaksiannya bahwa acara sebenarnya sudah selesai dan mereka bermaksud kembali. Mahasiswa pun sudah mulai membubarkan diri dari arah yang berbeda.

Namun ada sekelompok orang yang kemudian menghentikan mereka dan memulai cekcok mulut dengan Ade, yaitu emak-emak tadi. Tak lama pemukulan pun mulai terjadi. Indra Jaya meyakini kelompok ini bukan mahasiswa, dia menyebutnya sebagai “kelompok perusuh”

Ketika pertama kali melihat foto wajah Ade Armando yang babak belur, pertanyaan pertama yang muncul dalam benak saya adalah kemana kacamatanya. Karena orang yang mengenakan kacamata tebal seperti Ade Armando pasti sangat tergantung pada benda tersebut. Anda yang berkacamata pasti paham itu.

Waktu itu pertanyaan ini saya jawab sendiri: mungkin hilang karena dipukuli massa. Tapi ternyata sejak awal dia sudah tidak mengenakan kacamatanya. Dari sejak wawancara dia sudah tidak mengenakan kacamata. Dia seolah sudah bersiap untuk suatu peristiwa yang akan datang padanya.

Teori ini juga didukung fakta dari video yang beredar tentang eksekusi massa terhadap pria ini: Ketika Ade Armando terjatuh dengan kondisi setengah bugil, orang-orang yang memukuli itu kemudian berhenti memukulinya. Mereka seolah mendapat komando untuk berhenti. Padahal itu bukan karakter massa yang irrasional sebagaimana Le Bon. Ini tentu jenis massa khusus yang rasional.

Karena jika Anda pernah berada di tengah massa yang beringas memukuli seseorang, apakah itu pencuri atau buzzer, Anda akan paham bahwa si korban tidak akan ditinggal begitu saja oleh massa kecuali sudah tak bergerak: mati. Apalagi saat itu perlu waktu bagi aparat untuk tiba di lokasi kejadian untuk mengevakuasi Ade Armando. Lantas siapa yang memberi komando itu?

Saya setuju Le Bon, tapi dia juga tidak tidak sepenuhnya benar. Dia dibantah secara empirik oleh aksi 212 di Jakarta yang bahkan tidak hanya sekali—berjilid-jilid. Dalam aksi jutaan manusia itu tidak sehelai rumput pun mati diinjak massa. Apalagi menganiaya manusia lain.

Pun dalam aksi mahasiswa ini. Mereka telah menunjukkan kadar intelektualitasnya meski dengan derajat yang berbeda dengan aksi damai 212. Kepada para mahasiswa sampai-sampai Kapolri Jendral Pol. Listyo Sigit Prabowo memberikan mengapresiasi. Kapolri menyampaikan langsung penghargaan terhadap aksi mahasiswa hari itu dengan berorasi di atas kendaraan—tengah mahasiswa.

Bahkan pendekatan psikologi massa Le Bon tidak implementatif dengan peristiwa pemukulan Ade Armando. Dengan kata lain, massa pemukul Ade Armando bukanlah massa yang tidak memiliki struktur sehingga gampang tersugesti untuk menjadi irrasional dan impulsif.

Maka dari sini sebenarnya gambaran yang kontras itu lebih jelas terlihat. Bahwa mahasiswa telah sukses menggelar demonstrasi dengan damai atau meminjam jargon Edy Rahmayadi: dengan bermartabat. Tapi sukses itu coba diinterupsi peristiwa sempalan Ade Armando dan segerombolan orang yang memukulinya.

Coba telisik lagi videonya. Bahwa tidak ada satupun pemukul Ade Armando berbaju almamater mahasiswa. Tapi ada seorang mahasiswa yang menjadi tertuduh di media sosial, justru sedang berada di Lampung saat peristiwa itu terjadi. Dan perempuan berbaju pink yang betekak dengan Ade Armando itu emaknya siapa sebenarnya? Karena dia bagian penting dari drama pemukulan tersebut.

Hebatnya lagi adalah peristiwa setelah demo mahasiswa berakhir. Peristiwa pemukulan itu lantas mendominasi Medsos dan media massa. Ribuan bahkan jutaan kali share sehingga mengalihkan aksi mahasiswa yang sesungguhnya spektakuler.

Ade Armando boleh jadi tidak tahu dia bakal menjadi objek pengalihan isu, boleh jadi juga sudah tahu. Namun di ruang rumah sakit, Ade Armando dikunjungi teman-temannya, videonya beredar, dia sudah tersenyum sumringah, dengan jempol mengacung.

Penulis adalah News Editor, Dosen Mata Kuliah Mass Communication Fisipol Universitas Medan Area (UMA).

  • Bagikan