Literasi Islam

  • Bagikan

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya(QS. Al Alaq: 1-5)

Literasi Islam. Bangsa yang maju dan makmur biasanya mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, budaya baca yang tinggi, memproduksi bahan literasi yang tinggi (koran, majalah, buku), akses internet, serta maju ilmu dan teknologi.

Karena itu Islam pernah jaya di dunia lebih 500 tahun lamanya. (1234-1756). Salah satu sebab kemajuan Peradaban islam saat itu disebabkan literasi telah menjadi budaya Islam.

Literasi ini sebenarnya telah ada sejak islam diturunkan. Karena “membaca.” Adalah perintah pertama buat Nabi Muhammad SAW. 

Nabi Nabi Muhammad adalah orang yang mengantarkan umat manusia dari zaman kegelapan menuju terang benderang. Karena Nabi Muhammad menerima wahyu dalam bentuk literasi.

Kemudian kumpulan literasi tersebut (membaca, menulis, dan lainnya), dijadikan kitab Al Quran. Selanjutnya Al Quran ini diterjemahkan oleh mufassir dalam berbagai bentuk literasi.

Hal ini menjadi bukti bahwa Islam berkembang di dunia melalui literasi.

Menurut Ibn Faris dalam “Mu’jam Maqayis al-Lughah, kata ’iqra’’ berasal dari kata “qa-ra-a” yang berarti menghimpun atau mengumpulkan.

Zainudin ar-Razi dalam Mukhtar ash-Shihah mengatakan qa-ra-a bermakna mengumpulkan dan menghimpun. Lalu, kenapa dinamakan al-Qur’an, karena al-Qur’an mengumpulkan dan menghimpun surah-surahnya. Dengan demikian al-Qur’an menghimpun banyak informasi untuk literasi.

Tapi sayang, pesan literasi melalui Al Quran justru dikembangkan oleh kaum Orientalis bermakna sempit sekedar “literatus,” artinya; orang yang belajar, menyangkut kemampuan membaca, menulis.

Padahal makna literasi yang diperintahkan adalah kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung, memahami, berbicara, menggunakan, menganalisis, mentranformasi teks, dan seterusnya.

Sebenarnya perintah iqra’ di dalam wahyu pertama ini tidak menjelaskan apa yang harus dibaca. Karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut “bismi Rabbik”.

Artinya demi Allah. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak (all of nature). 

Perintah iqra’ beriring dengan menulis, karena menulis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang membaca. Menuliskan ‘iqra’ akan melahirkan bacaan baru, analisis baru, temuan baru, dan ilmu baru yang berguna bagi umat manusia.

Membaca dan menulis akan mendorong semangat melakukan penelitian dan mengulas terhadap ayat-ayat tertulis (kitabiyah), ayat-ayat semesta, ayat-ayat sejarah, dan ayat-ayat di dalam diri (Latif, 2019).

Karena pentingnya iqra’ bagi manusia, maka kitab suci pun menamakan dirinya Al-Quran yang berarti “bacaan yang mulia.”

Al-Quran adalah kitab yang paling banyak dibaca di bumi ini, karena surah dan ayat terus dibaca ketika umat Islam melaksanakan shalat.

Al-Quran bisa membuat orang menangis saat orang lain yang membacanya. Karena Dia seolah mendengar langsung Allah berkomunikasi kepada dirinya.

Pada surah An-Nisaa’: 113, bahwa: “Allah akan mengajari engkau (Muhammad) apapun yang belum kamu ketahui”. Selanjutnya kata “Layatapakkarun” (potongan ayat 122 surah at-Taubah) berarti “supaya mereka terus memperdalam (pengetahuan).”

Perintah berulang kata iqra’ pada ayat pertama dan ketiga, mengisyaratkan manusia jangan berhenti mempelajari Al-Quran. Karena masih banyak kandungan Al-Quran yang masih tersimpan yang harus digali.

Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan mengatakan bahwa kata “Layatapakkarun” yang artinya mendengarkan apa yang terjadi di sekitar manusia.

Artinya Anda diminta berliterasi, memperhatikan, membaca dan menyerap ilmu pengetahuan dan menyampaikan ilmu tersebut kepada orang. Karena ketika pengetahuan hanya ada dalam pikiran, maka dia kurang bermanfaat dalam kehidupan. 

Para ulama pendahulu menempuh perjalanan panjang berjuang berdarah-darah hanya untuk literasi. Mereka mencari guru dari satu kota ke kota lain dengan jalan kaki sambil mengendong kitab.

Mereka, membaca, murojaah, meringkas, mencatat faidah ilmu dan menulis ratusan buku. Sesungguhnya menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan menurut al-Imam asy-Syafi’i:

Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan shalat Sunnah” (Musnad Syafii).

(Guru SMAN 16 Medan, Alumni Doktor PEDI UIN SU)

  • Bagikan